Afghanistan merupakan salah satu negara terburuk bagi perempuan, terutama saat rezim Taliban, 1996-2001. Sementara berbagai kajian membuktikan, pemberdayaan perempuan adalah prasyarat kemajuan pembangunan.
Oleh
FX LAKSANA AS
·4 menit baca
Periode 1996-2001 adalah masa tergelap bagi kaum perempuan di Afghanistan. Di bawah rezim Taliban saat itu, perempuan diikat berbagai aturan yang menindas, diskriminatif, dan melanggar hak-hak asasi manusia. Pelanggaran kecil saja, ganjaran hukumannya amat keras. Bagi banyak pihak, tingkatnya sudah amat berlebihan.
Perempuan dilarang bekerja di tempat-tempat umum. Mereka juga dilarang sekolah. Tanpa ditemani pasangan resmi atau saudara, perempuan dilarang keluar rumah. Mereka juga dilarang tampil di radio, televisi, dan acara-acara publik.
Akibat kebijakan segregasi gender di bidang kesehatan yang diterapkan Taliban mulai 1998, perempuan serta anak-anak menjadi korban paling menderita. Akumulasinya, kesehatan masyarakat Afghanistan jatuh dalam kondisi terburuk pada lima tahun terakhir periode Taliban.
Mengutip lembaga penyiaran publik di Amerika Serikat, Public Broadcasting Service (PBS), 165 anak mati sebelum usia lima tahun dari 1.000 kelahiran hidup per tahun. Harapan hidup rata-rata perempuan adalah 46 tahun. Kondisi ini tak lepas dari masalah sosial-ekonomi Afghanistan. Namun, kebijakan Taliban jelas memperburuk situasi.
Setelah Taliban lengser dari kekuasaan per Oktober 2001 menyusul serangan pasukan Amerika Serikat, perempuan Afghanistan menikmati kehidupan yang lebih baik. Bukan berarti persoalan perempuan serta merta hilang. Faktanya sejumlah persoalan masih bertebaran. Namun, setidaknya mereka sudah bisa mengekspresikan diri dengan lebih bebas, termasuk menjadi anggota parlemen.
Setelah Taliban mengambil alih kekuasaan Afghanistan per 15 Agustus 2021, mimpi buruk lama itu kembali mendatangi para perempuan di Afghanistan. Sekalipun Taliban mengklaim akan mengubah gaya kepemimpinan, banyak yang ragu. Apalagi, sejumlah kejadian mutakhir memberi sinyal yang menguatkan keraguan itu.
Dalam wawancara dengan stasiun televisi Perancis, France 24, Shabnam Khan Dawran menceritakan pengalamannya baru-baru ini. Satu hari, Shabnam yang bekerja sebagai pembawa berita di stasiun penyiaran publik di Afghanistan, RTA, hendak masuk kerja seperti biasanya. Di gerbang kantor, ia dilarang masuk sekalipun sudah menunjukkan kartu karyawannya. Sementara pegawai laki-laki tetap diijinkan masuk. ”Alasannya sistem sudah berubah,” kata Shabnam.
Selama dua pekan terakhir, puluhan ribu perempuan dengan berbagai cara sudah dan sedang bergegas keluar dari Afghanistan. Kira-kira seminggu lalu, Khudadadi (23), atlet taekwondo perempuan pertama Afghanistan di Paralimpiade, meminta pertolongan evakuasi kepada dunia melalui video yang viral di Youtube. Merujuk Japan Times, per 25 Agustus, tim dari Komite Paralimpiade Internasional telah mengevakuasinya.
Toh lebih banyak perempuan yang tidak punya akses dan hanya bisa menunggu nasib di Afghanistan. Salah satunya adalah seorang perempuan yang pasrah menyerahkan bayinya kepada tentara Inggris. Dalam rekaman video yang viral di Youtube beberapa hari belakangan, ia menyerahkan bayinya dari luar tembok bandara berkawat duri kepada tentara Inggris yang berada dibalik tembok.
Seorang ibu sampai menyerahkan bayinya dengan pasrah kepada orang asing. Itulah kadar putus asa dan ketakutan yang meliputi perasaan perempuan Afghanistan hari-hari ini.
Berdasarkan survei sejumlah lembaga pemerhati perempuan, Afghanistan adalah salah satu tempat terburuk di dunia bagi perempuan. Afghanistan tidak saja menjadi suaka bagi praktek ketimpangan jender, tetapi juga arena kekerasan terhadap perempuan. Pada 2020, penduduk Afghanistan berjumlah 38,93 juta jiwa. Sebanyak 18,95 juta jiwa di antaranya atau 48,69 persen adalah perempuan.
Banyak negara dan kajian telah membuktikan bahwa perempuan yang memiliki kesetaraan hak dengan kaum pria, berdaya, sekaligus punya akses dan berperan aktif di berbagai aspek kehidupan masyarakat menjadi basis sekaligus akselerator pembangunan negara.
Kajian Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebutkan, memberdayakan perempuan serta meningkatkan keterampilan dan kepemimpinan perempuan di bidang ekonomi, politik, dan sosial masyarakat adalah esensial untuk memaksimalkan daya saing negara. Kepemimpinan yang beragam akan mendorong solusi inovasi guna memacu pertumbuhan ekonomi.
”Keberagaman jender pada institusi-institusi publik, seperti eksekutif, parlemen, dan pengadilan, sangat krusial. Sebab, institusi-institusi itu membuat keputusan-keputusan dan menciptakan aturan-aturan yang berdampak pada hak-hak masyarakat, kebiasaan-kebiasaan dan pilihan-pilihan hidup, distribusi barang dan jasa di masyarakat, serta akses terhadap sumber daya publik dan swasta,” kata OECD.
World Economic Forum dalam salah satu laporannya menyebutkan, hak-hak perempuan adalah hak asasi manusia yang tidak terbantahkan. Sejalan dengan itu, pemberdayaan ekonomi perempuan adalah hal yang tepat dan cerdas untuk dilakukan karena keuntungan ekonomi dari pemberdayaan perempuan sangat substansial. Kesetaraan jender berkorelasi positif dengan pendidikan dan kesehatan yang lebih baik, pendapatan per kapita yang lebih tinggi, pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan lebih inklusif, serta daya saing yang lebih besar.
Studi McKinsey Global Institute menunjukkan, menutup kesenjangan jender dalam tingkat partisipasi angkatan kerja akan menambah 12-25 persen produk domestik bruto global pada 2025. Artinya, peran perempuan vital bagi pembangunan dan kesejahteraan.
Bukan zamannya lagi menganggap bahwa kesetaraan jender, penghormatan kepada perempuan, dan pemberdayaan perempuan, adalah hadiah atau akibat dari kemajuan. Pemberdayaan perempuan itu sendiri adalah prasyarat sekaligus pilar kemajuan.
Maka, setiap upaya yang merefleksikan perlawanan terhadap paradigma ini justru akan menghambat kemajuan negara. Membangun Afghanistan berarti membebaskan dan memberdayakan perempuan. Perempuan adalah masa depan Afghanistan. (FX LAKSANA AS)