Mari Belajar dari Kengerian akibat Covid-19 di India
Warga diaspora global India memiliki catatan sukses panjang dalam membangun solidaritas selama krisis. Namun, menghadapi gelombang Covid-19 kali ini, mereka tak berdaya. Mereka marah atas kelengahan pemerintahan Modi.
Seema Devgan hampir saja meninggalkan pekerjaannya. Itu terjadi saat dia dan sejumlah sukarelawan di luar negeri berjibaku mencari berbagai peralatan medis dan barang lain yang sangat dibutuhkan untuk keluarga, teman, dan handai tolan yang tertular penyakit Covid-19 di India. Kengerian menyelimuti India akibat penyakit yang hingga Minggu (2/5/2021) merenggut lebih dari 215.000 jiwa itu.
Dari apartemennya di Singapura, perempuan paruh baya tersebut menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk mengajukan permohonan bantuan melalui berbagai media, seperti Whatsapp, atau menelepon pemasok, serta mencari obat-obatan dan oksigen yang sangat dibutuhkan.
”Ini sangat sulit,” kata wanita berusia 47 tahun itu berlinangan air mata, seperti dilaporkan kantor berita AFP, Jumat (30/4/2021). ”Kami akan kehilangan begitu banyak orang,” ujar Devgan.
Baca juga : Lonjakan Kasus Covid-19 di India Semakin Tak Terbendung
Warga diaspora global India memiliki catatan sukses panjang dalam menggalang mobilisasi dan membangun solidaritas selama masa krisis. Kuil, masjid, tempat ibadah umat Sikh dan gereja; asosiasi regional dan bisnis; kelompok keluarga dan jaringan informal, semuanya beraksi saat topan dan banjir melanda India. Namun, tantangan yang dihadapi tidak sedahsyat dan sengeri Covid-19.
Tidak peduli sudah berapa banyak uang yang terkumpul, tetapi uang tidak bisa segera dipakai karena rak toko obat yang kosong tidak dapat diisi ulang secara cepat. Generator dan konsentrator oksigen harus dicari, dipesan, dan dikirim sebelum mereka mulai menyelamatkan nyawa. Sistem perawatan kesehatan yang hancur di India tidak dapat dibangun kembali dalam semalam.
”Ini adalah situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya,” keluh Devgan, warga negara Belanda keturunan India dan pengusaha yang telah tinggal di Singapura selama dua tahun terakhir.
Simran Sharma, mahasiswa pascasarjana berusia 24 tahun di Tufts University di Boston, Amerika Serikat, juga mengungkapkan kepanikan serupa. Ia menggambarkan keputusasaan yang dirasakan banyak orang saat pesan-pesan membanjiri grup Whatsapp keluarga tentang teman dan orang yang dicintai.
”Krisis ini gila,” katanya melalui telepon, sambil mengisahkan kepedihan bagaimana teman dekat ayahnya baru-baru ini meninggal dalam kondisi minimnya pasokan peralatan medis. ”Istrinya bahkan tidak bisa menghadiri kremasi karena dia juga menderita Covid-19,” tambah Sharma.
Baca juga : Pelajaran dari India, Jangan Pernah Kendurkan Protokol Kesehatan
Keluarga Sharma berada di Chandigarh, kota yang dilanda Covid-19 paling parah, sekitar 271 kilometer utara New Delhi. ”Saya sekarang merasa sangat tidak berdaya. Saya tidak bisa berbuat apa-apa,” katanya.
Kami sempat bersiap menghadapi gelombang kedua, tetapi pemerintah tidak melakukan apa-apa dan sekarang kami bisa menyaksikan dampaknya.
Sharma mengaku dirinya juga marah. ”Kami sempat bersiap untuk menghadapi gelombang kedua, tetapi pemerintah tidak melakukan apa-apa dan sekarang kami bisa menyaksikan dampaknya,” katanya.
Judy Naresh, yang menjalankan Ask Abu Dhabi, sebuah forum komunitas Facebook yang beranggotakan sekitar 15.000 perempuan komunitas India, mengatakan bahwa pihaknya telah dibanjiri permintaan bantuan. ”Banyak dari anggota kami telah kehilangan orangtua dan keluarga lainnya,” kata Naresh, warga asal Mumbai itu.
Arvind Kejriwal, Menteri Utama New Delhi, ibu kota India dan tempat tinggal bagi puluhan juta orang, mencuit di Twitter belum lama ini bahwa kota itu menghadapi ”kekurangan akut” oksigen medis bulan lalu. Dalam tulisannya di The Atlantic, Vidya Krishnan, seorang jurnalis dan peneliti Universitas Harvard, berpendapat bahwa cuitan pesan tersebut mengungkapkan dua hal.
Pertama, katanya, dengan menggunakan media sosial Twitter dan bukannya saluran resmi, cuitan Kejriwal menunjukkan kurangnya kepercayaan pada pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi. Kejriwal bukan bagian dari partai Modi. Kedua, cuitan itu sekaligus memperlihatkan betapa Twitter telah menjadi sarana utama oleh orang India untuk meminta pertolongan dari luar.
