Pelajaran dari Jatuhnya Kabul ke Taliban, Uang-Senjata Tak Bisa Beli Daya Juang
Kejatuhan Kabul ke tangan kelompok Taliban lebih cepat dari yang diduga mencuatkan pertanyaan soal pelatihan militer yang dilakukan AS dan NATO dalam menempa kemampuan tempur militer dan polisi Afghanistan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Selama hampir dua dekade, pasca-kejatuhan pemerintahan Taliban di Afghanistan tahun 2001, Amerika Serikat membangun dan melatih militer Afghanistan. Total biaya yang dikeluarkan AS untuk membangun dan melatih militer Afghanistan sekitar 83 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1,19 kuadriliun. Namun, dalam beberapa hari terakhir sebelum kejatuhan ibu kota Kabul, tidak terlihat kedigdayaan dan kemampuan tempur pasukan Pemerintah Afghanistan.
Bahkan, dalam beberapa peristiwa, mereka menyerah tanpa ada perlawanan. Kini, setelah Afghanistan jatuh ke tangan Taliban, penerima manfaat utama dari investasi militer AS di negara itu adalah Taliban. Kelompok ini tidak hanya merebut kekuasaan politik, tetapi juga senjata, amunisi, helikopter, dan masih banyak lagi. ”Hadiah” bagi Taliban semakin banyak ketika mereka memasuki Kabul.
Seorang pejabat pertahanan AS, Senin (16/8/2021), mengonfirmasi soal penguasaan persenjataan militer modern yang diperuntukkan untuk militer Afghanistan oleh Taliban. Sang pejabat, yang meminta identitasnya disamarkan karena tidak berwenang membahas masalah ini secara terbuka, mengatakan bahwa pembalikan situasi ini adalah sebuah konsekuensi memalukan dari sebuah kesalahan penilaian oleh militer AS dan badan-badan intelijennya atas kemampuan militer Afghanistan.
Kegagalan AS, yang selama 20 tahun terakhir menyapih militer dan polisi Afghanistan, akan dipelajari selama bertahun-tahun oleh para analis. Namun, hal yang paling pokok adalah jelas dan nyata, tidak berbeda dengan apa yang terjadi di Irak.
Ada kekosongan di dalam diri militer dan polisi Afghanistan. Secara kelengkapan, mereka tidak diragukan lagi memiliki keunggulan. Namun, sebagian besar dari mereka kehilangan unsur penting dalam motivasi tempur. ”Uang tidak bisa membeli kemauan. Anda tidak dapat membeli kepemimpinan,” kata John Kirby, juru bicara Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin, Senin.
Doug Lute, pensiunan Angkatan Darat AS dengan pangkat Letnan Jenderal dan membantu mengarahkan strategi perang AS di Afghanistan semasa pemerintahan George W Bush dan Barack Obama, mengatakan bahwa anggota militer dan polisi di negara itu kekurangan banyak hal, terutama dalam hal-hal yang tidak kasatmata (intangible), tetapi ini justru paling penting.
Dalam perang, menurut Lute, prinsip dasar tidak berubah. ”Faktor moral mendominasi faktor material. Moral, disiplin, kepemimpinan, kekompakan unit lebih menentukan daripada jumlah pasukan dan peralatan. Sebagai orang luar Afghanistan, kami dapat menyediakan material. Namun, hanya orang Afghanistan yang dapat memberikan faktor moral yang tidak berwujud,” kata Lute.
Sebaliknya, anggota kelompok Taliban dengan jumlah pasukan yang lebih kecil, persenjataan kurang canggih, dan tidak memiliki kekuatan udara terbukti menjadi lawan yang tangguh bagi siapa pun. Sebagian besar badan intelijen AS meremehkan ruang lingkup superioritas itu. Bahkan, setelah Presiden AS Joe Biden mengumumkan penarikan mundur seluruh pasukan AS pada April lalu, badan intelijen AS tidak memperkirakan serangan Taliban akan sesukses ini dan berlangsung hanya dalam waktu yang singkat.
