Di tengah proses evakuasi yang masih berjalan, situasi dan kondisi keamanan di Kabul sangat rapuh. Perancis mengusulkan agar PBB menetapkan resolusi yang menjadi dasar untuk membangun keamanan di Kabul.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·4 menit baca
PARIS, MINGGU — Situasi di Kabul, Afghanistan, masih belum menentu. Isu keamanan dan evakuasi warga masih menjadi perhatian dari banyak negara.
Kepada surat kabar Perancis, Le Journal du Dimanche, yang diterbitkan Minggu (29/8/2021), Presiden Perancis Emmanuel Macron mengatakan, Perancis dan Inggris akan mengajukan resolusi dalam pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB, Senin esok. Resolusi itu berisi usulan agar Kabul ditetapkan sebagai zona aman. Macron menegaskan, penetapan itu penting untuk melindungi orang-orang atau warga yang ingin meninggalkan Afghanistan.
”Proposal resolusi kami bertujuan untuk menentukan zona aman di Kabul, di bawah kendali PBB, yang akan memungkinkan operasi kemanusiaan berlanjut,” kata Macron.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres direncanakan akan menggelar pertemuan dengan utusan PBB Inggris, Perancis, Amerika Serikat, China, dan Rusia.
Menurut Macron, Sabtu kemarin, Perancis telah menggelar pembicaraan awal dengan Taliban membahas situasi kemanusiaan di Afghanistan. Selain itu, mereka juga membahas upaya untuk mengevakuasi lebih banyak orang dari Afghanistan.
Perancis merupakan salah satu dari sejumlah negara yang telah mengakhiri evakuasi warga mereka dari bandara Kabul. Perancis mengevakuasi 2.834 orang dari Afghanistan. Sementara itu, AS masih melanjutkan proses evakuasi hingga akhir tenggat yang telah ditetapkan, yaitu pada 31 Agustus mendatang. Hingga saat ini, masih tersisa kurang dari 4.000 personel AS di Kabul.
Menurut Macron, keberadaan zona aman itu penting, terutama untuk memberi kerangka kerja bagi PBB untuk dapat bertindak, terutama apabila terjadi keadaan darurat. Selain itu, menurut Macron, zona aman itu juga diperlukan untuk memberi ruang bagi komunitas internasional untuk memberi tekanan kepada Taliban, yang kini menguasai Afghanistan.
Ancaman keamanan
Sementara itu, dari Washington dikabarkan, Presiden Joe Biden, Sabtu waktu AS atau Minggu waktu Indonesia, mengingatkan kembali adanya potensi serangan, baik selama maupun setelah proses evakuasi.
Potensi ancaman, antara lain, muncul dari filial kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Afghanistan. Kelompok itu menyebut dirinya sebagai Negara Islam di Khorasan. Kelompok ini mengklaim bertanggung jawab atas serangan di luar bandara Kabul, Kamis lalu. Dalam serangan itu, setidaknya 200 orang tewas, 13 di antaranya tentara AS.
Washington kemudian membalas serangan itu dengan mengerahkan serangan udara tanpa awak di Nangarhar. Serangan udara itu berhasil membunuh dua pentolan Negara Islam di Khorasan.
Meskipun demikian, Biden mengatakan, situasi di lapangan masih sangat berbahaya. Menurut dia, pihak militer memperkirakan serangan baru akan mungkin terjadi dalam 24 hingga 36 jam ke depan. Gedung Putih mengatakan beberapa hari ke depan kemungkinan akan menjadi hari yang paling berbahaya.
Terkait dengan kondisi itu, Kedutaan Besar AS di Kabul mengingatkan warga AS yang masih tersisa di Kabul untuk menghindari bandara dan wilayah di sekitarnya. Gerbang Selatan dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Panjshir menjadi area yang dinilai paling berisiko.
Di sisi lain, otoritas Taliban merasa tidak nyaman dengan serangan udara AS di Nangarhar. ”Amerika seharusnya memberi tahu kami sebelum melakukan serangan udara. Itu adalah serangan di wilayah Afghanistan,” kata Zabihullah Mujahid, juru bicara Taliban.
Taliban, menurut Mujahid, telah menangkap beberapa orang yang diduga terlibat dalam serangan di bandara Kabul. Mujahid juga mengatakan, pihaknya akan segera mengambil alih bandara setelah AS mundur dan Taliban telah mengumumkan kabinet mereka.
Taliban yang saat ini menguasai Afghanistan berharap AS dan negara-negara Barat tetap mempertahankan hubungan diplomatik mereka setelah proses evakuasi rampung. Terkait harapan itu, sejumlah pihak, salah satunya Inggris, mengatakan, relasi tersebut akan terjalin apabila Taliban menghormati hak asasi manusia dan memberi jaminan keamanan kepada siapa pun yang ingin meninggalkan Afghanistan.
Terkait dengan penangkapan anggota jaringan NIIS di Afghanistan, media Inggris, The Times—mengutip keterangan seorang pejabat Taliban—Sabtu lalu, memberitakan, dua di antara mereka adalah warga Malaysia. ”Kepolisian Kerajaan Malaysia telah meminta badan keamanan di luar negeri untuk mengonfirmasi laporan serta tuduhan itu,” kata Inspektur Jenderal Polisi Acryl Sani Abdullah Sani dalam sebuah pernyataan.
Menurut Kepala Kepolisian Malaysia itu, sejauh ini pihak berwenang tidak memiliki informasi mengenai keterlibatan warga Malaysia dalam kelompok militan di Afghanistan. Sani menambahkan, proses investigasi tengah dilakukan.
Sebagaimana diberitakan, lusinan warga Malaysia memilih meninggalkan negara Malaysia untuk bergabung dengan NIIS di Suriah. Setelah NIIS berhasil dihancurkan, sebagian dari mereka telah diizinkan kembali. Namun, belum diketahui berapa banyak yang masih tersisa di luar negeri.