Beberapa negara dan kota sudah mengeluarkan paspor vaksin Covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia bersikap berhati-hati, menunggu lebih banyak bukti keefektifan vaksinasi.
Oleh
NINUK M PAMBUDY
·4 menit baca
Polisi Perancis mendekati seorang pengemudi mobil di titik pemeriksaan perbatasan Saint-Ludovic di perbatasan Franco-Italia, setelah Prancis membuka kembali perbatasannya ke Italia ketika penyakit coronavirus (COVID-19) pembatasan perjalanan di seluruh Eropa secara bertahap berkurang, di Menton, Prancis, 15 Juni 2020.Komisi Eropa mengumumkan, Selasa (13/4/2021), target berlakunya paspor vaksin Sertifikat Hijau Digital pada 21 Juni 2021. Anggota Uni Eropa (UE), terutama yang ekonominya sangat tergantung pada wisata, sangat menginginkan segera terbit paspor vaksin untuk memudahkan pergerakan orang di dalam UE.
Komisi Eropa menjanjikan tidak ada diskriminasi dan pembatasan perjalanan, tetapi orang tanpa paspor harus mengikuti uji bebas Covid-19. Karena itu, muncul juga tuntutan membuat biaya uji bebas Covid-19 semurah mungkin.
Alasan pemerintah negara-negara yang ingin mengadakan paspor vaksin yaitu membolehkan pemegang paspor melakukan perjalanan, menghadiri pertemuan besar, mengakses tempat umum, dan kembali bekerja tanpa mengorbankan kesehatan pribadi dan umum. Pada dasarnya paspor vaksin didasarkan pada keyakinan orang yang telah divaksin menjadi lebih kebal terhadap infeksi Covid-19.
Paspor juga dapat memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat sepanjang ketersediaan vaksin antarnegara dan di dalam negara masih terbatas.
Beberapa perusahaan penerbangan telah menggunakan paspor kesehatan untuk mempercepat proses layanan penumpang. Israel telah mengeluarkan paspor vaksin. Uni Eropa, Inggris, Kanada, Cile, China, dan Amerika Serikat tengah mengkaji penggunaan paspor vaksin sejalan dengan bertambah banyaknya warga yang mendapat vaksin anti-Covid-19. Kot New York sudah memberlakukan paspor vaksin.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, paspor vaksin ada dalam pertimbangan pemerintah. Namun, saat ini paspor vaksin belum mendapat persetujuan bulat dari para ahli kesehatan.
Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmita menjawab Kompas mengatakan, belum tersedia cukup bukti ilmiah tentang munculnya antibodi pascavaksinasi di tingkat individu maupun kolektif per satuan wilayah. Reaksi imunitas individu dan masyarakat harus diketahui lebih dulu untuk bisa mengatakan vaksinasi berhasil dan dengan menggunakan paspor vaksin pasti orang atau kelompok masyarakat tersebut sudah terproteksi sehingga tidak menularkan dan tertular. Saat ini, demikian Wiku, masih terlalu jauh untuk sampai pada keyakinan penerima vaksin pasti terproteksi.
Dalam perjalanan waktu virus Covid-19 memunculkan sejumlah varian. Varian yang diketahui sudah ada di Indonesia yaitu D614G, B1.1.7, N439K, dan yang terakhir E484K.
Secara alamiah virus mudah bermutasi. Tantangannya, apakah varian itu menjadi lebih mudah menginfeksi, menimbulkan kesakitan lebih berat, mampu mengelabui antibodi dan vaksin, atau variasi dari semua itu.
Vaksin yang ada saat ini tidak sepenuhnya efektif menangkal varian-varian baru virus. Laporan terbaru dari Israel menyebutkan, vaksin Pfizer/BioNTech yang umumnya memiliki efektivitas 85 persen melindungi dari infeksi bergejala dan tidak bergejala, tidak efektif menangkal varian B.1.351 atau varian Afrika Selatan.
Peneliti utama dalam tim pengembangan vaksin Covid-19 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Dr dr Budiman Bela, Sp MK Mikrobiologi menyebut, saat ini proteksi vaksin terhadap infeksi Covid-19 masih terus dipelajari. Pengadaan paspor vaksin untuk orang yang sudah divaksin selayaknya dilakukan hati-hati setelah tersedia data mengenai efektivitas vaksin dan jangka waktu timbulnya proteksi sejak vaksinasi pada sebagian besar orang. Saat ini, orang yang telah menerima vaksin Covid-19 secara lengkap tetap harus menerapkan protokol kesehatan karena masih mungkin terinfeksi virus Covid-19.
Etis dan teknis
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menekankan, saat ini negara-negara seharusnya tidak meminta persyaratan bukti vaksinasi atau imunitas untuk perjalanan internasional sebagai syarat masuk suatu negara sepanjang masih terdapat hal-hal yang tidak diketahui mengenai efikasi vaksinasi dalam mengurangi transmisi dan keterbatasan ketersediaan vaksin.
Bila ke depan persyaratan bukti vaksinasi Covid-19 diberlakukan untuk perjalanan internasional sesuai ketentuan Regulasi Kesehatan Internasional (IHR), vaksin-vaksin tersebut harus sudah disetujui WHO dan dalam kualitas memenuhi persyaratan serta tersedia sebagai perlindungan bagi semua. Sejauh ini WHO baru memberi izin vaksin Covid-19 dari Pfizer/BioNTech dan Astra Zeneca/Oxford melalui skema Covax untuk penggunaan darurat.
Masalah etis dan teknis paspor vaksin sudah dibahas di berbagai jurnal ilmiah, antara lain, dalam Bulletin World Health Organ 2021; 99:155-161 dan British Medical Journal 2021; 21:37:n861.
Ketika pemerintah membatasi pergerakan orang, muncul tantangan etis menghalangi kebebasan orang yang kebal dan berisiko kecil menularkan infeksi. Paspor vaksin dapat mencegah masalah kesehatan dan ekonomi-sosial akibat pembatasan sosial.
Walakin, diperlukan bukti mengenai efektivitas vaksin dan lama perlindungan yang diberikan. Saat ini ada lebih dari 200 vaksin dalam percobaan; sifat tiap vaksin harus ditentukan agar paspor dapat menjadi standar dunia.
Masalah tak kalah serius yaitu keterbelahan sosial. Pemberi kerja dapat menggunakan paspor untuk menekan dan menstigma karyawan. Orang dengan kondisi kesehatan tertentu, orang lansia, ibu hamil juga rawan tidak memiliki paspor vaksin. Paspor juga dapat memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat sepanjang ketersediaan vaksin antarnegara dan di dalam negara masih terbatas.
Persoalan lain, ketika operasional pembuatan paspor vaksin digital dan pengelolaannya diserahkan kepada swasta, muncul isu keamanan data pribadi, biaya pengelolaan dan pembaruan data. Saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang perlindungan data pribadi di tengah maraknya pencurian data melalui platform digital.
Tantangan akan muncul untuk menyelaraskan sistem data satu negara dengan sistem negara lain.Yang sudah terasa, pemerintah Arab Saudi hanya membolehkan peserta umrah yaitu orang yang mendapat vaksin yang disetujui WHO, dalam hal ini masih untuk penggunaan darurat.