Pertaruhan Berat bagi ASEAN dalam Penyelesaian Krisis Myanmar
Banyak keraguan mengiringi penunjukan Erywan Yusof sebagai Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar. Selain soal kapasitas, keraguan itu juga karena tidak jelasnya kerangka kerja dan kerangka waktu dalam tugasnya.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD DAN LUKI AULIA
·5 menit baca
Setelah melalui perdebatan cukup keras pada pertemuan virtual para menteri luar negeri ASEAN (AMM) ke-54, nama Erywan Yusof, Menteri Luar Negeri Kedua Brunei Darussalam, akhirnya ditunjuk menjadi Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar. Penunjukan utusan khusus ASEAN, satu dari lima konsensus para pemimpin ASEAN, itu baru rampung setelah hampir empat bulan pertemuan pemimpin ASEAN di Jakarta.
Dari segi durasi waktu—belum bicara soal kapasitas—penunjukan tersebut telah memperlihatkan kelambanan ASEAN dalam menangani krisis politik di Myanmar. Krisis di negara itu meletus pada 1 Februari lalu saat militer yang dipimpin Jenderal Senior Min Aung Hlaing melancarkan kudeta, menggulingkan pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi, yang baru memenangi pemilu, November 2020.
Pada 24 April, para pemimpin ASEAN berkumpul di Jakarta guna membahas penyelesaian krisis di Myanmar. Min Aung Hlaing hadir pula pada pertemuan itu. Di ujung pertemuan, semua menyepakati lima butir konsensus, yakni penghentian segera kekerasan di Myanmar, perlunya dialog konstruktif menuju solusi damai, penunjukan utusan khusus sebagai mediator dialog, bantuan kemanusiaan, serta kunjungan utusan khusus dan delegasi ASEAN ke Myanmar.
Situasi di Myanmar kini dalam sengkarut, bukan hanya soal politik dan demokrasi, melainkan juga sudah mengarah pada bencana kemanusiaan. Produksi pangan negara itu, daya beli warga, plus hantaman pandemi Covid-19 membuat kompleksitas masalah menjadi semakin rumit di tengah kemungkinan terjadinya perang saudara.
Bukan hanya itu, tak lama setelah penunjukan utusan khusus ASEAN, permasalahan semakin kompleks lagi setelah ada upaya pembunuhan Duta Besar Myanmar untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Kyaw Moe Tun oleh dua pembunuh bayaran asal Myanmar. Kyaw Moe Tun adalah diplomat Myanmar yang ditunjuk oleh pemerintahan sipil pimpinan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang digulingkan junta militer.
Hingga kini, tidak ada satu pun pemerintahan di dunia yang mengakui secara resmi keberadaan pemerintahan junta militer Myanmar, termasuk PBB dan ASEAN.
Di Myanmar, perlawanan warga sipil juga tidak berhenti. Berdasarkan catatan Asosiasi Bantuan bagi Tahanan Politik Myanmar (AAPP) per 7 Agustus 2021, jumlah korban tewas terus bertambah mendekati angka 1.000 orang pascakudeta. Sebanyak 5.512 orang ditahan atau telah dijatuhi hukuman karena menuntut dikembalikannya demokrasi di negara tersebut.
Jalan di tempat
Upaya ASEAN untuk memediasi konflik di Myanmar berjalan sangat lambat, bahkan bisa dikatakan jalan di tempat. Sejak pertemuan para pemimpin ASEAN, 24 April, di Jakarta, belum ada dari lima poin konsensus yang dilaksanakan kecuali penunjukan utusan khusus tersebut. Bahkan, melihat sikap pemimpin junta Min Aung Hlaing, implementasi konsensus itu seperti menemui tembok keras.
Alih-alih melaksanakan konsensus yang telah disepakatinya, setibanya di Naypyidaw, Min Aung Hlaing berbalik arah. Ia justru menerapkan syarat-syarat sendiri bagi pelaksanaan lima konsensus tersebut. Salah satunya adalah junta akan melaksanakan lima konsensus yang telah disepakati jika situasi politik dan keamanan telah pulih sesuai ukuran yang ditetapkan junta sendiri.
