Aparat Junta Kian Brutal, Ribuan Warga Myanmar Tinggalkan Rumah
Warga Myanmar meninggalkan rumahnya membawa barang-barang dengan mengendarai sepeda motor dan kendaraan tuk-tuk.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
YANGON, RABU — Ribuan warga di kawasan industri pinggiran Distrik Hlaing Tharyar, Yangon, Myanmar, meninggalkan rumahnya setelah junta militer memberlakukan status darurat militer. Hingga Rabu ini, hampir 200 orang tewas akibat penembakan oleh aparat junta militer yang semakin brutal.
Militer Myanmar mengudeta pemerintahan demokratis yang telah diakui dunia internasional— dan memberlakukan ketentuan yang otoriter—yang pernah dijalankan selama lima dekade. Kini Myanmar kembali ke titik nol.
Situasi di Distrik Hlaing Tharyar menjadi medan peperangan dengan suara tembakan terdengar di mana-mana, Selasa (16/3/2021). Akibatnya, warga takut ke luar rumah, tetapi akhirnya memilih pergi saja karena sudah tidak tahan.
Hampir 60 orang tewas ditembak aparat keamanan di Myanmar, Minggu lalu, dan sejumlah pabrik di Hlaing Tharyar dirusak, dijarah, dan dibakar. Mayoritas warga di Hlaing Tharyar, daerah pinggiran kota yang miskin, adalah migran dan pekerja pabrik. Mereka meninggalkan rumahnya membawa barang-barang dengan mengendarai sepeda motor dan kendaraan tuk-tuk.
Sejumlah dokter mengaku di daerah itu sebenarnya masih banyak korban terluka dan membutuhkan perawatan medis. Namun, tim medis tidak bisa masuk karena tentara memblokir jalan masuknya.
Tidak ada yang bisa mengabarkan situasi di daerah itu juga karena jaringan internet diputus oleh junta militer.
Menanggapi 32 pabrik China yang dibakar di kawasan industri Hlaing Tharyar, jaringan TV Global China memperingatkan akan kemungkinan terjadinya lebih banyak serangan lagi.
”China tidak akan membiarkan kepentingannya diserang. Jika otoritas Myanmar tidak bisa menyelesaikan masalah ini, China terpaksa bertindak tegas untuk melindungi kepentingannya,” sebut CGTN.
Sampai saat ini, China yang dianggap sebagai pendukung junta militer Myanmar belum menyatakan sikapnya terhadap kudeta militer. Begitu pula dengan Rusia. Karena kedua negara ini, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa belum mengeluarkan pernyataan tegas soal kudeta.
Myanmar bergejolak sejak kudeta militer, 1 Februari lalu. Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, bersama sejumlah tokoh pejabat dan aktivis ditahan. Komunitas internasional mengecam junta militer dan beberapa di antaranya menjatuhkan sanksi.
Perancis mengatakan, Uni Eropa akan menyetujui sanksi bagi pelaku dan semua yang terlibat dalam kudeta militer.
Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Yves Le Drian mengatakan, pengesahan persetujuan sanksi itu akan dilakukan saat pertemuan tingkat menlu, Senin mendatang. Sanksi itu akan berbentuk penangguhan semua dukungan anggaran dan menyasar kepentingan ekonomi milik siapa saja yang terlibat dalam kudeta militer.
Sementara itu, junta militer justru mendakwa utusan internasional dari pemerintahan sipil, dokter Sasa, dengan tuduhan pengkhianatan karena mendorong pembangkangan sipil dan mendesak sanksi bagi junta. Ancaman hukumannya bisa sampai hukuman mati.
”Saya tidak takut. Para jenderal yang berkhianat setiap hari. Mementingkan diri sendiri dan mengabaikan hak rakyat serta menindas siapa saja yang dianggap menghalangi,” sebutnya dalam pernyataan tertulis.
Lebih dari 180 pengunjuk rasa tewas ditembak aparat keamanan Myanmar. Puluhan pemakaman dilakukan di Yangon.
”Junta militer hendak mengubah hasil pemilu demokratis dan menekan pengunjuk rasa yang damai dengan cara brutal,” kata Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken. (REUTERS/LUK)