Dari ”Vaksin Angin” hingga Vaksin Palsu, Modus-modus Penipuan dalam Vaksinasi
Kejahatan pemalsuan vaksin Covid-19 kian marak karena meningkatnya permintaan, sementara stok vaksin terbatas. Permintaan akan kartu vaksin pun tinggi karena kini menjadi kartu sakti untuk bergerak lebih bebas.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan vaksin Covid-19 dan sertifikat atau kartu vaksin Covid-19 sebagai kartu sakti untuk bisa bergerak bebas ke mana saja, kejahatan pemalsuan vaksin ataupun kartu itu marak di banyak negara. Tingginya kebutuhan atas kedua hal itu membuat ada saja individu atau kelompok yang mencoba memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Namun, selain dua persoalan itu, muncul pula masalah lain yang juga sama-sama mencemaskan. Belakangan ini, warganet di Malaysia dan Brasil dihebohkan oleh foto dan video perawat atau sukarelawan yang menyuntikkan alat suntik kosong dan perawat yang menyuntikkan hanya separuh dosis vaksin Covid-19. Video ini viral serta memicu protes dan kemarahan dari masyarakat kedua negara.
Baca Juga: Penipuan Vaksin Covid-19 Palsu Mulai Bermunculan
Untuk kasus di Malaysia, situs Channel News Asia, Juli lalu, menyebutkan, kasus ini masih diselidiki Satuan Tugas Imunisasi Covid-19 Malaysia (CITF) bersama aparat keamanan polisi dan tentara.
Kasus pertama terjadi di pusat vaksin drive-through di Bandara Sungai Petani, Kedah, Malaysia, 17 Juli lalu. Kasus kedua dan ketiga terjadi di Gedung Pameran dan Perdagangan Internasional Malaysia (MITEC), Kuala Lumpur, pada 17 Juli, dan Gedung Pertemuan Bangi Avenue, 18 Juli.
Salah seorang warga menceritakan pengalamannya disuntik dengan alat suntik kosong di media sosial Facebook. Ia lalu meminta perawat untuk menyuntiknya lagi. Jika sebelumnya ia tak melihat proses penyuntikan, saat disuntik kedua kalinya ia memperhatikan seluruh prosesnya sampai selesai. ”Saya berbagi pengalaman ini karena ini bisa membahayakan diri dan orang lain,” tulis warga Malaysia itu.
Adapun kasus yang terjadi di Brasil, harian The Guardian, 18 Februari 2021, melaporkan adanya rekaman video yang menunjukkan perawat menyuntikkan alat suntik kosong ke lengan seorang perempuan berusia 94 tahun di kota Petrópolis, sekitar 68 kilometer utara Rio de Janeiro.
Setelah video itu viral, perawat itu kemudian ”dirumahkan”. Kasus yang disebut ”vaksin angin” ini pun diselidiki pemerintah daerah, dewan keperawatan regional, dan aparat kepolisian agar diketahui motif di baliknya.
Baca Juga: Menerbitkan Paspor Vaksin Covid-19
Sampai sejauh ini dilaporkan ada kasus-kasus serupa di empat negara bagian di Brasil. Kepolisian tengah menyelidiki kemungkinan kasus ini terkait dengan kelompok antivaksin atau penjualan kembali vaksin ke pasar gelap. Jika terbukti bersalah melakukan penipuan atau penggelapan, mereka yang terlibat diancam hukuman penjara hingga 12 tahun.
Dalam pernyataan tertulis CITF disebutkan, petugas yang lalai di Malaysia juga sudah mendapat peringatan. CITF juga mengingatkan masyarakat untuk memahami prosedur standar vaksinasi.
Perawat atau staf yang bertugas memvaksin harus menunjukkan alat suntik sudah berisi vaksin dengan volume 0,5 ml setiap kali sebelum penyuntikan. Warga juga diminta melihat sebelum dan setelah proses vaksinasi.
Sha’ari Ngadiman dari Departemen Kesehatan Selangor, Malaysia, menjelaskan, setidaknya ada dua personel yang harus ada di setiap tempat vaksin. Satu orang yang memvaksin dan seorang lagi yang bertugas menyiapkan vaksin dan menjadi saksi penyuntikan vaksin. Selesai vaksin, alat suntik harus dibuang ke tempat sampah khusus.