Selain itu, dalam perjalanannya, junta juga telah memutuskan menasbihkan dirinya sebagai pemerintahan sementara hingga terpilihnya pemerintahan baru hasil pemilihan umum yang dijanjikan dilaksanakan tahun 2023. Junta pada 26 Juli juga telah mengumumkan keputusannya untuk membatalkan hasil pemilu November 2020.
Min Aung Hlaing, seperti dikutip dari laman Global New Light of Myanmar, telah menyebut dirinya sebagai perdana menteri. Ia menyatakan akan menjalankan tugas pemerintahan hingga masa darurat habis dan pemilihan umum dilaksanakan.
Pertaruhan ASEAN
Banyak pihak menilai kerja Erywan dan ASEAN akan sangat sulit untuk menyelesaikan masalah Myanmar. Selang beberapa hari setelah menyetujui penunjukan Erywan sebagai Utusan Khusus ASEAN, sama seperti kejadian setelah pertemuan para pemimpin ASEAN, Min Aung Hlaing menyatakan bahwa mereka tidak akan mau duduk satu meja dengan kelompok perlawanan, yaitu Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG). NUG adalah pemerintahan bayangan gabungan antara NLD, aktivis pro-demokrasi, serta warga sipil dan kelompok etnis.
”Tugas utusan khusus akan sangat berat karena dia harus bisa mengajak berbicara semua aktor politik Myanmar. Menjaga kepercayaan Tatmadaw sekaligus bisa berbicara dengan pihak lain yang berbeda,” kata Yuyun Wahyuningrum, Perwakilan Indonesia pada ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR). Kapasitas dan kapabilitas diplomasi Erywan diuji di sini, tambah Yuyun.
Peneliti senior CSIS, Lina A Alexandra, mencatat, meski kerja Erywan belum terlihat, perjalanan dia selama beberapa bulan terakhir dalam kapasitas menjalankan peran Brunei Darussalam sebagai Ketua ASEAN tahun ini bisa dijadikan bahan untuk menganalisis kinerjanya. Banyak kritikan terlontar ketika Erywan dan Sekjen ASEAN Lim Jock Hoi datang ke Naypyidaw bertemu dengan Min Aung Hlaing. Dari kunjungan itu, tujuan dan capaian yang ingin dihasilkan dari misi ke Myanmar tak jelas.
Setelah penetapan konsensus, ASEAN sangat lambat bergerak. Masalah utama setelah pertemuan di Jakarta, kata Lina, adalah tidak adanya kerangka kerja dan kerangka waktu yang bisa menjadi acuan penerapan isi konsensus tersebut. Hal yang sama terulang kembali setelah penunjukan Erywan sebagai Utusan Khusus ASEAN. Hingga saat ini belum ada kerangka kerja, kerangka waktu, dan parameter keberhasilan yang harus dicapai utusan khusus.
Erywan mengaku sudah berencana ke Myanmar untuk berdialog dengan junta militer dan pihak berkepentingan lainnya. Ia berharap bisa mendapatkan akses penuh untuk bertemu dengan semua pihak berkepentingan. ”Rencana kunjungan sedang diproses. Kita perlu memastikan semua sudah siap ketika berangkat ke Myanmar. Tidak seperti kunjungan saya Juni lalu,” kata Erywan, Sabtu (7/8/2021), di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam.
Namun, 413 kelompok masyarakat sipil Myanmar, Jumat lalu, kecewa dan menolak keputusan ASEAN menunjuk perwakilan Brunei sebagai utusan khusus untuk Myanmar. Pengamat isu Asia Tenggara, ASEAN, regionalisme, dan kerja sama internasional di Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Muhammad Rum, menilai, tugas utusan khusus ASEAN untuk Myanmar akan berhasil jika bisa menjawab keraguan komunitas internasional soal komitmen penegakan demokrasi.
Erywan, menurut Rum, harus mendengarkan masukan dari para diplomat negara-negara yang menghendaki dikembalikannya demokrasi di Myanmar. Ini termasuk berdiskusi intensif dengan para diplomat senior, seperti Hassan Wirajuda. ”Agenda demokratisasi dan perlindungan rakyat tetap harus diutamakan,” kata Rum.
Selain itu, Erywan juga harus bisa mengantisipasi langkah-langkah yang mungkin akan diambil junta militer yang bertujuan mengulur waktu implementasi konsensus lima poin. Erywan harus berinisiatif memastikan kerangka waktu implementasi konsensus itu.