Masa Depan Media Sosial di Afghanistan
Saat ini Taliban menguasai Afghanistan. Di masa depan, akankah kekuasaannya juga mencengkeram ruang media sosial?
Setelah Taliban menguasai Kabul, ibu kota Afghanistan, pada 13 Agustus 2021, perusahaan media sosial Facebook, Youtube, Twitter, dan yang lain dihadapkan pada kondisi dilematis. Sebagian berpegang pada peraturan perusahaan dan melakukan pemblokiran, sebagian lagi belum mengambil tindakan.
Keputusan harus segera ditentukan. Pasalnya, media sosial memberikan sarana kepada siapa pun untuk bisa tampil di panggung dunia. Saat ini, Taliban sedang berupaya mengukuhkan kedudukannya sebagai yang memerintah Afghanistan. Salah satunya dengan membangun legitimasi melalui media sosial.
Hingga 21 Agustus 2021, setidaknya ada dua platform yang sudah menentukan sikap, yaitu Facebook dan Youtube. Sementara Twitter masih belum menyatakan sikap terhadap gejolak yang terjadi di Kabul belakangan ini.
Facebook konsisten dengan sikapnya selama ini, yaitu menerapkan pemblokiran terhadap konten yang berafiliasi dengan Taliban. Sejalan dengan kebijakan Facebook, entitas Taliban termasuk dalam golongan ”organisasi berbahaya”.
Pemblokiran juga dilakukan Facebook terhadap akun-akun Whatsapp yang dimanfaatkan Taliban untuk berkomunikasi. Grup chatting yang terindikasi terafiliasi dengan kelompok tersebut dinonaktifkan.
Youtube juga mengambil keputusan yang sama, channel yang berafiliasi dengan Taliban akan dibredel. Merujuk pemberitaan Reuters, Youtube tidak memberikan keterangan lebih lanjut tentang kebijakan yang diambilnya.
Di sisi lain, Twitter masih belum mengambil sikap tegas terhadap beragam publikasi Taliban. Untuk sementara waktu, kanal Twitter dimanfaatkan oleh para juru bicara Taliban. Dua di antaranya adalah Suhail Shaheen yang memiliki hampir 400.000 pengikut dan Zabihullah Mujahid dengan 330.000 pengikut.
Kehadiran juru bicara Taliban di media sosial tidak terlepas dari perubahan orientasi Taliban terhadap teknologi mutakhir, termasuk internet dan media sosial. Wartawan senior Trias Kuncahyono dalam artikelnya yang berjudul ”Afghanistan, Neo-Taliban, Indonesia” menjelaskan bahwa wajah dan perilaku baru Taliban yang kemudian disebut Neo-Taliban berbeda dengan versi 1990-an (Kompas, 20 Agustus 2021).
Strategi perjuangan mereka untuk merebut tampuk kekuasaan Afghanistan memanfaatkan segala sumber daya yang ada, termasuk media sosial. Keterbukaan ini ditunjukkan pada kesempatan ketika juru bicara Taliban mau diwawancarai oleh wartawan. Pada era sebelumnya, tindakan seperti ini dianggap tabu.
Keseharian bermedia
Saat ini, media sosial memainkan peran penting sebagai sumber informasi publik dan sarana distribusi informasi ke seluruh penjuru dunia. Posisi strategis media digital di Afghanistan tidak lepas dari tren peningkatan pengguna internet dan media sosial dari tahun ke tahun.
Publikasi Digital 2021 dari We Are Social dan Hootsuite menunjukkan, pada Januari 2021, jumlah pengguna internet di Afghanistan mencapai 27 juta jiwa, sedangkan pengguna aktif media sosial sebanyak 4,4 juta orang.
Jumlah pengguna tersebut naik dibandingkan 2017. Empat tahun lalu, jumlah pengguna internet tercatat masih 25 juta orang, sedangkan pengguna aktif media sosial sebanyak 3 juta orang. Sekalipun menunjukkan tren peningkatan, penggunaan internet sebagai referensi informasi masih terbilang minim.
Hal ini tecermin dari data pola konsumsi media massa rakyat Afghanistan yang terdapat dalam hasil survei The Asia Foundation pada 2019. Hasil survei menunjukkan, informasi yang banyak digunakan publik Afghanistan masih berasal dari sumber-sumber komunikasi tradisional, yaitu dari teman dan kerabat. Sementara publik yang menggunakan internet sebagai sumber informasi baru sebesar 14 persen.
Ragam kegiatan yang dilakukan melalui internet antara lain untuk mengakses Facebook dan media sosial lain (71 persen), mengikuti pemberitaan sehari-hari (41 persen), dan menonton berbagai macam video (25 persen). Golongan warga yang mengakses internet mayoritas berpendidikan hingga perguruan tinggi serta berusia muda, yakni 18 hingga 25 tahun.
Minimnya penggunaan internet sebagai rujukan informasi tidak dapat dilepaskan dari keterbatasan masyarakat mengakses koneksi internet. Jika ditilik lebih lanjut, warga yang memiliki koneksi internet pribadi hanya 30 persen dari total pengguna internet. Internet pribadi merupakan jaringan internet yang terhubung ke rumah atau gawai, seperti ponsel pintar, tablet, dan komputer, serta digunakan secara personal.
Melihat data tersebut, artinya sebagian besar masyarakat masih kesulitan mengakses internet. Akses internet dilakukan melalui koneksi dan fasilitas publik, seperti warung internet (warnet).
Masih terbatasnya jaringan dan akses intenet membuat media konvensional, seperti televisi dan radio, masih dominan dikonsumsi warga Afghanistan. Tren jumlah penonton televisi meningkat dari tahun 2013 hingga 2019. Durasi menonton acara televisi juga terbilang tinggi, sebanyak 36 persen responden mengaku setiap hari menonton selama 1-2 jam. Bahkan, terdapat 31 responden yang screen time atau waktu menontonnya lebih dari dua jam per hari.
