Majelis Umum PBB Kecam Kudeta Myanmar dan Desak Embargo Senjata
Setelah melakukan pemungutan suara, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi mengecam kudeta militer Myanmar dan menyerukan embargo senjata terhadap Tatmadaw. Pemungutan suara memperlihatkan perbedaan sikap di ASEAN.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
NEW YORK, SABTU — Dalam sebuah langkah yang jarang terjadi, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Jumat (18/6/2021), mengecam keras kudeta militer Myanmar yang terjadi pada 1 Februari. Selain itu, Majelis Umum juga menyerukan embargo senjata terhadap Myanmar untuk mengurangi risiko terjadinya perang saudara. Tanda-tanda terjadinya perang saudara itu semakin terlihat di lapangan.
Majelis Umum PBB Juga mendesak Tatmadaw—sebutan untuk militer Myanmar—agar menghormati hasil pemilihan umum November 2020 dan membebaskan seluruh tahanan politik, termasuk pemimpin Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Aung San Suu Kyi.
”Risiko perang saudara skala besar adalah nyata. Waktu sangatlah penting. Kesempatan untuk membalikkan pengambilalihan yang dilakukan oleh militer semakin menyempit,” kata Utusan Khusus PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener usai pemungutan suara. Dia menambahkan, dampak regional karena potensi perang saudara terus meningkat.
Pendukung resolusi Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara itu berharap semula ada konsensus, kesepakatan, mengenai isi resolusi tersebut. Namun, Belarus memilih menyerukan pemungutan suara ketimbang adanya konsensus.
Langkah itu disetujui dan 119 negara memilih ya dan Belarus menolak. Sebanyak 36 negara memilih abstain, termasuk Myanmar, China, India, dan Rusia.
Munculnya resolusi tersebut adalah hasil pembicaraan panjang Kelompok Inti, termasuk di dalamya Uni Eropa dan banyak negara Barat serta 10 negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN), termasuk Myanmar. Menurut seorang diplomat PBB, ada kesepakatan dengan ASEAN untuk mencari konsensus dengan seluruh negara anggota Majelis Umum PBB.
Meskipun resolusi tersebut tidak mendapatkan dukungan luar biasa seperti yang diharapkan pendukungnya, langkah PBB itu—walau tidak mengikat secara hukum—mencerminkan kecaman internasional atas kudeta 1 Februari. Selain kecaman keras terhadap kudeta itu sendiri, kecaman juga ditujukan pada Tatmadaw yang bertindak brutal kepada warga sipil dan pengunjuk rasa yang menuntut diakhirinya pengambilalihan oleh tentara.
Beberapa negara yang memilih abstain mengatakan apa yang terjadi di Myanmar adalah masalah dalam negeri. Sebagian lain yang memilih abstain juga tidak berpikir resolusi itu akan membantu perbaikan kondisi di Myanmar. Ada juga yang mengeluh resolusi itu tidak cukup memberi ruang untuk mengatasi penderitaan Muslim Rohingya yang kini mengungsi di banyak negara, termasuk Bangladesh.
Duta Besar Uni Eropa untuk PBB Olof Skoog mengatakan, resolusi PBB mengirimkan pesan yang kuat. ”Ini mendelegitimasi junta militer, mengecam penyalahgunaan dan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri, serta menunjukkan keterasingannya di mata dunia,” katanya.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, yang sehari sebelumnya mendorong Majelis Umum PBB untuk bertindak, mengatakan, ”Kita tidak bisa hidup di dunia di mana kudeta militer menjadi norma. Ini sama sekali tidak dapat diterima.”
Persetujuan resolusi menyusul seruan untuk tindakan PBB yang lebih agresif oleh banyak negara dan juga Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun, yang telah didakwa berkhianat oleh junta militer. Dia mendesak masyarakat internasional untuk mengambil tindakan sekeras mungkin untuk segera mengakhiri kudeta militer.
Dewan Keamanan PBB, badan terkuat di organisasi multilateral dan resolusinya mengikat secara hukum, telah mengadopsi beberapa pernyataan terkait Myanmar. Sejumlah pernyataan yang diadopsi antara lain kecaman atas penggunaan kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai, menyerukan militer untuk memulihkan transisi demokrasi dan menahan diri sepenuhnya. Namun, DK PBB tidak pernah bisa mengecam keras kudeta atau mengizinkan embargo senjata atau sanksi lainnya karena ada China dan Rusia yang hampir pasti akan memveto resolusi tersebut.
Richard Gowan, Direktur Kelompok Krisis Internasional PBB, mengatakan, sejak berakhirnya Perang Dingin, dia hanya mengetahui ada tiga resolusi Majelis Umum sebelumnya yang berisi kecaman keras atas sebuah kudeta. Resolusi itu terkait kudeta di Haiti pada tahun 1991, Burundi tahun 1993 dan Honduras pada 2009.
Menurut Gowan, Majelis Umum PBB telah menyerukan embargo senjata dan sanksi, termasuk terhadap Israel dan Afrika Selatan selama Perang Dingin. Namun, resolusi ini adalah seruan yang jarang diambil untuk menghentikan aliran senjata. Para diplomat Barat layak mendapat pujian karena berhasil meraih dukungan atas seruan yang cukup jelas dan tegas untuk menghentikan pasokan senjata ke Myanmar.
Perpecahan ASEAN
Draf awal resolusi PBB menggunakan bahasa yang lebih keras dalam menyerukan embargo senjata. Menurut sebuah proposal yang dilihat oleh Reuters bulan lalu, sembilan negara Asia Tenggara ingin diksi itu dihapus. Teks hasil kompromi yang digunakan kemudian adalah menyerukan semua negara anggota untuk mencegah aliran senjata ke Myanmar.
Meski sudah ada penghalusan bahasa, seorang diplomat PBB menceritakan, dalam pemungutan suara, negara-negara anggota ASEAN terbagi. Duta Besar Myanmar yang mendukung pemerintah demokratis yang digulingkan memilih ”ya” bersama dengan Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Filipina. Sementara empat negara anggota lainnya, yaitu Thailand, Laos, Kamboja, dan Ketua ASEAN saat ini, Brunei, abstain.
Beberapa hal lain yang didesakkan oleh Majelis Umum PBB adalah agar junta militer segera menerapkan lima poin konsensus yang disepakati oleh ASEAN dengan junta militer Myanmar. Di antara kelima poin konsensus adalah penghentian segera semua bentuk kekerasan dan dimulainya dialog di antara semua pemangku kepentingan di Myanmar.
Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun yang mewakili pemerintah terpilih menegaskan, sangat penting memastikan bahwa tidak ada negara yang mendukung junta. (AP/REUTERS)