JAKARTA, KOMPAS — Penerapan paspor vaksin sebagai syarat perjalanan kian populer digunakan secara global. Namun, selain harus dipastikan secara epidemiologis kemampuannya menekan penyebaran Covid-19 dalam bertransportasi, pengelolaan data pemegangnya juga harus transparan.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) mengumumkan akan membuat sistem aplikasi paspor vaksin dalam penerbangan. Negara Bagian New York, Amerika Serikat, juga menggunakan sistem serupa bagi warganya untuk mengunjungi tempat keramaian.
Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19 Indonesia, Wiku Adisasmito, Kamis (1/3/2021), mengatakan, hingga saat ini, pemerintah belum membahas kembali penerapan kebijakan paspor vaksin di Indonesia.
Seperti yang diketahui, meski program vaksinasi sudah berlangsung di Indonesia, pemerintah belum menggunakan sertifikat vaksin sebagai syarat bebas perjalanan tanpa tes.
”Ini mengingat potensi penularan masih ada walau sudah berkurang karena imunitas individual telah terbentuk,” kata Wiku dihubungi dari Jakarta.
IATA pada Rabu sore mengumumkan bahwa mereka sedang mempersiapkan peluncuran aplikasi digital paspor Covid-19. IATA Regional Vice President untuk Afrika dan Timur Tengah Kamil Alawadhi mengatakan, aplikasi yang sedang dipersiapkan untuk platform Apple ini akan diluncurkan pada pertengahan April. Platform Android akan menyusul.
Aplikasi ini akan mencatat status vaksinasi dan hasil tes Covid-19. Penggunaan aplikasi ini diyakini akan mempercepat proses check in di bandara. ”Namun, aplikasi ini hanya akan sukses jika banyak maskapai dan negara turut mengadopsi aplikasi ini,” kata Alawadhi dilaporkan Reuters.
Maskapai asal Inggris, Virgin Atlantic, sebelumnya telah menyatakan bahwa pihak mereka akan mencoba menggunakan aplikasi milik IATA tersebut dalam penerbangan London-Barbados, 16 April.
Ini mengingat potensi penularan masih ada walau sudah berkurang karena imunitas individual telah terbentuk.
Otoritas imigrasi Barbados menyatakan akan menerima aplikasi milik IATA tersebut. Negara kepulauan di perairan Karibia ini akan menjadi negara pertama yang akan menggunakan sistem ini.
Di sisi lain, Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azahari menilai, IATA telah mengambil langkah yang tepat, khususnya dalam upaya memulihkan pariwisata.
Ia memahami bahwa masih ada risiko penyebaran meski sudah divaksin. Namun, menurut dia, penggunaan paspor vaksin akan secara signifikan menekan penyebaran Covid-19. Protokol kesehatan untuk tetap menjaga jarak dan cuci tangan harus tetap menjadi kewajiban.
”Secara teori, (paspor vaksin) ini memungkinkan ekonomi berjalan, tetapi kesehatan tetap terjaga,” kata Azril.
Sejumlah negara telah memberlakukan paspor atau sertifikat vaksin digital sebagai syarat perjalanan, antara lain Denmark, Jepang, dan China.
Perhatikan pemrosesan data
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menilai, penerapan sertifikat ataupun paspor vaksin digital semacam ini perlu kehati-hatian di Indonesia.
Sebelum mekanisme semacam ini diterapkan luas di Indonesia, seharusnya otoritas di Indonesia harus melakukan sejumlah langkah untuk membangun kepercayaan publik bahwa data yang dihimpun oleh pemerintah itu disimpan dengan aman.
Kebijakan pemrosesan data yang dilakukan oleh pihak yang berkaitan dengan sistem paspor ini pun harus jelas dan berdasarkan hukum. Misalnya, jika paspor vaksin digunakan sebagai syarat perjalanan, perlu ada kepastian berapa lama otoritas bandara akan menyimpan data milik masyarakat tersebut.
”Bagaimana mekanismenya, akan berapa lama data disimpan itu harus jelas. Selama ini, kalau terkait data, selalu cuma pernyataan dari pemerintah, tetapi langkah konkret untuk membangun kepercayaan dari publik itu belum dilakukan,” kata Wahyudi.