”Jika kita tidak mendasarkan tindakan dan pengambilan keputusan pada (perlunya membangun) harapan, kita akan menyadari bahwa penarikan pasukan AS mengirim sinyal pada militer dan polisi Afghanistan bahwa mereka ditinggalkan,” kata Chris Miller, mantan penjabat Menhan AS di pengujung pemerintahan Trump.
Keruntuhan moral
Stephen Biddle, profesor hubungan internasional dan publik pada Universitas Columbia yang juga merupakan mantan penasihat komandan militer AS di Afghanistan, menyatakan bahwa pengumuman Biden pada April lalu yang memicu keruntuhan moral terakhir militer Afghanistan. ”Penarikan itu mengirim sinyal bahwa semua aksi yang selama ini dibantu oleh AS akan berakhir. Semua orang membaca serupa hal itu,” kata Biddle. Perlahan tetapi pasti, pemerintah, militer, dan polisi kalah perang.
Kegagalan ini akan berdampak lebih buruk bagi Afghanistan ke depan. AS yang mencoba untuk mengembangkan pembentukan militer dan polisi Afghanistan yang modern, kredibel dan tangguh, pada saat yang sama juga berupaya untuk membangun kembali basis fondasi politik serta demokrasi yang penuh dengan korupsi dan kroniisme.
Tahun 2015, Chris Mason, profesor pada Institut Studi Strategis Army War College, menulis tentang kegagalan militer belajar dari perang pada masa lalu di Irak dan Vietnam. Dia menuliskan dengan terang dan jelas soal ini dalam subjudul bukunya: Mengapa Pasukan Keamanan Nasional Afghanistan Tidak Akan Mampu Bertahan.
”Mengenai masa depan Afghanistan, secara blak-blakan, Amerika Serikat telah menempuh jalan ini pada tingkat strategis dua kali sebelumnya, di Vietnam dan Irak, dan tidak ada alasan yang masuk akal, mengapa hasilnya akan berbeda di Afghanistan. Pembusukan lambat tidak bisa dihindari dan kegagalan negara adalah masalah waktu,” tulis Mason.
Menurut Anthony Cordesman, seorang analis senior perang Afghanistan pada Pusat Studi Strategis dan Internasional, meski beberapa elemen militer Afghanistan berjuang keras, secara keseluruhan militer Afghanistan yang disapih AS dan NATO masih ”rapuh” karena kegagalan para pemimpin sipil AS sebagai mitra militer mereka.
Pengembangan kekuatan militer Afghanistan sangat bergantung pada sumbangan AS. Bahkan, Pentagon juga membayar gaji anggota militer Afghanistan karena keuangan negara tidak cukup mampu. Yang menjadi masalah, uang itu dan bahkan bahan bakar dalam jumlahnya tak terhitung disedot oleh pejabat yang korup. Tak jarang, mereka ”mengadakan tentara bayangan” agar kucuran dollar tetap mengalir meski aliran itu lari ke kantong-kantong para pejabat.
Menurut data Kantor Inspektur Jenderal Khusus untuk Rekonstruksi Afghanistan, sejak tahun 2008 Pemerintah AS telah menggelontorkan sekitar 145 miliar dollar AS untuk pembangunan kembali Afghanistan. Sebanyak 83 miliar dollar AS di antaranya untuk mengembangkan kemampuan militer dan polisi. Angka 145 miliar dollar AS ini sendiri adalah merupakan anggaran tambahan dari 837 miliar dollar AS dana yang telah dihabiskan AS untuk berperang, dimulai dengan invasi tahun 2001.
Angka 83 miliar dollar AS untuk militer dan polisi Afghanistan hampir dua kali lipat anggaran tahun lalu untuk Korps Marinir AS dan sedikit lebih banyak dari anggarn Washington untuk bantuan kupon makanan bagi sekitar 40 juta warga AS.
Dalam bukunya, The Afghanistan Papers, jurnalis Craig Whitlock mempertanyakan soal cara rekrutmen gaya Barat yang diterapkan AS pada militer Afghanistan. ”Mengingat strategi perang AS bergantung pada tentara Afghanistan, bagaimanapun Pentagon secara mengejutkan tidak memberikan pertanyaan mendasar: apakah warga Afghanistan bersedia mati untuk membela pemerintah mereka,” tulisnya. (AP)