Perempuan Afghanistan Cemas Menanti Kejelasan Nasib di Bawah Kuasa Taliban
Taliban mengaku sudah berubah, menginginkan pemerintahan inklusif, dan ingin bergabung komunitas internasional agar diakui sebagai pemerintahan sah di Afghanistan. Tetapi, keberadaan mereka memicu ketakutan masyarakat.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Perempuan Afghanistan masih menanti kepastian akan masa depan mereka di bawah kekuasaan Taliban. Tidak hanya pendidikan dan karier yang mereka cemaskan, tetapi juga keberlangsungan nyawa mereka. Hidup tidak berarti jika perempuan tidak bisa mengaktualisasi diri dan mengemukakan pendapat.
”Rasanya seperti sudah mati secara psikis meski raga saya masih hidup. Saya tidak akan bisa lagi menulis, berjalan keluar sendirian, dan berekspresi,” kata seorang perempuan Afghanistan, di Kabul, Senin (23/8/2021).
Ia dulu berkarier sebagai wartawan untuk media lokal. Semenjak Kabul jatuh ke tangan Taliban, ia hanya tinggal di rumah. Tidak berani melangkah keluar meski memakai burkak lengkap untuk menutupi wajah dan tubuhnya.
Seorang perempuan pemilik salon mengatakan, ia tidak lagi mengenali kota Kabul. Jalanan diisi oleh milisi Taliban. Nyaris tidak ada perempuan yang berlalu lalang. Jika ada, mereka wajib memakai burkak dan ditemani suami atau kerabat laki-laki.
Pemilik salon ini mengungkapkan, ia memiliki 24 karyawati. Ketika Taliban menduduki Kabul, beberapa milisi mendatangi salonnya dan menyuruh ia mencabut semua poster yang menampilkan perempuan. Semua karyawati disuruh pulang.
”Bukan hanya saya yang kehilangan mata pencarian. Bagaimana dengan 24 pegawai saya? Beberapa di antara mereka tulang punggung keluarga,” tuturnya.
Dalam jumpa pers pekan lalu, juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, memaparkan bahwa perempuan akan diperbolehkan mengenyam pendidikan dan bekerja selama sesuai dengan hukum Islam. Permasalahannya, hingga kini Taliban masih sumir dengan penafsiran hukum Islam versi mereka.
Taliban mengaku sudah berubah, menginginkan pemerintahan yang inklusif, dan bergabung dengan komunitas internasional agar diakui sebagai pemerintahan yang sah di Afghanistan. Akan tetapi, keberadaan mereka masih menimbulkan ketakutan di masyarakat. Para perempuan tidak yakin mereka tetap bisa bekerja meski sudah memakai burkak.
Seorang perempuan dokter gigi di Kabul mengatakan bahwa tenaga kesehatan dan guru sudah diperbolehkan masuk kerja asal memakai burkak. Adapun perempuan pegawai negeri sipil belum boleh kembali ke kantor dan menunggu arahan. Dokter gigi ini kemudian tidak mau melayani pasien laki-laki karena takut terkena imbas akibat tindakan Taliban.
Sementara itu, di sektor pendidikan, Taliban mengumumkan bahwa sekolah-sekolah akan dipisah berdasarkan jenis kelamin. Perempuan guru tidak boleh mengajar murid laki-laki di atas usia sekolah dasar. Akibatnya, para perempuan yang menjadi guru di SMP, SMA, dan sekolah khusus laki-laki panik.
”Saya tidak tahu apakah saya akan dipindah ke sekolah khusus perempuan atau dipecat. Para guru benar-benar khawatir akan kehilangan pekerjaan karena beberapa di antara kami adalah orangtua tunggal,” kata seorang guru geografi yang mengajar di sekolah khusus laki-laki.
Ketakutan dan kekecewaan juga diungkapkan oleh sekelompok mahasiswi. Mereka sedih karena tidak bisa melanjutkan kuliah dan mengejar cita-cita. Salah seorang mahasiswi mengatakan tidak pernah menyangka nasibnya akan sama dengan generasi sebelumnya. Tanah air mereka kini tidak bisa menjanjikan masa depan bagi kaum perempuan.
Wazhma Frogh, pegiat kesetaraan jender yang kini berada di pengasingan, menjelaskan, kata-kata Taliban tidak bisa dipegang. Apalagi, di setiap wilayah penerapannya beda-beda. Di Kabul, contohnya, Taliban cenderung menahan diri karena di sana banyak wartawan internasional. Akan tetapi, di kota-kota lain, apalagi di kampung-kampung, teror yang dilakukan Taliban kepada perempuan sangat nyata.
”Ada 18 juta perempuan di Afghanistan. Tidak mungkin mereka semua bisa dibungkam dan dilarang turun ke jalan,” kata Frogh.
Persoalan tafsir
Taliban sebelumnya mengatakan, mereka tidak mengubah ideologi mereka terkait agama. Hal ini yang membuat warga dunia bingung. Sebab, apabila tidak mengubah ideologi, mereka kemungkinan besar tidak akan membangun pemerintahan inklusif.
”Jika dilihat ke dalam kitab suci Al Quran, dijelaskan bahwa perempuan berhak atas pendidikan, pekerjaan, dan hidup yang layak. Selama ini, Taliban menegasikan penafsiran ini,” kata Daisy Khan, Direktur Eksekutif Women’s Islamic Initiative in Spirituality and Equality (Inisiatif Keislaman Perempuan untuk Spiritualitas dan Kesetaraan) yang berbasis di Amerika Serikat kepada harian USA Today.
Berdasarkan data Inspektorat Jenderal Khusus Rekonstruksi Afghanistan, sebuah lembaga yang didirikan oleh Kongres AS, 42 persen angkatan kerja Afghanistan per tahun 2017 adalah perempuan. Sepuluh tahun lalu, baru 20 persen perempuan yang masuk ke dalam bursa tenaga kerja.
Perempuan menduduki 28 persen posisi di aparatur sipil negara, 25 persen pejabat pemerintah daerah dan distrik, 25 persen anggota parlemen, dan 5.000 perempuan yang tergabung di dalam kepolisian. (REUTERS)