Vaksin palsu
Jika sudah disuntik dengan alat suntik berisi vaksin, lalu bagaimana caranya kita tahu cairan itu vaksin asli atau palsu? Tidak akan mudah karena harus diperiksa di laboratorium.
Dari penampakan, cairan vaksin tampak seperti air bening biasa saja. Ini yang terjadi terhadap sekitar 800 orang di Uganda yang disuntik dengan vaksin palsu. Sebagian dari mereka disuntik dengan air pada Mei-Juni lalu. Para pelakunya adalah oknum dokter dan perawat.
Baca Juga: Menimbang Sertifikat Vaksin Covid-19
Direktur Layanan Kesehatan Uganda Warren Naamara menjelaskan bahwa para pelaku menyasar orang-orang yang bersedia membayar berapa pun demi mendapat vaksin, seperti karyawan perusahaan. Ini terjadi karena stok vaksin masih terbatas.
Para korban mengaku membeli vaksin palsu itu dengan harga 25-120 dollar AS per dosis. ”Dua tenaga medis sudah ditangkap dan satu dokter masih buron,” ujarnya.
Baca Juga: Kartu Vaksin Palsu Covid-19 Ditemukan di Amerika
Di California Utara, Amerika Serikat, bahkan sudah ada dokter, Mazi (41), yang didakwa bersalah karena menjual vaksin dan kartu vaksin palsu. Departemen Kehakiman AS menyebutkan, Mazi menjual vaksin berbentuk pelet homeoprophylaxis yang diklaim bisa memberikan kekebalan seumur hidup terhadap Covid-19. Mazi berpromosi, pelet itu mengandung sedikit virus yang bisa menciptakan kekebalan.
Jika di Uganda 800 orang menjadi korban vaksin palsu, di Mumbai, India, malah ada sekitar 2.000 korban dan sebagian orang berkebutuhan khusus. Para korban mengira menerima suntikan vaksin asli. Rupanya, yang disuntikkan itu hanya larutan garam. Sudah ada 10 orang yang ditahan dalam kasus ini, dua di antaranya adalah dokter di rumah sakit swasta.
Kasus ini terbongkar setelah aktris dan politisi Mimi Chakraborty curiga setelah divaksin dan melapor ke polisi. Setelah diselidiki, ditemukan delapan lokasi vaksinasi yang dikelola sindikat pemalsu vaksin.
Di tempat-tempat itu ditemukan uang tunai total 16.700 dollar AS dan botol-botol vaksin AstraZeneca yang di India diberi label Covershield. Ada sejumlah botol yang aslinya berlabel Amikacin Sulphate 500 mg, antibiotik untuk infeksi bakteri.
Baca Juga: Dua Sisi Koin Paspor Vaksinasi
Selain di India, situs BBC, 3 Maret 2021, menyebutkan bahwa kepolisian di China dan Afrika Selatan juga menemukan ribuan dosis vaksin palsu dan menangkap puluhan tersangka anggota sindikat pemalsu vaksin.
Sekretaris Jenderal Organisasi Kepolisian Kejahatan Internasional (Interpol) di Lyon, Perancis, Jürgen Stock menjelaskan, sejak Desember lalu dirinya telah memperingatkan adanya jaringan kejahatan vaksin palsu yang diselundupkan ke sejumlah negara. Harga per dosisnya bisa mencapai 2.000 dollar AS.
Majalah Time, 12 Maret 2021, menyebutkan jaringan kejahatan ini mencuri vaksin asli dan menjual kembali atau menjual vaksin palsu secara daring melalui jaringan penyelundupan transnasional. Interpol menemukan ada kelompok di China yang menjual dan menyelundupkan vaksin berisi larutan garam ke Afsel. Korban perdagangan ini tak hanya individu di pasar gelap, tetapi juga badan-badan pemerintah, terutama di negara-negara berkembang.
