Masa Depan Rakyat Myanmar Terampas dalam Satu Malam
Meski kehilangan segalanya, para aktivis penentang junta militer Myanmar tak menyurutkan langkah. Dari tempat persembunyian, mereka membantu anak-anak muda dan menghidupkan harapan akan hari depan yang lebih baik.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
100 hari sudah Myanmar terjerumus krisis politik dan konflik berdarah tak berkesudahan akibat kudeta militer, 1 Februari lalu. Lebih dari 770 warga sipil tewas di tangan militer saat gelombang unjuk rasa melanda berbagai daerah. Banyak pula yang takut dan khawatir lalu mengungsi ke daerah-daerah perbatasan Myanmar dengan Thailand dan India. Seperti tiga perempuan aktivis yang ditemui kantor berita AFP, yakni Ma Hninsi (55), Htoi Zin (32), dan Nan Poe (53). Ketiganya bukan nama sebenarnya.
Ketiga perempuan itu senasib sepenanggungan, sama-sama kehilangan segalanya dalam satu malam, tetapi tetap diam-diam berusaha menggulingkan junta militer dari balik layar. Ketiganya menceritakan pengalaman dan perasaan mereka yang, meski marah, tetap menyimpan harapan. ”Mereka (junta militer) membunuh masa depan saya,” kata Ma Hninsi yang berprofesi sebagai penulis.
Sejak kudeta, Hninsi kehilangan majalah sastra yang dikelolanya, kehidupan sehari-harinya, dan semua temannya. Dunia Hninsi seakan ambyar lagi sejak kudeta. Padahal, ia baru saja membangun kehidupan kembali setelah selama 6 tahun menjadi tahanan politik di Penjara Inseon semasa rezim junta militer sebelumnya. ”Situasinya tidak jelas karena akses komunikasi ditutup semua. Jalanan juga kosong. Hanya para pendukung militer saja yang masih berkeliaran,” ujarnya.
Gerakan perlawanan terhadap junta militer dengan cepat mengorganisasi diri dan Hninsi setiap hari ikut berunjuk rasa di Yangon. Selama minggu-minggu pertama, masih banyak orang ikut turun ke jalan, termasuk perempuan dan anak-anak. ”Orang memang marah, tetapi suasananya damai. Kami bernyanyi dan menari,” kata Hninsi.
Menembaki warga
Namun, suasana kemudian berubah cepat. Itu terjadi ketika aparat militer mulai menembaki pengunjuk rasa. Tak peduli tua, muda, perempuan, laki-laki. Di mata junta militer, para pengunjuk rasa atau siapa saja yang menentang junta militer adalah perusuh dan teroris. Seakan tak peduli dengan rakyatnya sendiri, sedikitnya 100 orang tewas pada Hari Angkatan Bersenjata, 27 Maret lalu. Hninsi melihat banyak pelajar dan mahasiswa yang terkepung di dekat rumahnya.
”Saya buru-buru menyembunyikan mereka di mobil dan mengevakuasi mereka. Untung saja, beberapa menit kemudian ada patroli tentara lewat,” kata Hninsi.
Sejak itu, Hninsi bersembunyi terus. Kegiatannya sehari-hari hanya menulis dan meditasi untuk melepaskan stres. Ia pun menulis bukan hanya untuk dirinya, melainkan uangnya dikumpulkan untuk membantu para pekerja yang tak lagi bisa mencari uang karena mogok kerja. ”Solidaritas antarwarga luar biasa. Semua orang membantu semaksimal mungkin. Kami jelas akan menang dan ini bukan impian belaka,” ujarnya.
Sama halnya dengan Hninsi, Htoi Zin juga membantu warga dan aktivis yang mengungsi ke kampung halamannya di Negara Bagian Kachin, dekat perbatasan China. Selama tiga bulan terakhir, banyak aktivis antijunta militer yang mengungsi ke Kachin, daerah yang dikuasai sebagian oleh kelompok etnis bersenjata, Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA).
”Mereka yang datang ke sini banyak yang menempuh perjalanan sampai berhari-hari karena menghindari pos pemeriksaan. Banyak yang depresi karena kehilangan segalanya,” kata Zin.
