Satu Rudal Suriah Menyingkap Tiga Persoalan Israel
Sejumlah pihak meragukan kemangkusan Iron Dome dan sistem pertahanan udara Israel. IDF mengklaim Iron Dome dan gabungan sistem pertahanan udara Israel bisa menangkal hingga 90 persen serangan.
Insiden di Dimona, Israel, pada Kamis (21/4/2021), bukan hanya mengungkap salah satu kekhawatiran Israel. Ledakan rudal Suriah di dekat reaktor Dimona itu juga mengungkap Israel sebagai negara yang kerap menyerbu negara lain. Israel juga punya program nuklir dan menolak diatur pihak lain.
Penolakan Israel terekam, antara lain, dalam setiap pemungutan suara tahunan di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bersama Amerika Serikat dan sejumlah negara lain, Israel konsisten menolak resolusi MU PBB soal proliferasi nuklir di Timur Tengah. Dalam laporan tahunan Kementerian Luar Negeri AS, penolakan, antara lain, dipicu pendapat bahwa resolusi itu untuk mengatur soal nuklir Israel.
Baca juga: Rudal Suriah Meledak Dekat Reaktor Nuklir Israel
Shimon Peres Negev Nuclear Research Center, nama resmi fasilitas nuklir di Dimona, merupakan salah satu fasilitas nuklir Timur Tengah yang dikategorikan sebagai rahasia umum. AS baru tahu keberadaan nuklir yang dibangun atas bantuan Perancis itu menjelang proses pembangunan selesai.
Reaktor itu, sebagaimana dilaporkan Jerusalem Post, menjadi tempat produksi dan penyimpanan bahan baku untuk hingga 200 bom nuklir. Jika reaktor Dimona tidak beroperasi, Israel tidak memiliki tempat produksi dan penyimpanan plutonium bagi senjata nuklir baru.
Beberapa tahun lalu, Israel mulai merenovasi reaktor itu agar bisa dipakai sampai 2043 dari seharusnya hanya sampai 2003. Dalam laporan Jerusalem Post, Israel kini sedang menjalankan proyek perluasan reaktor itu.
Setelah rudal pertahanan udara Suriah yang jatuh dan meledak beberapa kilometer dari reaktor itu pada Kamis (22/4/2021) dini hari, International Panel on Fissile Material (IPFM) menyiarkan citra satelit atas reaktor Dimona. Dalam citra satelit itu terlihat ada proyek konstruksi baru di kompleks reaktor tersebut.
Serangan
Citra satelit IPFM menunjukkan, Israel terus berusaha memperluas program nuklirnya. Padahal, Israel menentang negara di Timur Tengah punya nuklir.
Baca juga: Kisah Mossad Memburu Ilmuwan Nuklir Iran Selama 31 Bulan
Secara terbuka, para pejabat Israel menyatakan akan melakukan apa pun untuk mencegah Iran menguasai pengetahuan membuat senjata nuklir. Karena itu, meski bolak-balik disangkal, Israel dituding mendalangi berbagai sabotase terhadap program nuklir Iran.
Israel bolak-balik menyerang fasilitas nuklir Iran. Bahkan, Israel mendalangi pembunuhan ilmuwan nuklir Iran. Sejak 2010 sampai 2020, Israel diduga mendalangi pembunuhan terhadap sedikitnya lima ilmuwan nuklir Iran.
Israel juga diduga terlibat serangkaian serangan terhadap reaktor nuklir Iran. Bekerja sama dengan Amerika Serikat, Israel pernah membuat Stuxnet yang ditujukan merusak sistem komputer pengendali reaktor-reaktor Iran. Serangan terbaru terjadi pada awal April 2021 di reaktor Natanz, tempat Iran memperkaya uranium hingga mencapai aras 60 persen.
Selain Iran, sasaran sabotase Israel adalah Suriah. Dalam pernyataan pada Maret 2018, Israel mengakui menyerang calon reaktor nuklir Suriah pada September 2007. Serangan yang dinamai Operasi Anggrek itu wujud dari Doktrin Begin. Mantan Perdana Menteri Israel Menachem Begin pernah mengatakan, Israel akan menghancurkan kemampuan nuklir negara musuh.
Sasaran pertama operasi di bawah doktrin itu adalah reaktor milik Irak. Dalam serangan yang dinamai Operasi Opera pada 1981 itu, Israel melancarkan serangan udara ke lokasi pembangunan reaktor nuklir Irak. Beberapa tahun sebelumnya, kala Iran masih dipimpin Reza Shah Pahlevi yang bersahabat dengan Amerika Serikat, Teheran juga menyerang lokasi tersebut.
Baca juga: Operasi Mossad Memalsukan Resor Selam di Tepi Laut Merah
Hampir 30 tahun selepas Operasi Opera, Israel mendengar Suriah berdikusi dengan Korea Utara untuk mengembangkan senjata nuklir. Setelah bertahun-tahun, Israel melancarkan serangan udara ke Suriah untuk mencegah pembangunan reaktor itu.
Israel bermusuhan dengan Suriah sejak 1948. Tel Aviv dan Damaskus terlibat perang terbuka pada 1948, 1967, dan 1973. Dalam ”Perang Enam Hari” pada 1967, Israel merebut Golan dan Suriah. Sampai sekarang, hanya Amerika Serikat yang mengakui pendudukan Israel terhadap Golan.
