Antara Pergi atau Tinggal, Beda Sikap Warga Afghanistan
Berkuasanya Taliban saat ini disikapi oleh publik Afghanistan dalam dua pandangan. Sebagian memilih tetap menetap, sebagian lagi berupaya pindah dari tanah airnya.
Konflik bersenjata selalu menyisakan derita bagi warganya. Sebagian warga kemudian memilih mencari hidup damai dengan meninggalkan Tanah Air yang dicintainya.
Hingga 2020 terdapat 82,4 juta warga di seluruh dunia yang terpaksa mengungsi dari negaranya karena penganiayaan, konflik, kekerasan, serta pelanggaran hak asasi manusia. Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) mencatat ada lima negara yang paling tinggi jumlah pengungsinya, yaitu Suriah, Venezuela, Afghanistan, Sudan Selatan, dan Myanmar.
Sebanyak 68 persen pengungsi di dunia berasal dari lima wilayah tersebut. Khusus dari Afghanistan ada 2,6 juta warga yang mengungsi. Survei yang dilakukan oleh The Asia Foundation mengungkapkan banyaknya warga Afghanistan yang mengungsi tidak dapat dilepaskan dari kondisi keamanan dan keterpurukan ekonomi yang membuat mereka kehilangan pekerjaan dan penghasilan.
Situasi sulit akibat konflik bersenjata yang berkepanjangan membuat sebagian warga Afghanistan memilih eksodus untuk mencari kehidupan yang damai dan sejahtera. Kondisi ini memberi gambaran bahwa perdamaian menjadi harapan bagi warga Afghanistan untuk menata kehidupan pada masa mendatang.
Namun, jalan damai yang diimpikan bukanlah sesuatu yang mudah untuk diwujudkan. Upaya rekonsiliasi antara Pemerintah Afghanistan, Pemerintah Amerika Serikat, dan pihak Taliban sudah berulang kali dirundingkan.
Terakhir, jalan rekonsiliasi ditandangani pada 29 Februari 2020 oleh pihak AS dan Taliban. Utusan Khusus AS untuk Afghanistan, Zalmay Khalilzad dan Kepala Urusan Politik Taliban, Mullah Abdul Ghani Baradar, menandatangani perjanjian damai di Qatar. Sayangnya, pihak Pemerintah Afghanistan tidak turut serta dalam momen ini.
Intisari perjanjian itu, AS akan menarik personel pasukannya di Afghanistan. Sementara Taliban berkomitmen tidak akan membiarkan Afghanistan menjadi sarang kelompok teroris, termasuk Al Qaeda. Kedua belah pihak juga sepakat melakukan pertukaran tawanan.
Publik Afghanistan melihat kesepakatan damai ini dengan dua kacamata yang berbeda. Salah satu upaya melihat respons warga Afghanistan terhadap proses perdamaian dilakukan The Asia Foundation dengan menggelar survei bertajuk Afghanistan Flash Surveys on Perceptions of Peace, Covid-19, and the Economy yang dilakukan dalam tiga gelombang.
Gelombang pertama pada bulan September hingga Oktober 2020 dilanjutkan pada November sampai Desember 2020, dan gelombang terakhir dilaksanakan pada Februari 2021. Salah satu tujuan dari survei yang melibatkan 4.059 responden warga Afghanistan ini adalah memotret persepsi warga terhadap upaya perdamaian.
Dari survei terakhir yang dilakukan masih lebih banyak publik di Afghanistan yang belum berharap banyak pada kesepakatan damai tersebut. Bagian terbesar responden (53 persen) menjawab ”tidak” saat diberikan pertanyaan ”Apakah menurut Anda kondisi damai dapat dicapai dalam waktu dua tahun mendatang?”. Kondisi ini menunjukkan bahwa harapan memberikan perdamaian di Afghanistan perlu dibuktikan dengan menjalankan komitmen kesepakatan di antara pihak-pihak yang bertikai.
Terlebih setelah kesepakatan ditandatangani, serangan bersenjata masih terus terjadi. Ledakan bom menewaskan tiga orang dan melukai 11 orang lainnya di Khost, Afghanistan timur, yang terjadi dua hari setelah kesepakatan damai. Serangan bom tersebut terjadi setelah militer Afghanistan melaporkan, Taliban menyerang pos-pos tentaranya di Badghis, Afghanistan barat.
Pindah
Belum kuatnya komitmen untuk menjalankan hasil dari kesepakatan damai berdampak pada sikap publik Afghanistan. Sebagian warga memilih tetap tinggal sebagian lagi berupaya pindah dari tanah airnya.
Bagi kelompok masyarakat yang pesimistis dan memandang harga yang dibayar untuk perdamaian terlalu mahal, mereka memilih opsi untuk bermigrasi atau hengkang dari Afghanistan. Terlebih, sejak 13 Agustus 2021, Taliban menguasai pemerintahan Afghanistan setelah berhasil menguasai ibu kota Kabul.
Berkuasanya Taliban tidak terlepas dari keputusan Presiden AS Joe Biden untuk menarik keluar semua anggota militernya dari Afghanistan dengan batas akhir pada 11 September 2021. Sempat terjadi kepanikan dan eksodus di kalangan masyarakat Afghanistan pertengahan Agustus 2021.
Peristiwa jatuhnya Kabul ke tangan Taliban mendorong warga Afghanistan dan WNA yang tinggal di sana segera pindah ke luar negeri. Diberitakan oleh The New York Times, hingga 24 Agustus 2021 sudah ada 70.700 orang yang dievakuasi dari Bandara Internasional Kabul yang dijaga oleh 6.000 militer AS.
