Situasi Myanmar kian tak menentu setelah militer terus bersikap brutal. Milisi sipil yang terkait dengan kelompok etnis sudah memberi peringatan. Bila tak dicegah, perang saudara bisa terjadi.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
Gerakan pembangkangan nasional sudah mendekati dua bulan sejak dimulai, sebagai reaksi tindakan junta militer mengkudeta pemerintahan sipil yang sah, pemerintahan yang dipimpin Liga Nasional untuk Demokrasi, 1 Februari lalu.
Berbekal “kuasa”, yang entah oleh siapa disematkan kepadanya, dan juga senjata, junta militer Myanmar menyatakan ada kecurangan pemilu dan memutuskan untuk mengambil alih pemerintahan yang sah. Bekal “kuasa” dan senjata membuat junta merasa di atas angin dan silap mata terhadap siapapun yang menentangnya, menghalanginya untuk berkuasa.
Kini, lebih dari 300 warga Myanmar tewas di tangan militer yang seharusnya menjaga rakyat. Bukan sebaliknya menodongkan senjata dan menembakkannya kepada rakyat.
Kematian seorang anak yang berusia belum 10 tahun seharusnya membuka mata, telinga dan hati siapapun, di manapun, bahwa kekerasan bersenjata junta harus dihentikan. Apalagi, selang beberapa hari kemudian, bersamaan dengan peringatan hari angkatan bersenjata, bedil junta membunuh hampir 100 orang warga sipil yang menuntut haknya secara damai.
Perang Saudara
Sebuah peringatan disampaikan dosen Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Muhammad Rum. Dia mengingatkan soal potensi perang saudara di Myanmar jika tidak ada bergegas untuk mencoba mengakhirinya. Potensi konflik lebih luas dan jauh lebih berbahaya bisa terjadi jika hal ini dibiarkan lebih lanjut.
Gelagat untuk ini sudah mulai terlihat beberapa pekan terakhir. Kelompok milisi sipil yang memiliki keterkaitan dengan kelompok etnis, telah terlibat dalam pembangkangan sipil Myanmar. Sejauh ini, mereka belum bergerak. Tapi, dalam dua hari terakhir, beberapa milisi sipil yang terkait kelompok etnis tertentu sudah mengeluarkan peringatan bahwa sewaktu-waktu mereka bisa bertindak bila junta terus menerus bertindak brutal. Dan, hal itu terbukti dengan serangan udara terhadap Brigade V Karen National Union, salah satu kelompok militer sipil terbesar yang ada di negara ini, Sabtu (27/3).
Kecaman dan sanksi sejauh ini tidak bisa menghentikan junta bertindak brutal terhadap warga. Tidak ada yang yakin dengan efektivitas tindakan yang hanya berupa pernyataan semata.
Pada saat yang sama, gerakan masyarakat sipil Myanmar juga tidak cukup memiliki kepercayaan terhadap apa yang kini tengah coba dibangun oleh ASEAN, tetangga terdekatnya. Anggapan bahwa bertemu dengan perwakilan junta dinilai sebagai sebuah pengakuan terhadap kudeta militer dan penggulingan pemerintahan yang sah, menghalangi misi diplomasi ASEAN untuk mencari penyelesaian yang sebaik-baiknya.
Semua sepakat bahwa kebrutalan yang ada di depan mata ini harus dihentikan. Diplomasi, yang selama ini dilakukan oleh antarpemerintah, tidak cukup ampuh untuk menembus benteng tinggi yang tidak hanya dibangun oleh militer Myanmar tapi juga gerakan masyarakat sipil. Mau tidak mau, pegiat masyarakat sipil juga harus turun tangan untuk melakukan diplomasi pada “kolega-koleganya” di Myanmar agar benteng tinggi itu perlahan bisa ditembus dengan memberi keyakinan bahwa tujuan utama sekarang ini adalah untuk menghindari terjadinya korban di kalangan warga sipil.
Dan yang terpenting adalah mencegah kemungkinan terjadinya perang antara militer dan kelompok milisi etnis-etnis yang ada di negara itu. Bila itu terjadi, dampaknya tidak hanya akan menimpa saudara-saudara di Myanmar tapi juga ke kawasan.