Ruang perjuangan
Walaupun jumlah pengguna internet dan media sosial masih terbilang minim, bukan berarti masyarakat Afghanistan tidak memanfaatkan media sosial secara optimal. Justru internet menjadi ruang pelarian dan perjuangan bagi sebagian masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan menggalang aksi.
Pihak masyarakat ataupun Taliban menyadari bahwa media sosial dapat digunakan untuk mendukung kepentingan masing-masing. Merujuk pada publikasi Digital 2021, tedapat 4,1 juta audiens Facebook di Afghanistan. Media sosial lain yang banyak dipakai adalah Facebook Messenger (2,6 juta audiens), Instagram dengan 670.000 audiens, dan 127.000 audiens pada platform Twitter.
Baca juga : Perempuan Jadi Isu Perdamaian Afghanistan
Walaupun Facebook telah memblokir akun-akun yang terlibat dengan Taliban, masyarakat Afghanistan masih dapat mengasesnya seperti sediakala. Media sosial menyediakan ruang bagi warga, khususnya kaum muda, untuk mengekspresikan pandangan politik mereka terhadap situasi terkini.
Hal ini dilakukan karena menyampaikan pendapat di muka umum, misalnya dengan berorasi dan menggelar demonstrasi, dapat menimbulkan korban. Foreign Policy mencatat kejadian pada Juli 2016 ketika kelompok pengunjuk rasa di kota Kabul diserang dua orang pelaku bom bunuh diri. Peristiwa ini menewaskan 83 warga sipil dan melukai 230 lainnya.
Kejadian pilu terulang setahun kemudian pada Juni 2017 ketika pasukan keamanan Afghanistan menembak dan menewaskan tujuh demonstran. Tidak berhenti di situ saja, ketika upacara pemakaman korban berlangsung, terjadi tiga pengeboman yang menewaskan 20 warga sipil.
Unjuk rasa terkini digelar di kota Jalalabad, sekitar 150 kilometer sebelah timur Kabul, pada 18 Agustus 2021. Warga menggelar unjuk rasa anti-Taliban. Tiga orang dilaporkan tewas dan belasan orang terluka akibat tembakan dari pasukan Taliban.
Penyampaian aspirasi melalui aksi damai yang melibatkan massa di muka umum sudah menjadi hal yang sangat berbahaya. Melihat kondisi yang terjadi, warganet memanfaatkan media sosial untuk menggalang dukungan dari kawan sebangsanya dan sekaligus menarik perhatian dunia.
Editor Deutsche Welle, Sayed Asef Hossaini, dalam artikelnya yang berjudul ”How Social Media is Changing Afghan Society” (2018) memaparkan perubahan sosial pada masyarakat Afghanistan ke arah yang lebih baik dengan kehadiran internet dan media sosial.
Selain keamanan fisik, media sosial menawarkan anonimitas yang sangat bermanfaat bagi kaum perempuan Afghanistan. Keterlibatan perempuan di ranah publik masih menjadi tarik ulur di berbagai kalangan. Peran perempuan dapat tersalurkan melalui kanal-kanal digital tanpa perlu mengkhawatirkan persoalan gender.
Anonimitas juga melindungi penulis atau sumber informasi. Pemberitaan oleh jurnalis tentang tindak kekerasan Taliban sering kali berujung pada tindakan teror terhadap penulis. Dalam konteks memperjuangkan kebebasan berpendapat, media sosial dalam hal ini menjadi kanal untuk berbagi informasi tanpa diketahui sumbernya.
Masa depan
Pihak Taliban ketika menduduki Kabul menebar janji-janji bahwa mereka akan melakukan rekonsiliasi terhadap lawan politiknya, menghentikan kekerasan, dan menghormati hak-hak perempuan. Namun, janji tersebut masih memerlukan pembuktian seiring kekhawatiran sebagian warga yang kemudian memilih hengkang dari Afghanistan setelah Taliban berkuasa.
Hari-hari ke depan, media sosial akan memainkan peran penting terhadap manuver propaganda dari Taliban atau gerakan sosial warga yang bersikap menentang pemerintahan baru. Kekhawatiran warga yang eksodus ke luar Afghanistan juga diikuti para pegiat media sosial.
Dalam pantauan The New York Times, sebagian besar influencer dan figur publik Afghanistan yang memiliki massa di media sosial tiarap. Unggahan yang dinilai akan berpotensi mengundang risiko segera dihapus untuk mengamankan diri.
Baca juga : Afghanistan, Wilayah Berbahaya bagi Jurnalis
Apabila berkaca pada kondisi di atas, masa depan media sosial dan media massa di Afghanistan secara umum diselimuti kekhawatiran akan kebebasan. Pegiat media sosial memilih menjaga jarak dengan aktivitas di dunia digital.
Di sisi lain, terlihat penyebaran konten beragam agenda Taliban di media sosial. Konten media sosial memuat keberhasilan merebut pemerintahan, mengamankan situasi, serta janji-janji pemberlakuan hukum dan kebijakan yang humanis.
Mata dunia tertuju pada perubahan yang setiap hari terjadi di Afghanistan dengan pemerintahan barunya. Lanskap media sosial yang dapat menerima informasi dan bersuara dari seluruh penjuru dunia akan ikut mengawal kebebasan digital yang baru dinikmati sebagian kecil warga Afghanistan. Bagaimanapun dinamikanya, semoga semua bermuara pada Afghanistan yang damai dan bermartabat. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Afghanistan, Neo-Taliban, Indonesia