Pasar gelap
Interpol menemukan vaksin asli, vaksin palsu, ataupun kartu vaksin palsu semakin banyak dijual di pasar gelap di dunia bawah tanah internet (dark web). Harga vaksin AstraZeneca, Sputnik V, Sinopharm, dan Johnson & Johnson per dosis dijual di kisaran 500-750 dollar AS, sementara kartu vaksin palsu dijual paling murah 150 dollar AS.
Para peneliti di perusahaan keamanan siber Check Point sudah memantau forum-forum peretasan dan pasar-pasar lain sejak Januari lalu. Iklan penjualan vaksin pertama kali keluar pada bulan itu dan kini jumlahnya sudah sampai 1.200 pengiklan yang beralamat di AS, Inggris, Spanyol, Jerman, Perancis, dan Rusia.
”Beli 2 dapat gratis 1”, ”Butuh hasil tes negatif Covid-19? Tersedia bagi yang butuh untuk bepergian, melamar pekerjaan, dan lain-lain. Beli 2 tes negatif, dan 1 gratis”, begitu bunyi iklan-iklan itu.
Tim penyelidik Check Point juga menemukan banyak penjual menggunakan sistem pembayaran dengan bitcoin yang sulit dilacak. Ketika calon pembeli menghubungi penjual, calon pembeli hanya perlu memberikan nama dan beberapa tanggal pelaksanaan vaksinasi rekaan. Lalu penjual memberikan jawaban, ”Anda tidak perlu khawatir. Ini tugas kami. Kami sudah membantu banyak orang dan tidak ada masalah.”
Baca Juga: Vaksin Covid-19 Bakal Semakin Banyak Diproduksi secara Global
Kepala Penelitian Kerentanan Produk di Check Point Oded Vanunu mengungkapkan, timnya menyamar menjadi calon pembeli dan berhasil bertransaksi satu dosis vaksin Sinopharm seharga 750 dollar AS. Namun, sampai sekarang vaksin itu belum diterima. Check Point mengimbau negara-negara untuk mengadopsi sistem kode QR pada pendokumentasian vaksin untuk mempersulit pemalsuan.
Penjualan kartu vaksin palsu tak hanya dilakukan di dark web, tetapi juga terang-terangan di media sosial, seperti di 30 media sosial di Italia dan mayoritas melalui telegram. Peneliti di Pusat Pemantauan, Analisis, dan Strategi Jerman, Miro Dittrich, menjelaskan bahwa kartu vaksin palsu yang dijual di dark web ternyata tak terlalu laku.
Para penolak vaksin
Salah satu peneliti di Check Point, Mizrachi, mengatakan bahwa mayoritas orang yang membeli kartu vaksin palsu adalah orang-orang yang menolak vaksin. Salah satunya adalah Sergei, warga Rusia. Ia membeli kartu vaksin palsu melalui telegram seharga 200 dollar AS.
Sepekan kemudian, Sergei mengecek di situs Pemerintah Rusia, lalu menemukan kartu vaksin yang menunjukkan bahwa dirinya sudah divaksin dua kali dengan Sputnik V. Padahal, ia tidak divaksin sama sekali. ”Saya tidak mau vaksin karena tidak percaya dengan vaksin. Saya bisa mati,” ujarnya.
Penjualan kartu vaksin palsu ini meningkat karena kini kartu vaksin menjadi kartu sakti syarat untuk bisa mengakses berbagai tempat publik. Bahkan, perkantoran dan perusahaan juga mensyaratkan karyawan untuk memiliki kartu vaksin untuk bisa bekerja kembali. Tanpa kartu vaksin itu, Rusia mengancam akan memberikan denda, bahkan bisa memecat karyawan.
Baca Juga: Narasi Antivaksin di Medsos Diduga Terkoordinasi
Pemerintah Rusia dan sejumlah negara lain di Amerika dan Eropa berusaha menangkal praktik kartu vaksin palsu ini dengan proses registrasi kartu vaksin dengan menggunakan kode QR yang relatif lebih aman dan tidak lagi menggunakan dokumen cetak. Namun, ini juga tidak ada jaminan aman 100 persen karena sistem ini juga masih bisa diakali oleh oknum selama masih ada permintaan yang tinggi dan mendatangkan keuntungan materi yang besar.