Bayang-bayang Perang Saudara Kembali ke Afghanistan
Setelah merebut kekuasaan, Taliban dihadapkan pada tugas amat berat membentuk pemerintahan di tengah minimnya dana dan pengetahuan kenegaraan. Mereka juga harus menghadapi perlawanan kelompok sejenis.
Oleh
kris mada
·5 menit baca
Merebut dan mengendalikan adalah dua hal yang berbeda. Taliban tengah membuktikan itu di Afghanistan sejak 15 Agustus 2021. Komunitas internasional perlu membantu sembari tetap memahami bahwa hanya orang Afghanistan yang berhak menentukan masa depan negara dan bangsanya.
Hingga dua pekan sejak Taliban menduduki Kabul, masa depan Afghanistan memang belum jelas. Kini, tidak ada pemerintahan yang mengurus 38 juta warga Afghanistan yang didera perang tanpa henti selama 42 tahun terakhir itu. Taliban dan perwakilan politisi Afghanistan masih berunding dan belum kunjung bersepakat soal siapa yang akan memerintah negara itu.
Sejumlah kelompok di luar Taliban meminta pembentukan pemerintahan yang melibatkan semua pihak. Tidak mudah memenuhi permintaan itu karena faksi di Afghanistan, bahkan di internal Taliban, amat banyak.
Negara itu menghadapi sektarianisme dan primordialisme amat parah. Banyak orang Afghanistan tidak paham konsep bangsa Afghanistan. Mereka hanya tahu identitas sesuai etnis di sana, seperti Pastun, Hazara, Tajik, dan Aimaq. Pembentukan identitas nasional menjadi salah satu pekerjaan rumah Afghanistan masa depan.
Pekerjaan lain jelas membangun ulang negara itu. Dilanda perang sejak 1979 membuat banyak hal di Afghanistan hancur. Pada 2001-2021, berbagai upaya pembangunan berantakan karena terus disasar pasukan pemerintah, milisi Taliban, atau kelompok bersenjata lain dalam perang yang tiada henti. Jaringan jalan dan jembatan hancur. Jaringan listrik dan air apalagi. Sulit berharap pada negara tempat rumah sakit bersalin pun jadi sasaran bom bunuh diri.
Semua itu butuh dana. Taliban, yang masih berstatus organisasi teror di berbagai negara, sulit mendapatkan bantuan. Apalagi, hingga 75 persen anggaran Afghanistan bersandar pada bantuan asing. Dengan status sebagai kelompok teror, sulit bagi Taliban mengakses bantuan itu. Amerika Serikat, yang memasok hampir 20 persen uang ke Afghanistan, dan Uni Eropa sudah mengumumkan penundaan pencairan bantuan bagi Afghanistan.
Dari kebutuhan rata-rata 500 juta dollar AS per bulan, Taliban ditaksir hanya bisa mengakses paling banyak 18 juta dollar AS dana milik Pemerintah Afghanistan. Dana itu tersimpan di berbagai negara dan sulit diakses. Sebab, banyak negara sudah membekukan aset Pemerintah Afghanistan agar tidak bisa diakses Taliban.
Upaya Taliban memecahkan masalah itu dimulai dengan menunjuk Mohammed Idris sebagai pelaksana tugas gubernur bank sentral. Kepada Reuters, seorang pejabat Taliban yang menolak namanya diungkap menyebut bahwa Idris tidak punya pendidikan formal bidang keuangan ataupun agama. Milisi Taliban hanya tahu pria asal Jowzjan, provinsi di perbatasan Afghanistan dengan Turkmenistan-Uzbekistan, itu bertahun-tahun mengurus keuangan Taliban.
Hingga hampir sepekan ditunjuk, belum kunjung jelas apa rencana Idris pada perekonomian Afghanistan. Sama tidak jelasnya dengan apa rencana Taliban untuk mengelola Afghanistan. Kala berkuasa 1996-2001, Taliban tidak menunjukkan kecakapan mengelola negara.
Hak perempuan
Taliban malah sibuk memasung hak perempuan dan minoritas. Bahkan, hanya butuh beberapa hari sejak menduduki Kabul, Taliban kembali mengekang perempuan. Awalnya, mereka berjanji mengizinkan perempuan beraktivitas di luar rumah. Beberapa hari kemudian, Taliban melarang seluruh perempuan bekerja.
