Pascakudeta 1 Februari, Seperempat Juta Warga Myanmar Mengungsi
Pascakudeta militer 1 Februari, hampir seperempat juta warga Myanmar mengungsi. Sebagian besar adalah petani, yang terpaksa meninggalkan lahan sawahnya. Kondisi ini dikhawatirkan dapat memicu krisis pangan di Myanmar.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
YANGON, JUMAT — Tindakan keras dan brutal aparat junta militer Myanmar pascakudeta 1 Februari 2021 telah membuat hampir seperempat juta rakyat negara itu mengungsi. Ancaman kelaparan juga mengancam warga di negara itu bila tidak ada solusi atas situasi krisis di Myanmar saat ini.
Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa di Myanmar, Tom Andrews, Rabu (21/4/2021), menyatakan bahwa warga Myanmar terpaksa meninggalkan rumah dan harta benda yang dimilikinya karena aparat keamanan melancarkan serangan ke permukiman warga. ”Ngeri mengetahui bahwa... serangan-serangan junta telah memaksa hampir seperempat juta warga Myanmar mengungsi, menurut berbagai sumber,” cuit Andrews di Twitter, Rabu.
”Dunia harus segera bertindak untuk mengatasi bencana kemanusiaan ini,” lanjut Andrews.
Sejak mengudeta pemerintahan sipil yang dijalankan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung Sang Suu Kyi, sedikitnya 738 orang tewas dan 3.300 orang lainnya mendekam dipenjara dan dianggap sebagai tahanan politik. Meski begitu, api perlawanan dari warga sipil, aktivis prodemokrasi dan politisi, tidak padam.
Sejak kelompok etnis mulai menyatakan dukungan pada perjuangan aktivis prodemokrasi, yang menuntut dikembalikannya pemerintahan sipil oleh junta militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing, serangan terhadap permukiman kelompok-kelompok etnis semakin sering.
Lebih dari 2.000 warga etnis Karen telah melintasi perbatasan Myanmar dan menyeberang ke Thailand. Sementara ribuan lainnya telantar di dalam negeri, mencari lokasi-lokasi yang dianggap aman untuk sementara waktu hingga situasi aman.
”Mereka semua bersembunyi di hutan dekat desa mereka,” kata Padoh Mann Mann, juru bicara Brigade Lima Persatuan Nasional Karen, kelompok pemberontak yang aktif di daerah pegunungan perbatasan timur Myanmar.
Free Burma Rangers, sebuah kelompok bantuan Kristen, memperkirakan sedikitnya 24.000 orang mengungsi di Negara Bagian Karen di tengah serangan mortir darat dan serangan udara pada awal bulan ini. Walau serangan udara berhenti, kini aparat mengintensifkan serangan darat.
Direktur Free Burma Rangers David Eubank mengatakan bahwa sebagian pengungsi adalah petani padi. Kondisi ini dikhawatirkan akan berdampak pada pasokan bahan pangan Myanmar dalam beberapa bulan ke depan jika mereka tidak bisa kembali ke rumah dan menggarap lahan pertaniannya. ”Anda melihat masalah enam bulan tidak ada makanan,” katanya.
Serangan udara setiap hari di Negara Bagian Kachin, Myanmar utara, telah memaksa sekitar 5.000 orang mengungsi.
Eubank menambahkan, serangan udara setiap hari di Negara Bagian Kachin, Myanmar utara, telah memaksa sekitar 5.000 orang mengungsi. Penduduk setempat yang menampung pengungsi di beberapa negara bagian juga menyatakan kekhawatiran kekurangan pasokan makanan yang akan datang.
”Kami menampung sekitar 1.000 orang dari 27 desa. Saat ini kami mengalami kesulitan dengan penyimpanan makanan,” kata Brang Shawng, pemimpin dari sebuah kamp di Negara Bagian Kachin.
Program Pangan Dunia PBB (WFP) untuk Myanmar menyatakan, harga beras dan minyak goreng mengalami kenaikan masing-masing sebesar lima persen dan 18 persen sejak akhir Februari lalu. WFP juga menemukan banyak keluarga di ibu kota negara dan pusat ekonomi mulai melewati jam makan tertentu, mengurangi asupan mereka, dan mulai berhutang.
”Semakin banyak orang miskin kehilangan pekerjaan dan tidak mampu membeli makanan,” kata Stephen Anderson, Direktur WFP Myanmar, dalam pernyataan tertulis.
Pertemuan di Jakarta
Di tengah kekerasan yang meningkat, para pemimpin negara Asia Tenggara dan menteri luar negeri mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi Khusus ASEAN di Jakarta, Sabtu (24/4/2021). Pertemuan itu akan membicarakan kondisi Myanmar dan kekerasan yang berlarut-larut di negara tersebut. Junta mengabaikan seruan dan kecaman sejumlah negara agar tidak melakukan kekerasan terhadap warganya yang melakukan aksi damai menentang kudeta.
Rencana kehadiran pemimpin junta Jenderal Min Aung Hlaing di Jakarta memicu kemarahan para aktivis dan kelompok hak asasi manusia. ”Min Aung Hlaing, yang menghadapi sanksi internasional atas perannya dalam kekejaman militer dan tindakan keras brutal terhadap pengunjuk rasa prodemokrasi, seharusnya tidak disambut pada pertemuan antar pemerintah untuk mengatasi krisis yang dia ciptakan,” kata Brad Adams dari Human Rights Watch (HRW).
Beberapa kepala negara anggota ASEAN telah memastikan diri tidak hadir, di antaranya Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Ketidakhadiran kepala negara anggota ASEAN itu, menurut pemerhati hubungan internasional, Dinna Prapto Raharja, membuat publik bisa menilai negara mana di kawasan yang tidak konsekuen dan melanggar prinsip people-centered dan people-oriented ASEAN.
Saat ada warga negara di kawasannya yang mengalami kekerasan dan intimidasi berkepanjangan, bahkan sudah mengarah ke perang saudra, kata Dinna, mereka masih memilih untuk tidak peduli.
”Ini menjadi preseden buruk untuk kelanjutan ASEAN sebagai sebuah organisasi yang diharapkan bisa aktif menjaga perdamaian berbasis demokrasi dan HAM di kawasan,” kata Dinna.
Di Washington, Departemen Keuangan AS memasukkan dua entitas bisnis milik Pemerintah Myanmar, yaitu Myanmar Timber Enterprise dan Myanmar Pearl Enterprise, dalam daftar hitam. Washington menyatakan, dana yang dihasilkan dari bisnis tersebut telah digunakan untuk kepentingan kelompok dan rezim militer Myanmar.
Selain memasukkan kedua perusahaan dalam daftar hitam, individu dan perusahaan AS juga dilarang untuk berbisnis dengan keduanya serta entitas bisnis Myanmar lain yang masuk dalam daftar hitam Pemerintah AS. Sebagai tambahan sanksi, Pemerintah AS juga membekukan semua aset yang dimiliki oleh kedua perusahaan yang berada di bawah yurisdiksi AS.
”Amerika Serikat akan terus menargetkan saluran pendanaan khusus dan mempromosikan pertanggungjawaban atas kudeta dan kekerasan terkait,” kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken. (AFP/REUTERS)