Zin membantu memberikan tempat menginap, makanan, dan kartu telepon China karena junta militer menutup akses jaringan data di Myanmar. Beragam bantuan atau donasi untuk mereka tak hanya datang dari Myanmar, tetapi juga Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura. ”Banyak bantuan donasi uang yang masuk. Lalu uangnya kami belikan makanan dan kebutuhan lain,” ujarnya.
Konflik lama
Sejak kudeta, konflik lama antara militer dan KIA kembali berkobar. Akibatnya, harga-harga kebutuhan sehari-hari, seperti bahan makanan, di Kachin pun melonjak tinggi. Seperti harga 20 kilogram beras yang kini mencapai 30 dollar AS (sekitar Rp 425.000). Sebelum kudeta, harganya hanya 19 dollar AS (sekitar Rp 269.000). Hal yang sama juga terjadi pada tomat atau minyak goreng. ”Kalau harga naik terus, kami tidak akan mampu beli,” kata Zin.
Berbeda dengan Hninsi dan Zin yang masih bisa gesit membantu, Nan Poe, aktivis, merasa sudah tak mampu lagi untuk ikut angkat senjata. Meski demikian, ia tetap mendukung gerakan perlawanan sepenuhnya. Poe buru-buru meninggalkan rumahnya lewat pintu belakang ketika pada 1 Maret lalu ada sejumlah tentara yang mencarinya dengan bertanya ke salah satu tetangganya. Saking terburu-burunya, Poe bahkan tidak sempat memakai sepatu.
Dalam pikiran Poe, ia hanya harus berjalan menuju ke arah timur atau ke wilayah yang dikuasai kelompok perlawanan etnis Karen. Sesampainya di Karen, Poe mendapat banyak bantuan. Satu bulan kemudian, kelompok bersenjata Persatuan Nasional Karen (KNU) menyerang pos militer lalu dibalas militer dengan serangan udara. Itu terjadi untuk pertama kalinya dalam 20 tahun terakhir.
Selama satu pekan, Poe terpaksa bersembunyi di hutan dan membantu warga desa. Poe sempat berhasil menyeberang ke Thailand, tetapi tiga hari kemudian dipulangkan kembali ke wilayah Myanmar. ”Kami harus membantu anak-anak muda Karen yang berjuang demi rakyat Myanmar,” ujarnya.
Ketika terjadi konflik bersenjata antara KNU dan militer, baik di darat maupun udara, Poe membantu mendirikan tempat-tempat berlindung di wilayah perbukitan dan menggali lubang-lubang yang kemudian ditutupi dengan kayu dan kantong pasir. ”Ketika hari sudah malam dan kami mendengar ada suara pesawat mendekat, kami langsung lari dan membawa anak-anak ke tempat berlindung. Saya sering berpesan ke anak-anak, mereka harus berani. Jangan takut. Kita pasti akan menang,” tuturnya.
Dilarang masuk
Krisis di Myanmar dikhawatirkan tak akan bisa cepat berakhir. Apalagi, junta militer masih melarang pihak luar membantu menyelesaikan krisis Myanmar. Bahkan, utusan khusus dari ASEAN pun belum boleh datang. Padahal, dalam KTT ASEAN tentang Myanmar di Jakarta, 24 April 2021, pemimpin junta militer Myanmar, Min Aung Hlaing, sudah bersedia memperbolehkan utusan khusus ASEAN untuk berkunjung. Utusan khusus ASEAN baru boleh masuk ke Myanmar hanya jika situasi sudah stabil.
”Untuk saat ini, kami memprioritaskan keamanan dan stabilitas Myanmar,” kata juru bicara dewan militer, Kaung Htet San.
Junta militer juga berpandangan, mereka akan mempertimbangkan hasil-hasil dari KTT ASEAN itu jika memang sesuai dengan visi junta militer. Sikap junta militer ini sudah diprediksi para pengamat dan aktivis, apalagi karena tidak ada ketentuan batas waktu implementasi. Kaung Htet San mengakui para pemimpin ASEAN memberikan masukan positif bagi Min Aung Hlaing. ”Tetapi, apakah masukan-masukannya akan diikuti atau tidak itu tergantung pada situasi di Myanmar. Jika sesuai dan bisa membantu visi kami untuk Myanmar, akan kami terima dan praktikkan,” ujarnya. (REUTERS/AFP)