Beragam Wajah Taliban
Komunitas internasional tengah mengkaji akan seperti apa Afghanistan di bawah Taliban. Di dalam Taliban sendiri terdapat faksi-faksi, mulai dari yang moderat hingga yang keras.
KABUL, SELASA — Menanti 19 tahun, Taliban kembali masuk Kabul, Afghanistan, pada 15 Agustus 2021. Sebagian pihak di dalam dan di luar kelompok itu berusaha meyakini Taliban telah berubah. Walakin, rekam jejak mereka hingga Agustus 2021 membuat pernyataan itu sulit diterima.
Peluang moderasi Taliban, antara lain, tercantum dalam laporan Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat edisi April 2021. ”Keinginan Taliban pada bantuan dan pengakuan asing akan melunakkan perilakunya,” demikian penilaian itu.
Baca juga : Pelajaran dari Jatuhnya Kabul ke Taliban, Uang-Senjata Tak Bisa Beli Daya Juang
Juru bicara Taliban, Suhail Shaheen, bolak-balik menyebut Taliban siap bekerja sama dengan sejumlah pihak asing. Bahkan, Taliban berkomunikasi dengan China, Rusia, dan India.
Padahal, di sejumlah negara berpenduduk mayoritas Muslim, tiga negara itu kerap dianggap tidak ramah kepada Islam. Di sisi lain, sebagian Muslim menyebut Taliban sebagai pejuang menegakkan hukum Islam. ”Kami jelas ingin hukum Islam,” kata Shaneen kepada BBC, beberapa jam setelah Taliban memasuki Kabul.
Dalam jajaran kepemimpinan Taliban, ada Abdul Ghani Baradar. Bersama iparnya, Mohammad Omar, Baradar mendirikan Taliban pada Januari 1994. Omar jadi pemimpin Taliban sampai meninggal pada 2013. Kala Taliban terguling selepas serbuan AS pada 2001, Baradar dilaporkan berusaha mendekati pemerintahan peralihan. Namun, upaya itu ditolak kelompok lain yang memerangi Taliban sejak 1996.
Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menyebut Baradar sebagai sosok moderat. Ia meyakini, Baradar dan para petinggi lain di Taliban tidak akan membawa perang baru di Afghanistan. ”Saya yakin janji mewujudkan Afghanistan yang damai dan sejahtera pasti akan diperjuangkan oleh Baradar jika memimpin Afghanistan,” ujarnya.
Baradar bersama Abbas Stanikzai dinilai sebagai sosok moderat. Karena itu, Baradar dan Stanikzai bertahun-tahun menjadi juru runding dari kantor cabang Taliban di Doha, Qatar. Kala Taliban berkuasa di Kabul, Stanikzai menjadi Wakil Menteri Luar Negeri.
Sebagai Wamenlu, ia, antara lain, pernah ke Washington untuk mengupayakan pengakuan AS atas pemerintahan Afghanistan. Selama Taliban bergerilya, Stanikzai berkeliling ke sejumlah negara untuk menggalang dukungan. Salah satu kesuksesannya adalah bisa membuka kantor perwakilan Taliban di Qatar pada 2012.
Faksi keras
Tidak hanya Baradar dan Stanikzai jadi perunding Taliban dengan AS yang menghasilkan kesepakatan pada Februari 2020. Ada Abdul Hakim Ishaqzai, salah satu dari faksi keras di Taliban. Kehadiran Ishaqzai di tim perunding membuat sejumlah pihak menduga Taliban serius berdamai dengan AS. Sebab, Izhaqzai dekat dengan Mohammad Akhunzada yang kini menjadi pemimpin tertinggi Taliban.
Setelah pengganti Omar, Akhtar Mansyor tewas dalam serangan udara AS pada 2016, Akhunzada ditunjuk jadi pemimpin tertinggi Afghanistan. Sejak 2005, Akhunzada hidup dalam persembunyian.
Baca juga : Afghanistan, di Antara Perang dan Narkotika
Seperti Omar, Akhunzada, dan Jalaluddin Haqqani, Ishaqzai lulusan Madrasah Darul Ulum di Haqqani, Pakistan. Madrasah itu menginduk pada sekolah bernama sama di Deoband, India.
