8 Demonstran Tewas Tertembak, Krisis Myanmar Belum Mereda
Belum ada tanda-tanda krisis Myanmar akan mereda. Dalam situasi terakhir bahkan dilaporkan delapan demontran tewas ditembak aparat. Ini terjadi kurang dari dua pekan setelah pertemuan puncak ASEAN di Jakarta.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
YANGON, SENIN — Belum ada tanda-tanda krisis Myanmar mereda. Kekerasan untuk menghentikan gelombang unjuk rasa terus berlangsung di Myanmar. Bahkan, dalam situasi terakhir, dilaporkan adanya sejumlah pengunjuk rasa yang tewas. Ini terjadi kurang dari dua pekan setelah Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Jakarta 24 April merekomendasikan penghentian kekerasan sekaligus mengedepankan jalur dialog.
Sebanyak delapan orang dikabarkan tewas dalam unjuk rasa menuntut revolusi di Myanmar, Minggu (2/5/2021). Berdasarkan data yang dikeluarkan Asosiasi Asistensi Tahanan Politik, 759 warga sipil tewas di tangan otoritas sejak kudeta terjadi per Februari 2021.
Unjuk rasa terjadi di berbagai kota secara serentak pada Minggu kemarin. Yangon sebagai kota terbesar di Myanmar juga dibanjiri ribuan warga yang berjalan kaki dari sejumlah pelosok. Mereka menyuarakan gerakan Musim Semi Global Myanmar, sebuah gerakan pendukung demokrasi dan persatuan negara tersebut yang didukung berbagai kalangan internasional.
Sejumlah media Myanmar, seperti The Irawaddy, Mizzima, dan Kachin NewsGroup, menyebutkan, penembakan terjadi di berbagai kota. Dua orang tewas ditembak di kota Mandalay, tiga orang tewas di Wetlet, satu orang tewas di Hsipaw, satu orang di Naung Cho, dan satu orang tewas di Hpakant. Ratusan orang terluka dan sejumlah pengunjuk rasa diculik aparat. Selain itu, terjadi sejumlah ledakan di Yangon.
Para pengunjuk rasa meminta agar junta militer yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing mundur dan mengembalikan demokrasi ke negara tersebut. Pemilu pada November 2020 memenangkan Aung San Suu Kyi secara mutlak. Belakangan, junta militer menuduh Suu Kyi curang dan kemudian menetapkan dia sebagai tahanan rumah.
The Irawaddy mengabarkan, sejumlah aparat berpakaian sipil mengejar para pengunjuk rasa di Yangon. Video-video unggahan warga menunjukkan demonstran dipukuli, disuruh berlutut di jalanan, lalu diangkut memakai kendaraan berpelat nomor pribadi.
”Para aparat, baik berseragam maupun berbaju sipil, mengejar anak-anak muda. Beberapa sengaja mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi ke arah demonstran yang kocar-kacir,” kata salah seorang sumber yang dihubungi The Irawaddy.
Para pengunjuk rasa dilaporkan melakukan aksi damai dengan turun ke jalanan dan mengacungkan tiga jari sebagai tanda protes. Simbol tiga jari ini diambil dari novel berseri, The Hunger Games, karya Suzanne Collins yang menceritakan rakyat memberontak melawan pemerintahan zalim. Perlawanan ini disimbolkan dengan acungan jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis sekaligus.
Di kota Hsipaw, aparat bahkan mengancam akan menembak warga tanpa pandang bulu apabila mereka terlihat meninggalkan rumah masing-masing. Sementara di Hpakant, aparat tidak hanya menggunakan peluru tajam, tetapi juga melemparkan granat ke arah pengunjuk rasa.
Asosiasi Asistensi Tahanan Politik Myanmar mencatat, 759 warga sipil tewas sejak kudeta Februari 2021 hingga awal Mei ini. Korban tewas tidak hanya pengunjuk rasa, tetapi juga warga yang ditembak ketika aparat menggerebek rumah-rumah penduduk ataupun tempat-tempat usaha. Ada pula korban tewas akibat kekerasan aparat ketika mereka berada dalam penahanan. Kekerasan ini mencakup pula kekerasan seksual. Di antara korban tewas ini ada anak perempuan berusia 6 tahun dan remaja berusia 16 tahun.
Pembredelan
Selain korban tewas, berbagai organisasi prodemokrasi melaporkan, setidaknya 3.400 orang ditahan dengan tuduhan memberontak melawan junta. Mereka mencakup para politisi pemenang pemilu, pegiat prodemokrasi, dokter, guru, dan wartawan. Junta juga menutup berbagai media arus utama di sejumlah negara bagian. Baru-baru ini, media Negara Bagian Kachin, Mytkina Journal, dibredel.
Berdasarkan data junta, 248 warga sipil mati di April 2021 saja. Junta mengklaim, mereka yang ditembak itu memulai kerusuhan.
Dari sisi aparat, 17 polisi dan 7 tentara tewas. Media projunta, Global New Light of Myanmar, terus menerbitkan data para petugas kesehatan, guru, akademisi, dan semua orang yang terlibat unjuk rasa. Media ini meminta rakyat melaporkan keberadaan orang-orang yang ada di dalam daftar tersebut.
Sementara itu, di Negara Bagian Kachin, aparat memaksa warga mencopot perangkat televisi satelit dan televisi kabel. Gunanya agar warga tidak melihat berita mengenai kejadian di penjuru negara tersebut. Mereka juga menerapkan jam malam dari pukul 20.00 sampai 04.00 waktu setempat.
Persatuan kelompok etnis
Di sisi lain, kudeta juga membuat berbagai kelompok etnis di Myanmar yang sebelumnya sering berhadapan dengan aparat mulai bersatu. Salah satunya ialah kelompok etnis Karen yang berada di perbatasan timur negara tersebut. Letnan Jenderal Baw Kyaw Heh, Wakil Pemimpin Pasukan Militer Persatuan Nasional Karen (KNU), mengumumkan pihaknya bersedia menampung para pemberontak untuk mengungsi di wilayah timur.
”Ini kesempatan bagi kita semua untuk bersatu melawan diktator militer. Oleh sebab itu, para pasukan penjaga perbatasan berbagai kelompok etnis sudah waktunya bekerja sama,” ujarnya seperti dikutip oleh media daring Mizzima. Total ada 20 kelompok etnis yang berada di perbatasan-perbatasan Myanmar dan berkonflik dengan militer.
Sementara dari Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) masih menunggu ditunjuknya utusan khusus perdamaian oleh Brunei Darussalam. Negara ini tengah menjabat sebagai ketua ASEAN.
Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Jakarta pada 24 April lalu mengeluarkan lima konsensus, yaitu penghentian segera kekerasan di Myanmar, perlunya dialog konstruktif menuju solusi damai, penunjukan utusan khusus sebagai mediator dialog, bantuan kemanusiaan, dan kunjungan utusan khusus dan delegasi ASEAN ke Myanmar.
”Proses pemilihan utusan khusus masih berlangsung dan diusahakan secepatnya,” kata Romeo Arca Jr, Kepala Relasi Komunitas Sekretariat ASEAN, ketika dihubungi pada Senin (3/5/2021). (AFP/REUTERS)