Kebijakan pemerintahan Taliban saat ini secara tegas melarang warganya untuk keluar dari Afghanistan. Juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, menyatakan bahwa sejak 24 Agustus 2021, jalan menuju bandara ditutup bagi warga negara Afghanistan. Namun, masih ada warga yang berupaya pergi ke luar negeri dengan harapan masih terbuka penerbangan hingga tenggat waktu penarikan pasukan asing dari Afghanistan.
Di luar kegentingan setelah Taliban merebut kekuasaan, hasrat warga Afghanistan untuk meninggalkan negaranya sudah tertanam dalam benak sepertiga warga Afghanistan. Data survei dari The Asia Foundation pada 2011 menunjukkan 34 persen responden berniat pergi dari Afghanistan dan mencari kehidupan yang lebih baik. Minat warga untuk eksodus tersebut mengalami kenaikan pada 2019. Hasil survei menunjukkan terdapat 38 persen responden ingin bermigrasi ke luar Afghanistan.
Faktor keamanan dan perdamaian menjadi motivasi utama warga Afghanistan yang memilih pergi dari negaranya. Selain masalah keamanan dalam negeri, alasan lain adalah soal minimnya lapangan kerja dan lemahnya kemampuan pemerintahan untuk menjalankan tugasnya melindungi warganya.
Harapan
Walau ada sebagian warga yang memilih ke luar dari Afghanistan, sebagian besar warga lainnya tetap memilih tinggal. Kondisi ini didasari pada keyakinan sebagian besar responden (64 persen) yang menaruh harapan akan perdamaian yang sedang dijalankan.
Bagi mereka, identitas sebagai warga Afghanistan membuatnya berusaha menerima kondisi yang ada. Bertahannya masyarakat Afghanistan untuk tetap tinggal didasari oleh alasan yang mengakar. Alasan terbesar yang diungkapkan oleh mereka yang tetap tinggal di Afghanistan, apa pun keadaanny,a lebih didasari oleh faktor identitas Afghanistan sebagai tanah kelahiran pada diri seseorang.
Alasan lain yang banyak diungkapkan adalah untuk membangun kembali negara dan mematuhi larangan dari pemerintah untuk bermigrasi. Sisi lain temuan survei The Asia Foundation tersebut menarik untuk dicermati karena muncul apresiasi sekaligus harapan terhadap kemajuan rekonsiliasi di Afghanistan.
Laporan tahunan A survey of the Afghan people yang dilaksanakan oleh The Asia Foundation menunjukkan ada peningkatan apresiasi responden yang yakin bahwa upaya negosiasi dapat dilakukan dengan tujuan menciptakan situasi damai. Pada 2017, keyakinan responden terhadap langkah negosiasi perdamaian sebesar 52 persen naik menjadi 64 persen pada 2019.
Sebagai warga negara yang negerinya dilanda peperangan selama puluhan tahun, upaya perdamaian tanpa pertumpahan darah menjadi harapan yang paling didambakan. Perlu digarisbawahi beratnya mewujudkan perdamaian juga didasari kondisi keragaman Afghanistan yang terdiri dari beragam etnik, di antaranya Pashtun, Tajik, Uzbek, dan Hazara.
Menyatukan dan mendamaikan banyak kepentingan bukan perkara mudah. Mewujudkan perdamaian sudah barang tentu menjadi prioritas segala lapisan masyarakat Afghanistan. Hal ini terungkap dari hasil penelitian lanjutan yang menanyakan tentang dukungan terhadap proses negosiasi apabila disertai kondisi khusus.
Kondisi khusus yang dimaksud, antara lain, ialah tentang apabila Taliban memegang kendali mayoritas pemerintahan, menyoal peran perempuan, pemberlakuan hukum Islam yang lebih dominan, serta penentuan pemimpin yang dipilih melalui sistem Emirat.
Dari keempat kondisi khusus yang diajukan, isu pembatasan peran perempuan pada ranah publik menurunkan angka dukungan terhadap proses negosiasi secara cukup signifikan. Apabila peran perempuan dibatasi, dukungan hanya pada angka 57 persen, sedangkan jika pembatasan tidak dilakukan, dukungan mencapai 75 persen.
Hal ini menandakan bahwa mempertahankan peran perempuan di ranah publik menjadi salah satu penentu dukungan warga Afghanistan terhadap proses pembentukan pemerintahan beserta segala perangkatnya.
Walaupun ada tanda optimisme untuk mencapai perdamaian, masih terdapat hal-hal yang cukup pelik untuk diwujudkan. Persoalan menjadi rumit dan butuh banyak waktu untuk menangani bentuk pemerintahan sementara, reformasi negara, perubahan konstitusional, gencatan senjata, serta menjamin hak dan kesejahteraan perempuan.
Saat menduduki Kabul, pihak Taliban memberikan janji politik bahwa mereka akan membangun rekonsiliasi dengan semua elemen di Afghanistan, menghentikan kekerasan, dan menghormati hak-hak perempuan.
Baca juga : Masa Depan Hubungan Taliban dengan Al Qaeda
Dunia menunggu kebijakan Afghanistan di bawah Taliban untuk membuktikan komitmen perdamaian dan melindungi segenap warganya. Serangan bom bunuh diri di sekitar Bandara Kabul pada 26 Agustus 2021 menjadi ujian perdamaian yang dijanjikan Taliban. Keberhasilan pemerintahan Taliban mewujudkan Afghanistan yang damai sekaligus dapat memberikan tawaran kepastian bagi semua warganya agar tetap mau tinggal dan turut membangun kembali Afghanistan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Masa Depan Media Sosial di Afghanistan