Menunggu Deklarasi Taliban dan Komitmen pada Perlindungan Perempuan
Jatuhnya Kabul ke tangan Taliban menandai kehadiran kembali kelompok itu di pucuk kepemimpinan Afghanistan. Kini banyak pihak menunggu deklarasi dan langkah lanjut Taliban. Isu HAM dan perempuan menjadi perhatian global.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia menunggu pengumuman dari Taliban yang telah mengambil alih pemerintahan negara Afghanistan. Deklarasi ini yang akan menentukan pola pemerintahan Taliban ke depannya, termasuk isu perlindungan perempuan dan anak. Indonesia masih berharap pada keterbukaan sikap Taliban atas sejumlah isu, terutama terkait perempuan dan anak.
”Dari sisi Pemerintah Indonesia tentu saja belum bisa memberi pengumuman apa pun karena situasi di Afghanistan masih sangat cair,” kata Direktur Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri Abdul Kadir Jailani ketika dihubungi di Jakarta, Senin (16/8/2021).
Menurut dia, perkembangan situasi masih belum bisa ditebak. Meskipun Taliban telah menguasai Afghanistan, termasuk istana kepresidenan, langkah berikutnya belum terbaca. Apabila Taliban telah mengumumkan pola pemerintahan yang akan mereka terapkan, baru Indonesia bisa menanggapi.
”Saat ini, kami masih fokus menyelamatkan 15 warga negara Indonesia untuk segera dievakuasi ke Tanah Air. Mayoritas adalah staf kedutaan besar kita di sana,” tutur Kadir.
Ia menambahkan, untuk Afghanistan, Indonesia tetap mengedepankan pentingnya penyelesaian sengketa politik. Tujuannya ialah agar terbentuk pemerintahan sah dari, oleh, dan untuk masyarakat Afghanistan.
Berharap pada keterbukaan
Pada kesempatan yang berbeda, Guru Besar Sosiologi Hukum dan Jender Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Siti Ruhaini Dzuharyatin mengatakan masih berharap Taliban memegang sikap terbuka yang selama ini mereka tunjukkan ketika berhubungan dengan Indonesia. Ruhaini termasuk bagian dari tim yang dibentuk Pemerintah Indonesia untuk mendampingi Afghanistan dan Palestina sejak tahun 2016.
Sejumlah program yang telah dijalankan ialah pertukaran ustaz, mahasiswa, dan pengembangan peran perempuan. Ulama Afghanistan, baik dari kelompok Taliban maupun di luar kelompok Taliban, telah dua kali datang ke Indonesia untuk berdiskusi di kantor Majelis Ulama Indonesia.
”Kendala yang paling berat mengenai Afghanistan ialah di dalam Taliban itu sendiri ada berbagai faksi, mulai dari yang moderat sampai fundamentalis. Demikian pula dengan suku-suku di Afghanistan yang tidak masuk Taliban, mereka juga memiliki pergesekan etnis yang kuat,” paparnya.
Menurut Ruhaini, selama program itu, tampak potensi yang positif dari pihak Taliban maupun pemerintah Afghanistan. Keduanya menyetujui bahwa peran perempuan di masyarakat harus ditingkatkan. Taliban dalam diskusi dengan ulama dari Indonesia beserta gerakan pengarustamaan jender mengakui pentingnya keberadaan perempuan sebagai guru, perawat, dokter, dan profesi yang lain.
Akan tetapi, Taliban bersikeras perempuan tidak boleh dicabut dari akarnya. Dalam hal ini ialah keluarga dan kampung halaman. Oleh sebab itu, dicapai kesepakatan mengenai sistem pendidikan perempuan secara jarak jauh sehingga perempuan tidak perlu meninggalkan rumah.
”Kami belum sempat membahas secara terperinci apabila model pendidikannya akan memakai modul atau secara daring,” tutur Ruhaini.
Menurut dia, saat ini gerakan perempuan berharap pada sikap Taliban selama pendampingan yang mengatakan menginginkan pemerintahan lebih terbuka. Selama penjajakan itu, Taliban memberi sinyal tidak menginginkan mereka dikucilkan dari dunia internasional. Jika demikian, standar paling mendasar ialah menghormati hak asasi manusia, termasuk perempuan dan anak.
Meskipun begitu, tetap ada kekhawatiran terhadap nasib perempuan di tengah belum adanya deklarasi dari Taliban. Para perempuan pegiat kesetaraan jender serta yang kritis terhadap Taliban dan pemerintah dikhawatirkan menjadi incaran Taliban. Taliban pernah berkuasa dari tahun 1996 sampai dengan 2001.
Ketika pemerintahan yang bernuansa moderat duduk di tampuk kepemimpinan, Undang-Undang Dasar Afghanistan tahun 2004 menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum. Perempuan pun mulai aktif di masyarakat dan politik, termasuk menjadi duta besar. Bahkan, Duta Besar Afghanistan untuk Indonesia juga pernah dijabat oleh seorang perempuan, yaitu Roya Rahmani.
Tak hanya itu, di tangan pemerintah yang moderat, pada tahun 2009 dibuat peraturan yang melarang pernikahan usia dini dan pemaksaan perkawinan. Terbit pula undang-undang anti-kekerasan terhadap perempuan dan anak. Lembaga pemantau HAM, Human Rights Watch, mengatakan berkat aturan itu, kesadaran masyarakat melaporkan kasus-kasus kekerasan meningkat meskipun belum masif. Pada beberapa kasus, perkara itu dilanjutkan hingga pengusutan dan penindakan hukum terhadap pelaku kekerasan.
Namun, pada Juli 2021, laporan yang diterima oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan bahwa kekerasan, bahkan pembunuhan terhadap perempuan mengalami peningkatan. Salah satunya adalah kasus pembunuhan para petugas imunisasi anak yang datang dari rumah ke rumah. (Reuters)