Kelengahan Modi
Fakta tentang orang-orang India yang mencari oksigen atau tempat tidur rumah sakit lewat media sosial menunjukkan kenyataan pahit: tidak akan ada lagi tempat tidur yang tersisa. Obat-obatan ludes. Ambulans pengangkut orang sakit ke fasilitas perawatan terbatas. Tidak cukup mobil untuk membawa orang meninggal ke kuburan serta tidak cukup kuburan dan kayu untuk kremasi.
Baca juga : Terlalu Cepat Puas, India di Ambang Kolaps
Saat ini gampang sekali menyalahkan pemerintahan Modi atas krisis akibat Covid-19 di India—di mana ratusan ribu kasus baru dan ribuan kematian muncul setiap hari. Setelah virus tiba India tahun lalu, Modi menerapkan penguncian ketat—yang sebagian besar merugikan mereka yang paling miskin dan masyarakat paling rentan—tanpa berkonsultasi dengan para ilmuwan.
Ada satu kelengahan besar Modi bahwa dia tidak menggunakan waktu, di saat karantina diterapkan, untuk mendirikan infrastruktur perawatan kesehatan negara. Pemerintahannya juga menawarkan sedikit bantuan bagi mereka yang kehilangan pekerjaan atau pendapatan mereka karena karantina total.
Alih-alih memanfaatkan momentum dari jumlah kasus yang rendah pada bulan-bulan sebelumnya, pemerintahan Modi justru menggemakan kampanye kemenangan atas penyakit Covid-19. Ia lalu mengizinkan festival besar keagamaan Hindu dan kompetisi olahraga agar tetap berjalan.
Partai Bharatiya Janata, partai nasionalis Hindu yang berkuasa pimpinan Modi, dituduh telah menimbun obat-obatan dan mengadakan rapat umum pemilu. Sementara kubu Modi menyalahkan kelompok minoritas atas pandemi, menangkap wartawan, dan menuntut media sosial (Facebook dan Twitter) menghapus unggahan yang mengkritik otoritas.
Baca juga : India Prioritaskan Vaksin untuk Dalam Negeri
Pengalaman India tentang pandemi akan ditentukan oleh gelombang kedua yang sangat besar ini. Namun, menurut Krishnan, kengerian yang sekarang dialami negara itu tidak disebabkan oleh satu orang, atau pemerintah mana pun. Itu adalah kegagalan moral terbesar dari generasi India.
India adalah negara berkembang atau negara berpenghasilan menengah dan, menurut standar internasional, tidak mengeluarkan dana yang cukup untuk kesehatan rakyatnya. Namun, hal ini menutupi banyak kekuatan India di sektor perawatan kesehatan: dokter mereka termasuk yang paling terlatih di planet ini dan, seperti yang diketahui sekarang, negara itu adalah apotek dunia, berkat industri yang dibangun dengan obat-obatan dan vaksin yang efektif.
”Namun, pada kenyataannya, kami menderita malanutrisi moral—terutama di kalangan orang kaya, kelas atas, kasta atas India. Tidak ada tempat yang lebih nyata untuk menunjukkan masalah itu selain di sektor perawatan kesehatan,” tulis Krishnan.
Apartheid medis
Menurut Krishnan, liberalisasi ekonomi India pada tahun 1990-an membawa serta ekspansi industri perawatan kesehatan swasta yang cepat, pergeseran yang pada akhirnya menciptakan sistem apartheid medis: di mana rumah sakit swasta kelas dunia melayani orang India kaya dan wisatawan medis dari luar negeri, sementara fasilitas milik negara diperuntukkan bagi orang miskin.
Mereka yang memiliki uang dapat membeli perawatan terbaik yang tersedia atau—dalam kasus yang benar-benar terkaya—melarikan diri ke tempat yang aman dengan jet pribadi. Sementara di tempat lain, infrastruktur perawatan kesehatan negara itu disatukan dengan lakban.
Baca juga : Jet Pribadi, Cara Orang India Lari dari Covid-19
”Mereka yang berduit dapat membeli perawatan terbaik yang tersedia (tetapi untuk yang superkaya melarikan diri ke tempat yang aman dengan jet pribadi). Sementara di tempat lain, infrastruktur perawatan kesehatan dibiarkan reyot. Warga yang bisa ’membeli’ cara mereka untuk hidup lebih sehat tidak melihat adanya kesenjangan yang semakin lebar,” kata Krishnan.
Menurut Krishnan, yang telah meliput kesehatan dan sains selama hampir 20 tahun, tidak ada jalan pintas menuju kesehatan masyarakat, tidak ada pilihan untuk keluar darinya. ”Sekarang, orang yang kaya duduk berdampingan dengan si miskin,” katanya.
Lalu, mengapa dunia harus merasa khawatir terhadap situasi Covid-19 di India? Negara produsen vaksin terbesar di dunia itu sedang berjuang untuk mengatasi lonjakan terbaru Covid-19—dan itu adalah masalah semua orang. Masalah besar bagi dunia yang harus diwaspadai dan diantisipasi.