Pesawat Tanpa Awak AS Sikat Kelompok NIIS Khorasan
Amerika Serikat melalui pesawat tanpa awak berhasil menembak dua kendaraan berisi para pelaku bom bunuh diri dan bahan peledak. Efek ledakan dahsyat dari mobil kemudian membunuh tiga anak dan merusak bangunan sekitar.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
KABUL, MINGGU — Pesawat tanpa awak milik militer Amerika Serikat menyerang dua kendaraan bermuatan para pelaku bom bunuh diri. Bahan-bahan peledak meledak dahsyat hingga disebutkan ada tiga anak yang menjadi korban. Para pelaku bom bunuh diri yang diduga anggota NIIS Khorasan, kelompok pecahan milisi Negara Islam di Irak dan Suriah, itu disinyalir hendak menyerang Bandara Internasional Hamid Karzai, Kabul, lagi.
Serangan pesawat tanpa awak Amerika Serikat (AS) itu dilakukan pada Minggu (29/8/2021) atau dua hari sebelum tenggat penarikan pasukan dan warga AS dari Afghanistan, 31 Agustus. Selama dua pekan terakhir, AS sudah mengevakuasi 114.000 warga Afghanistan dan warga asing serta seluruh pasukan AS. Komando Pusat AS mendapat laporan ada warga sipil yang menjadi korban. ”Ada banyak bahan peledak berkekuatan tinggi dan ledakan terjadi karena itu,” kata juru bicara Komando Pusat AS, William Urban.
Kementerian Luar Negeri AS merilis pernyataan yang ditandatangani sekitar 100 negara, termasuk Uni Eropa dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), yang menyebutkan agar Taliban menjamin siapa saja boleh meninggalkan Afghanistan selama memiliki dokumen perjalanan yang sah. Kelompok Taliban juga berjanji semua urusan bepergian akan kembali normal setelah AS keluar dari Afghanistan dan mereka bisa kembali mengambil alih bandara.
Menurut penjelasan seorang pejabat senior AS, pesawat tanpa awak militer AS menembakkan rudal Hellfire ke kendaraan di dalam kompleks setelah diketahui ada beberapa orang yang sedang mengangkut bahan-bahan peledak ke dalam bagasi kendaraan itu. Kendaraan itu kemudian meledak dan dua anggota NIIS Khorasan diyakini tewas. Namun, tampaknya ledakan itu juga merusak bangunan yang ada di dekatnya.
Warga Kabul, Dina Mohammadi, mengatakan, keluarga besarnya tinggal di gedung itu dan beberapa orang di antaranya tewas, termasuk anak-anak. Tetangga keluarga itu, Ahmaduddin, menuturkan, akibat serangan itu, terjadi kebakaran besar sehingga sulit menyelamatkan warga di bangunan itu. ”Saya membawa keluar beberapa jasad anak-anak setelah serangan yang memicu ledakan,” ujarnya.
Serangan pesawat tanpa awak itu terjadi dua hari setelah serangan bom bunuh diri di bandara yang menewaskan sedikitnya 169 warga Afghanistan dan 13 tentara AS serta melukai ratusan warga. Presiden AS Joe Biden bertekad akan tetap menekan NIIS Khorasan dengan serangan-serangan udara mengingat masih adanya ancaman serangan dari kelompok itu.
Kelompok ekstremis Sunni di Negara Islam yang berjejaring dengan kelompok lain di Suriah dan Irak kerap melancarkan serangan dengan sasaran kelompok minoritas Syiah Muslim Afghanistan, termasuk serangan di rumah sakit khusus ibu dan anak di Kabul tahun lalu. Kelompok Taliban selama ini kerap melawan kelompok-kalompok afiliasi Negara Islam dan berjanji tidak akan membiarkan Afghanistan menjadi basis kelompok teroris.
Setelah serangan NIIS Khorasan di bandara, kelompok Taliban memperketat penjagaan di sekitar bandara. Di sekitar bandara masih banyak warga Afghanistan yang berharap bisa segera keluar dari Afghanistan karena takut dengan kelompok Taliban.
Pemerintah Inggris mengakhiri proses evakuasinya, Sabtu lalu, dan diikuti mayoritas negara sekutu AS. Namun, pesawat-pesawat kargo militer AS tetap melanjutkan evakuasinya hingga detik-detik terakhir. Penasihat keamanan nasional Biden, Jake Sullivan, mengatakan, AS mempunyai kapasitas untuk mengevakuasi sekitar 300 warga AS yang masih berada di Afghanistan.
AS belum berencana akan tetap membuka kantor kedutaan besar di Afghanistan setelah penarikan seluruh tentara dan warga AS berakhir. Meski demikian, Sullivan tetap menjamin keamanan dan keselamatan bagi warga AS dan warga Afghanistan yang selama ini membantu kepentingan AS untuk bisa keluar dari Afghanistan kapan saja setelah tanggal 31 Agustus 2021. Kelompok Taliban juga memberikan jaminan itu asalkan dokumen perjalanan yang dibutuhkan sudah lengkap.
Namun, pada saat yang sama, Taliban juga berharap warga Afghanistan mau tetap tinggal di Afghanistan dan membantu membangun kembali negara itu. Kelompok Taliban berjanji akan berubah. Namun, sejauh ini masyarakat masih banyak yang ragu. Setelah Taliban menguasai Kabul per 15 Agustus, puluhan ribu warga Afghanistan berbondong-bondong keluar dari negeri mereka. Rakyat Afghanistan khawatir Taliban akan represif sebagaimana gaya kepemimpinannya pada periode sebelumnya, 1996-2001.
Taliban menyatakan mengampuni seluruh rakyat Afghanistan, bahkan mereka yang selama ini bekerja untuk AS dan negara-negara sekutunya. Mereka juga menyatakan menghendaki perdamaian dan keamanan setelah selama puluhan tahun berperang. Namun, tetap saja masih banyak yang tak percaya. Apalagi setelah muncul banyak laporan eksekusi dan pelanggaran hak asasi manusia di daerah-daerah yang dikuasai kelompok Taliban.
Salah satunya adalah kasus pejuang Taliban yang membunuh Fawad Andarabi, seorang penyanyi, di Lembah Andarabi. ”Ayah saya tidak bersalah. Ia hanya penyanyi yang menghibur orang lain. Ia ditembak di bagian kepala di kebun,” kata anaknya, Jawad.
Kawasan Lembah Andarabi yang terletak 100 kilometer dari Kabul itu merupakan lokasi Taliban melawan kelompok-kelompok bersenjata lokal. Beberapa waktu lalu, Taliban akhirnya berhasil menguasai daerah itu.
Lembah Andarabi berada di dekat pegunungan Panjshir, satu-satunya provinsi di Afghanistan yang tidak berada di bawah kendali kelompok Taliban. Juru bicara kelompok Taliban, Zabihullah Mujahid, mengaku sedang menyelidiki kasus penembakan itu.
Kasus penembakan itu diduga dilakukan kelompok Taliban karena semasa kelompok itu berkuasa dulu, musik dilarang karena dianggap tidak islami. Padahal, Andarabi selama ini hanya menyanyikan lagu-lagu tradisional tentang tanah kelahirannya, rakyatnya, dan negerinya.
”Penembakan itu membuktikan kelompok Taliban masih belum berubah. Masih intoleran, kejam, represif seperti dulu. Tidak ada yang berubah,” cuit Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnes Callamard di Twitter. (REUTERS/AP/LUK)