China dan Rusia Sepakat Perhatikan Moderasi di Afghanistan
Peralihan kekuasaan di Afghanistan memantik perhatian khusus China dan Rusia. Kedua negara sepakat untuk mendorong moderasi Taliban, yang kini berkuasa di Afghanistan.
BEIJING, KAMIS — Rusia dan China akhirnya mencapai kesepakatan terkait Afghanistan di bawah kekuasaan Taliban. Mereka akan meningkatkan kerja sama bilateral untuk memastikan tidak ada ideologi dan pelaku terorisme ataupun narkoba yang bocor dari negara di Asia Tengah itu.
Baca juga : Tidak Ada Hitam-Putih di Afghanistan
Kesepakatan itu terjadi setelah Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin berdiskusi melalui telepon pada hari Kamis (26/8/2021). Berdasarkan keterangan resmi yang dikeluarkan oleh Kremlin, ada tiga pokok misi di Afghanistan, yaitu membangun perdamaian, melawan terorisme, dan mencegah penyebaran narkoba.
Beberapa hari sebelumnya, Putin sempat mengutarakan keengganan terlibat dalam urusan Afghanistan. Alasannya, ia tidak mau mengulangi sejarah buruk di masa Uni Soviet ketika tentara Soviet berperang melawan Mujahidin pada kurun 1979-1989. Sebanyak 90.000 serdadu dari kedua belah pihak tewas. Jumlah Korban jiwa dari militer Soviet mencapai 14.000 jiwa.
Baca juga : Ratapan untuk Afghanistan
Namun, diskusi dengan Xi mengubah pikiran Putin. Menurut Xi, saat ini negara-negara yang dekat secara geografis dan politik dengan Afghanistan adalah China dan Rusia. Oleh sebab itu, kedua negara besar ini memiliki kesempatan untuk memengaruhi Taliban agar setia pada janji pemerintahan yang inklusif dan moderat serta tidak menjadi rumah bagi organisasi teroris mana pun.
Bulan September, Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) yang beranggotakan China dan negara-negara di Asia Tengah akan bertemu di Tajikistan. Xi dan Putin berjanji akan membahas langkah lebih lanjut mengenai Afghanistan dengan melibatkan negara-negara lain.
Baca juga : Masa Depan Media Sosial di Afghanistan
Sebelumnya, pada pertemuan kelompok tujuh negara terkaya dunia atau G-7, Italia mengutarakan maksud untuk membahas persoalan Afghanistan ke kelompok 20 negara dengan ekonomi terbesar atau G-20. Selain China dan Rusia, anggota G-20, antara lain, mencakup Indonesia, Turki, dan Arab Saudi.
Sementara itu, dilansir dari harian The Moscow Times, Ketua Diaspora Afghanistan di Rusia Ghulam Mohammad Jalal mengatakan telah mendapat arahan dari Pemerintah Rusia. ”Rusia akan memberi suaka kepada 1.000 pengungsi Afghanistan. Ini mencakup mahasiswa Afghanistan yang sedang kuliah di Rusia dan keluarga mereka, juga pengungsi yang baru menyelamatkan diri dari Afghanistan,” ujarnya.
Baca juga : Afghanistan, Neo-Taliban, Indonesia
Investasi
Bagi China, angkat kakinya Amerika Serikat dari bumi Afghanistan berarti membuka kesempatan melakukan penanaman modal besar-besaran. China selama dua dekade ini menunjukkan minat untuk berinvestasi di sana, tetapi jarang terjadi karena tidak mau berurusan dengan otoritas AS yang menduduki Afghanistan.
Dalam wawancara dengan surat kabar nasional Global Times, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin mengatakan, China siap untuk membantu Afghanistan menjaga perdamaian dan stabilitas keamanan serta melakukan pembangunan. Apalagi, Juru Bicara Taliban Suhail Shaheen dalam beberapa rilis media mengatakan, pemerintahan Taliban akan mulai membangun jalan-jalan di pelosok.
Baca juga : Wali Kota Perempuan di Afghanistan Buka Suara
Dua sektor yang menarik minat penanam modal dari China ialah listrik dan pangan. Berdasarkan data perusahaan listrik Afghanistan, Da Afghanistan Breshna Sherkat, hanya 35 persen dari 32,8 juta penduduk negara itu yang memiliki akses listrik. Lebih rinci lagi, 70 persen listrik Afghanistan diimpor dari negara-negara tetangga.
Perusahaan listrik PowerChina tertarik berinvestasi. Saat ini, mereka tengah melakukan perluasan di Bendungan Tarbela, Pakistan. Bendungan ini memproduksi 25 persen listrik untuk Pakistan. Sistem serupa bisa diterapkan di Afghanistan.
Di sektor pangan, Program Pangan Dunia (WFP) mencatat pada tahun 2020 sepertiga pangan Afghanistan adalah impor. Salah satu penyebabanya adalah lahan pertanian dipakai untuk budidaya opium. Hal itu tampak dari data bahwa 85 persen opium di dunia berasal dari Afghanistan.
Baca juga : Jejak Digital dan Keamanan Warga Afghanistan
WFP mengatakan, butuh setidaknya 200 juta dollar AS untuk memastikan masyarakat Afghanistan tidak jatuh dalam bencana kelaparan. China mengaku percaya diri bisa membantu di sektor ini karena penduduk China yang sebesar 1,4 miliar jiwa tercukupi pangannya dari produksi lokal.
Shaheen menuturkan, Taliban menantikan kerja sama ekonomi dan pembangunan dengan China. Perkataan dia merujuk pada risiko Afghanistan tidak akan memperoleh bantuan internasional, padahal 42,9 persen pendapatan domestik bruto dan 70 persen belanja pemerintah negara ini berasal dari bantuan internasional.
Baca juga : 14 Juta Warga Afghanistan Terancam Kelaparan
Pekan lalu, Bank Dunia mengeluarkan pernyataan menangguhkan semua bantuan untuk Afghanistan karena tidak mau bekerja sama dengan kelompok bersenjata pelanggar hak asasi manusia. Tidak lama kemudian, Dana Moneter Internasional (IMF) mengumumkan mereka menangguhkan semua pinjaman dan bantuan kepada Afghanistan dengan jumlah keseluruhan 410 juta dollar AS.
”Syarat yang diberikan Beijing adalah Afghanistan bersih dari teroris dan tidak ada letupan konflik antarsuku ataupun antarfraksi. Ini sangat pragmatis, tapi kenyataannya selama ini Afghanistan terus bermasalah di persatuan antarsuku, bahkan antarpanglima di dalam satu suku,” kata Liu Zongyi, Sekretaris Jenderal Pusat Penelitian Kerja Sama China-Asia Selatan di Institut Kajian Luar Negeri Shanghai. (AFP/REUTERS)