Menyikapi lambannya respons Myanmar, Indonesia mendorong kembali ASEAN untuk segera melangkah maju. Rakyat Myanmar sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Oleh
Kris Mada
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah 100 hari, belum ada tanda konsensus ASEAN akan segera terwujud. Sementara penderitaan warga Myanmar terus berlanjut di tengah pandemi Covid-19 dan keterbatasan pasokan aneka kebutuhan pokok.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan, tidak ada perkembangan serius dalam penerapan konsensus ASEAN soal Myanmar. ”Indonesia berharap agar Myanmar segera menyetujui usulan ASEAN mengenai penunjukan utusan khusus,” ujarnya dalam telekonferensi dari Washington DC, Amerika Serikat, Senin (2/8/2021).
Retno merujuk pada pertemuan kepala pemerintahan atau kepala negara ASEAN (ASEAN Leaders’ Meeting/ALM) pada 24 April 2021 di Sekretariat ASEAN, Jakarta. Saat itu ASEAN menyepakati konsensus ASEAN berisi lima poin, yakni penghentian kekerasan dan sikap menahan diri oleh semua pihak, dialog konstruktif melibatkan semua pihak, pengiriman bantuan kemanusiaan yang dikoordinasi oleh ASEAN, penunjukan utusan khusus ASEAN, dan kunjungan utusan khusus ASEAN ke Myanmar.
Retno mengatakan, kelambanan penerapan konsensus berdampak buruk bagi ASEAN. ”Sudah waktunya ASEAN membuat keputusan,” katanya.
Retno menyatakan hal itu di sela-sela rangkaian ASEAN Ministerial Meeting (AMM) pada 2-6 Agustus 2021. AMM 2021 diharapkan bisa membuat keputusan konkret. Jika gagal, Indonesia akan meminta mandat soal konsensus dikembalikan kepada para pemimpin ASEAN. Sebab, konsensus itu disepakati para pemimpin ASEAN yang menugaskan para menteri untuk mewujudkannya.
Pemimpin militer Myanmar Min Aung Hlaing menyatakan setuju mantan Wakil Menlu Thailand Virasakdi Futrakul sebagai calon utusan khusus ASEAN. Akan tetapi, menurut dia, ada usulan baru. Ia tidak menjelaskan apa usulan itu dan siapa pengusulnya. Yang jelas, usulan baru itu membuat penunjukan utusan khusus kembali terhenti.
Ia juga berjanji akan bekerja sama dengan utusan khusus ASEAN. Namun, tidak disebutkan bagaimanan implementasi janji itu. ASEAN meminta utusan khusus bisa bebas menemui semua pihak yang bertikai di Myanmar. Tanpa itu, utusan khusus tidak bisa menjalankan tugasnya untuk memediasi dialog.
Sementara ini, sejumlah nama mengemuka menjadi bakal calon utusan khusus ASEAN untuk Myanmar. Menlu Kedua Brunei Darussalam Erywan Yusof mengaku dirinya salah satu bakal calon utusan khusus ASEAN untuk Myanmar. Selain Erywan dan Virasakdi, ada pula mantan Menlu RI Hassan Wirajuda dan diplomat senior Malaysia, Razali Ismail, dalam daftar bakal calon utusan khusus ASEAN untuk Myanmar.
Sejumlah diplomat menyebut, pencalonan Erywan tidak didukung beberapa negara ASEAN. Erywan tercatat pernah melawat ke Naypyidaw. Lawatan itu dinilai tidak membawa hasil karena konsensus tidak kunjung terlaksana.
Sementara pencalonan Razali tidak diterima Myanmar. Sebab, selama ini Malaysia selalu bersuara keras soal Myanmar. Selain itu, rekam jejak Razali sebagai mantan Ketua Komnas HAM disebut mengkhawatirkan junta.
Jangan berlarut-larut
Anggota Dewan Penasihat Khusus Myanmar, Marzuki Darusman, berharap ASEAN tidak lagi membuang waktu. Semakin lama membuat keputusan, ASEAN dapat disebut ikut bertanggung jawab pada kebrutalan junta terhadap warga Myanmar.
Pemimpin dan Sekretariat ASEAN diharapkan segera membuat keputusan soal penunjukan utusan khusus. ASEAN harus bertindak sesuai dengan prinsip dalam Piagam ASEAN, yakni menghormati hak dasar, melindungi HAM, mendorong keadilan sosial, serta mendorong perdamaian dan keamanan di kawasan.
Junta, menurut dia, terus mempermainkan ASEAN. Beberapa waktu lalu, junta meminta dana bantuan penanganan Covid-19 diserahkan kepada mereka. Padahal, berbagai bukti di lapangan menunjukkan, junta tidak mampu menangani pandemi dan ikut berkontribusi pada ketidakmampuan itu. Aparat pendukung junta menduduki sejumlah klinik dan rumah sakit. Tenaga kesehatan diburu karena menolak mendukung pemerintahan hasil kudeta, Dewan Pengelolaan Negara (SAC).
Terbaru, junta mengingkari janjinya sendiri. Awalnya, Min berjanji pemilu akan digelar pada 2022. Lewat pengumuman pada Minggu siang, Min menetapkan dirinya sebagai perdana menteri dan pemilu akan diselenggarakan pada Agustus 2023.
Penting pula memastikan ASEAN tahu langkah selanjutnya. Salah satu langkah mendesak saat ini adalah penyaluran bantuan kemanusiaan. Untuk keperluan itu, ASEAN perlu berhubungan dengan pemerintahan bentukan kelompok sipil, NUG. Sebab, jaringan NUG tersebar di berbagai penjuru Myanmar dan benar-benar melayani warga. ”Mereka tahu cara menyalurkan bantuan dan ASEAN harus mendukung mereka,” kata Marzuki.
Sampai sekarang, ASEAN tidak kunjung berhubungan secara resmi dengan NUG. ASEAN tetap hanya berhubungan dengan junta meski tidak mengakui pemerintahan hasil kudeta 1 Februari 2021. ”Padahal, mereka (NUG) punya perwakilan lebih banyak dibandingkan SAC,” mantan Duta Besar Belanda untuk Myanmar dan ASEAN Laetitia van den Assum.
Sejumlah duta besar Myanmar menolak mendukung SAC. Mereka berkeras tetap menjadi perwakilan pemerintahan sebelum kudeta.
Menteri Kerja Sama Myanmar versi NUG Salai Maung Taing San alias Sasa menyebut sejumlah negara masih menyokong junta. Dukungan itu membuat junta masih terus mempertahankan kekuasaan dan menekan warga Myanmar.
NUG dan SAC masih terus memperebutkan dukungan di kawasan dan internasional. Di kawasan, SAC terutama disokong Thailand dan Kamboja.
Sementara di panggung internasional, Rusia dan China cenderung mendukung SAC. Adapun NUG sampai sekarang belum mendapat pengakuan resmi di kawasan. Di Eropa, perwakilan NUG beberapa kali berkesempatan berpidato di parlemen.
Di AS, parlemen cenderung mendukung NUG setelah NUG berjanji merangkul orang Rohingya. Bagi sejumlah politisi AS, isu itu penting. Sebab, SAC menolak mengakui Rohingya sebagai warga Myanmar. (AFP/REUTERS)