Penafsiran keras Taliban kerap berwujud pada kebrutalan sejak didirikan pada 1994. Ishaqzai dalam status sebagai hakim tertinggi Taliban berulang kali mengeluarkan fatwa untuk membenarkan kekejaman Taliban.
Di antara faksi-faksi Taliban, Haqqani bentukan Jalaluddin dikenal paling brutal. Kini, faksi itu dipimpin Sirajuddin yang merupakan anak Jalaluddin. Posisi yang membuat Sirajuddin menjadi salah satu dari dua panglima perang utama Taliban.
Selain Sirajuddin, memang ada Mohammad Yaqoob yang disebut pula sebagai panglima perang utama Taliban. Yaqoob salah satu anak Omar yang selamat dari serangan udara AS terhadap rumah keluarga Omar di Kandahar pada 2001.
Lawan NIIS
Meski dikenal brutal, Taliban jengah dengan perilaku Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Pada Mei 2015, kantor Taliban di Doha menegaskan bahwa perilaku NIIS bukanlah hal yang diinginkan orang Afghanistan. Karena itu, Taliban tidak mau berhubungan dengan NIIS. Sampai sekarang di beberapa wilayah Afghanistan, milisi Taliban dan NIIS rutin baku tembak.
Jika NIIS dimusuhi, lain halnya dengan Al Qaeda. Dalam perjanjian perdamaian Taliban-AS dengan jelas tercantum janji Taliban untuk tidak menampung milisi Al Qaeda dan kelompok teror lain. Faktanya, Taliban terbukti tetap berhubungan dengan kelompok itu. Dalam 3,5 bulan terakhir saja, selalu ada jenazah milisi Al Qaeda di antara jenazah milisi Taliban yang ditewaskan pasukan Pemerintah Afghanistan.
Baca juga : Bandara Jadi Satu-satunya Pintu Keluar dari Afghanistan
Hubungan dengan Al Qaeda bukan satu-satunya pelanggaran janji Taliban. Dalam berbagai kesempatan, Taliban selalu menyatakan akan menghormati HAM dan tidak melarang perempuan beraktivitas di luar rumah seperti yang mereka lakukan pada 1996-2001.
Faktanya, pada awal Agustus 2021, milisi Taliban memaksa sejumlah perempuan pegawai bank di Herat untuk pulang dan dilarang masuk bekerja lagi. Di beberapa kota lain terus terdengar laporan milisi Taliban mencambuk perempuan yang tidak memakai busana longgar dan cadar.
Selama bertahun-tahun pula, Taliban kerap mengebom berbagai fasilitas umum. Bahkan, rumah sakit bersalin pun jadi sasaran serangan Taliban. Milisi Taliban juga sering menembak warga sipil karena dianggap melanggar hukum versi mereka. ”Mereka menyatakan mau berubah karena ada tekanan politik, bukan karena ada perubahan ideologi,” kata Direktur Afghanistan Analysts Network Thomas Ruttig kepada Washington Post.
Pakar Afghanistan di Stanford University, Robert Crews, menyebut bahwa milisi Taliban naik jabatan berdasarkan kekerasan dan kekejaman mereka di lapangan. Mereka menyasar akademisi, pekerja media, hingga tokoh pemuda. Pegawai dan aparat pemerintah tentu saja jadi sasaran Taliban.
Meski demikian, mereka tetap dapat dukungan luas, antara lain, karena warga lelah dengan korupsi besar-besaran oleh pemerintah. Bahkan, sejumlah tentara Afghanistan pun marah atas korupsi yang menyebabkan regu-regu tentara tidak dapat gaji dan pasokan senjata. Akibatnya, mereka memilih lari setiap kali Taliban menyerang.
Seperti Ruttig, Crews juga menyebut Taliban tidak berminat pada sistem selain sistem Islam menurut versi mereka. ”Mereka tidak mau parlemen, pemilu. Mereka punya amir dan dewan ulama. Menurut mereka, tafsiran mereka (terhadap Islam) paling baik dan mereka mau menerapkan itu,” kata Crews.
Baca juga : Menunggu Deklarasi Taliban dan Komitmen pada Perlindungan Perempuan
Anehnya, seperti diungkap dalam berbagai laporan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), salah satu sumber pendapatan Afghanistan selama gerilya berasal dari perdagangan narkotika. Mereka juga mendapat banyak uang dari pemerasan dan penculikan. (AFP/REUTERS)