Pejabat Taliban khawatir para perempuan itu diserang milisi Taliban. Sebab, para milisi belum dilatih untuk memahami bahwa perempuan boleh bekerja. Selama puluhan tahun, milisi Taliban hanya terbiasa berperang. Mereka juga terbukti tidak bisa menghormati perempuan. Larangan itu adalah satu alasan ribuan orang Afghanistan dan banyak negara lain tidak percaya negara itu akan membaik apabila Taliban berkuasa.
Karena itu, kala bertemu perwakilan Taliban di Doha pada 26 Agustus 2021, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menekankan agar mereka menghormati hak perempuan. Retno juga meminta Taliban tidak menjadikan Afghanistan sebagai ladang pembibitan teroris.
Permintaan Retno selaras antara lain dengan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Juni 2021. Hingga 10.000 simpatisan teroris masuk ke Afghanistan. Mereka bergabung dengan berbagai kelompok di sana. Selain ke Taliban dan Al Qaeda, para militan itu bergabung dengan Negara Islam di Khorasan (NIK) yang merupakan pecahan dari Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
”Sama sekali bukan kejutan. Mereka (militan pendukung NIIS) melakukan itu di Irak dan Suriah,” kata mantan pegawai Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat dan kini pakar teror di Soufan Center, Jason Blazakis.
Kemenlu AS mendata 18 organisasi teror di Afghanistan dan Pakistan, termasuk Taliban. Selain banyak, jaringan kelompok teror itu menyebar di berbagai tempat di kedua negara itu.
Direktur Riset Soufan Center Colin Clarke menyebut, NIK paling brutal di antara kelompok itu. ”Mereka tidak percaya politik. Mereka percaya hanya Tuhan boleh menetapkan aturan dan mereka menjadi pelaksananya,” katanya.
Bukan hanya NIK yang harus dihadapi Taliban. Sejak 1996, Taliban sudah berperang dengan Aliansi Utara yang dibentuk antara lain oleh Ahmad Shah Massoud dan Abdul Rashid Dostum. Sebagian milisi aliansi itu kini bergabung dengan Barisan Perlawanan Nasional (NRF) yang dipimpin Ahmad Massoud, anak Ahmad Shah Massoud. ”Taliban kewalahan. Mereka memang pandai menyasar warga sipil. Walakin, mereka tidak becus menghadapi kelompok sejenis dengan mereka,” kata peneliti teror pada Council on Foreign Relations, Bruce Hoffman.
Direktur Riset pada Center for Naval Analyses Jonathan Schroden mengatakan, berbagai sumber menyebut total milisi Taliban tidak sampai 100.000 orang. Jika harus menyebarnya ke ratusan distrik, kekuatan Taliban di masing-masing distrik akan menipis. ”Taliban memang mudah menguasai banyak distrik. Namun, mempertahankannya akan jadi perkara lain. Butuh orang amat banyak,” tuturnya.
Untuk mengelola negara seperti Afghanistan, memang membutuhkan banyak orang. Taliban butuh lebih dari 100.000 milisi untuk mengelola negara itu.
Bagi Schroden, salah satu yang harus kembali dihadapi Afghanistan di bawah Taliban adalah perang saudara. Taliban sudah mengalami itu kala Uni Soviet terusir pada 1989. Berbagai faksi yang awalnya bersatu mengusir Moskwa berbalik menjadi saling tembak sampai sekarang.
Serangan NIK di Bandara Kabul, menurut Schroden, adalah tanda awal perang saudara skala luas kembali ke Afghanistan. Penanda buruk bagi bangsa yang tokohnya sedang berunding menentukan masa depan negara itu.
Seperti perundingan yang tengah berlangsung antara Taliban dan kelompok lain, perang saudara di negara itu juga belum jelas. Di dunia yang semakin terhubung, masalah di Afghanistan akan menjadi masalah bagi negara lain. Karena itu, komunitas internasional perlu membantu Afghanistan. Bantuan diberikan sembari terus memahami bahwa hanya orang Afghanistan yang berhak menentukan masa depan negara itu. (AFP/REUTERS)