ASEAN Minta Seruan Embargo Senjata ke Myanmar Dicabut
Sembilan negara anggota ASEAN meminta agar bahasa di dalam rancangan resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa diperhalus, termasuk soal seruan embargo senjata ke Myanmar.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
NEW YORK, SABTU — Sembilan negara anggota ASEAN, yakni Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, memperjuangkan agar isi rancangan resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Myanmar diperlunak, termasuk mencabut seruan untuk mengembargo persenjataan ke Myanmar.
Kesembilan negara anggota ASEAN itu menulis surat bertanggal 19 Mei 2021 kepada Liechtenstein yang menyusun rancangan resolusi tersebut. Semula rancangan resolusi itu akan dibahas dan diputuskan pada pekan lalu, tetapi kemudian pada detik-detik akhir ditunda.
Kantor berita Reuters yang melihat surat itu di Markas Besar PBB di New York, AS, Jumat (28/5/2021) waktu setempat, menyebutkan negara-negara anggota ASEAN menilai rancangan resolusi tersebut tidak akan mendapatkan dukungan luas jika isinya tidak diubah, terutama dari negara-negara di kawasan yang terdampak langsung.
Untuk itu, masih dibutuhkan negosiasi lebih lanjut untuk membuat agar rancangan resolusi tersebut bisa diterima oleh negara-negara tetangga Myanmar yang sekarang terlibat dalam penyelesaian krisis. ”Ini keyakinan teguh kami. Jika resolusi Majelis Umum PBB tentang situasi di Myanmar akan membantu negara-negara di ASEAN, resolusi tersebut perlu diadopsi melalui konsensus,” sebut surat kesembilan negara anggota ASEAN itu.
Rancangan resolusi yang disusun Liechtenstein itu menyerukan agar pasokan, penjualan, atau transfer langsung dan tidak langsung semua persenjataan dan amunisi ke Myanmar segera ditangguhkan. Kesembilan negara anggota ASEAN—atau seluruh negara ASEAN minus Myanmar—tersebut menginginkan agar ”bahasa” itu diubah.
Resolusi Majelis Umum PBB tidak mengikat secara hukum, tetapi signifikan secara politik. Tidak seperti Dewan Keamanan PBB, di Majelis Umum PBB tidak ada satu pun negara yang memiliki hak veto.
Myanmar terbelit krisis sejak junta militer menggulingkan pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi yang dipilih oleh rakyat dalam pemilu 1 Februari 2020. Kini, Suu Kyi dan anggota-anggota partai Liga Nasional untuk Demokrasi serta sejumlah pejabat pemerintahan sipil ditahan.
Negara-negara anggota ASEAN menginginkan rancangan resolusi Majelis Umum PBB itu menyuarakan keprihatinan mendalam tentang penahanan Suu Kyi dan para pejabat sipil lainnya. Namun, alih-alih berisi kecaman keras, rancangan resolusi itu diminta untuk diubah berisi seruan pembebasan Suu Kyi dan para pejabat sipil lainnya sesegera mungkin dan tanpa syarat.
Diplomasi ASEAN
ASEAN tengah memimpin upaya diplomasi untuk mengakhiri krisis Myanmar serta mendorong dialog antara junta militer dan pemerintahan sipil Myanmar. Pada April lalu, para pemimpin ASEAN menggelar pertemuan tingkat pemimpin (ASEAN Leaders’ Meeting), termasuk dihadiri pemimpin junta Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, untuk membahas secara khusus krisis Myanmar.
Pertemuan itu menghasilkan lima butir konsensus ASEAN, yakni penghentian segera kekerasan di Myanmar, perlunya dialog konstruktif menuju solusi damai, penunjukan utusan khusus sebagai mediator dialog, bantuan kemanusiaan, serta kunjungan utusan khusus dan delegasi ASEAN ke Myanmar. Dalam pertemuan muncul seruan pembebasan Suu Kyi, tetapi hal itu ”hanya” dicatat dalam Pernyataan Ketua ASEAN.
Pada awal bulan ini, lebih dari 200 kelompok masyarakat sipil, termasuk Human Rights Watch dan Amnesty International, mendorong DK PBB untuk mengembargo persenjataan ke Myanmar.
Hanya DK PBB yang bisa secara legal menjatuhkan sanksi yang mengikat atau mengembargo senjata. Karena di DK PBB ada hak veto, Rusia dan China diyakini akan memanfaatkan hak veto itu untuk mencegah sanksi dijatuhkan ke Myanmar.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan kembali mengingatkan junta militer Myanmar agar mau bekerja sama mengakhiri krisis akibat kudeta sesuai hasil konsensus dalam Pertemuan Pemimpin ASEAN di Jakarta. Negara-negara anggota ASEAN juga tetap harus menekan junta militer untuk menahan diri dalam menghadapi rakyat dan mulai berdialog dengan pemerintahan sipil.
Meski sudah berjanji, junta militer tetap bersikap keras kepada pengunjuk rasa. Junta militer juga belum mau memperbolehkan perwakilan ASEAN dan PBB masuk ke Myanmar sebelum situasi keamanan kembali stabil. Alih-alih mengajak pihak yang berlawanan untuk berdialog, junta militer malah menyebut mereka kelompok teroris.
”Proses ini tidak akan mudah. Harus ada kerja sama dari militer Myanmar,” kata Balakrishnan.
ASEAN, kata Balakrishnan, juga harus memiliki satu suara dalam menghadapi Myanmar dan sama-sama mendorong junta militer Myanmar memenuhi janji-janjinya yang disampaikan pada Pertemuan Pemimpin ASEAN. Komentar Balakrishnan ini termasuk salah satu komentar paling jelas dari negara anggota ASEAN sejak militer Myanmar mulai terlihat menjauhi konsensus ASEAN.
Pemerintah Persatuan Nasional, pemerintahan bayangan Myanmar, sejak awal skeptis dengan hasil konsensus ASEAN. Mereka juga tidak mau berbicara dengan junta militer kecuali para tahanan politik yang mencapai ribuan orang dibebaskan, termasuk Suu Kyi. Sebagian negara anggota ASEAN sudah meminta junta militer membebaskan tahanan politik. Hanya saja, masalahnya, pembebasan tahanan politik itu tidak menjadi bagian dari konsensus ASEAN.
Pasukan bersenjata
Ogah berdialog dengan junta militer, pemerintah bayangan Myanmar malah membentuk angkatan bersenjata baru bernama Pasukan Pertahanan Rakyat. Perekrutan tahap pertama terkait pembentukan angkatan bersenjata itu sudah selesai menjalani pelatihan. Pemerintah Persatuan Nasional menyatakan, angkatan bersenjata baru itu disiapkan untuk melawan militer Myanmar.
Video upacara kelulusan 100 anggota angkatan bersenjata baru di tengah hutan yang berlumpur itu diunggah oleh Menteri Pertahanan Pemerintah Persatuan Nasional Yee Mon, Jumat lalu. ”Pasukan Pertahanan Rakyat ini harus melindungi rakyat Myanmar. Kami akan melawan dan memenangi peperangan ini,” kata Mon. (REUTERS/AFP)