Pada masa kebangkitan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), Hezbollah diduga membentuk kelompok milisi dengan tujuan membebaskan Golan dari Israel. Hezbollah melakukan itu karena milisinya masuk Suriah untuk membantu Damaskus menghadapi aneka kelompok bersenjata yang bersekutu dengan NIIS, Al Qaeda, hingga milisi sokongan Turki.
Selepas tiga perang sampai 1973, Israel-Suriah kembali berhadapan kala Israel menyerbu Lebanon pada 1982 dan Damaskus memutuskan mengerahkan tentaranya untuk menghalau Israel. Pada masa pendudukan itu, Hezbollah dibentuk di Lebanon dengan sokongan penuh dari Iran.
Baca juga: Mossad di Balik Serangan Siber terhadap Instalasi Nuklir Iran
Pada 2003, Israel mengerahkan sejumlah jet tempur untuk mengebom sejumlah lokasi di Ayn Sahib, daerah di utara Damaskus. Kala itu, IDF beralasan untuk membalas sejumlah militan Palestina yang menyerang Israel. Pada 2007 ada Operasi Anggrek.
Selanjutnya, IDF menggencarkan serangan ke Suriah kala Suriah dilanda perang saudara mulai 2011. Tel Aviv menggunakan beragam alasan untuk menyerang Damaskus. Jet-jet Israel bolak-balik mendekat hingga ke Damaskus.
Sebagian jet-jet itu dihalau oleh sistem pertahanan udara Suriah yang hampir seluruhnya buatan Uni Soviet atau Rusia. Pada Maret 2017 dan Februari 2018, Suriah menembak pesawat Israel yang menerobos wilayah udara Suriah.
Aneka serangan ke Suriah, Lebanon, dan Iran menunjukkan Israel justru punya rekam jejak menyerbu negara lain. Padahal, dalam berbagai kesempatan, Israel justru menuding negara lain di kawasan suka menyerbu negara lain.
Pertahanan udara
Baku serbu dan tangkis antara Israel-Suriah terus berlanjut dan insiden terakhir terjadi pada Kamis pekan lalu. Kala sejumlah jet Israel menyerbu, tentara Suriah menangkal dengan rudal sistem pertahanan udara. Salah satu rudal itu jatuh dan meledak di Dimona yang terletak hampir 200 kilometer dari perbatasan Israel-Suriah.
Insiden Kamis pekan lalu membuat militer Israel, IDF, dalam situasi dilematis. Keterangan resmi IDF, rudal itu tidak secara sengaja diarahkan Suriah ke Dimona. Rudal itu sebenarnya meleset dari sasaran sebenarnya yakni jet tempur Israel yang sedang menyerbu Suriah.
Baca juga: Israel Barter Pembebasan Warganya dengan Beli Vaksin untuk Suriah
Keterangan itu memicu pertanyaan atas kemangkusan sistem pertahanan udara Israel. Jika rudal yang tidak sengaja ditembakkan saja bisa menembus sistem pertahanan udara, bagaimana dengan rudal yang sengaja diarahkan ke Israel? Apalagi, beberapa waktu lalu Kementerian Pertahanan Israel mengklaim memperkuat pertahanan udara di Dimona.
Seperti juga untuk daerah lain di Israel, dikembangkan sistem pertahanan udara yang terus diperbarui di Dimona. Sejak Perang Teluk I pada 1990, dengan dukungan Amerika Serikat, Israel mengembangkan atau memakai sistem pertahanan udara Arrow, Patriot, Ketapel Daud, dan Iron Dome.
Gabungan sistem itu untuk menangkal serangan jarak dekat dan jarak jauh. Untuk serangan jarak pendek, Israel terutama mengandalkan Iron Dome.
Sejak beberapa tahun lalu, sejumlah pihak meragukan kemangkusan Iron Dome dan sistem pertahanan udara Israel. IDF mengklaim Iron Dome dan gabungan sistem pertahanan udara Israel bisa menangkal hingga 90 persen serangan.
Sementara pakar dari Massachusetts Institute of Technology, Theodore Postol, meragukan kemangkusan sistem pertahanan udara Israel bisa lebih dari 30 persen. Sebagai pendukung kebijakan AS untuk memperkuat Israel, Postol mengaku cemas.
Ia menyebut, sistem Iron Dome gagal mencegah rudal dan roket musuh Israel menjadi tidak berbahaya. Rudal di Iron Dome hanya bisa menghancurkan bagian peluncur, bukan hulu ledak roket atau rudal musul Israel. Kala hulu ledak itu jatuh di Israel, akan tetap ada ledakan dan membuka peluang korban jiwa.
Kecemasan Postol kembali mengemuka setelah insiden Dimona. Insiden itu mengungkap bahwa sistem pertahanan udara Israel tidak sebaik yang sering diklaim. Insiden itu juga mengungkap Israel rutin menyerbu negara lain. Kejadian Dimona juga mengungkap, Israel punya senjata nuklir dan tidak mau diatur. Padahal, Israel menuntut program nuklir Iran diatur dan diawasi komunitas internasional. (AFP/REUTERS)