Kebrutalan Junta Myanmar Kian Menjadi-jadi, Upacara Pemakaman Pun Ditembaki
Hanya berselang sehari setelah tewasnya 114 orang, korban terbanyak dalam satu hari, junta Myanmar tak mengendurkan aksi represif. Aparat junta juga menembaki kumpulan warga yang tengah mengikuti upacara pemakaman.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
YANGON, SENIN — Kebrutalan aparat junta militer Myanmar semakin tak terkendali. Ketika rakyat Myanmar di berbagai pelosok berkabung atas tewasnya 114 orang dalam sehari pada Sabtu lalu, aparat keamanan tidak mengendurkan tindakan represifnya. Bahkan, aparat junta menembaki kumpulan warga yang tengah mengikuti upacara pemakaman salah satu korban di dekat Yangon, Minggu (28/3/2021).
Insiden tersebut terjadi pada upacara pemakaman seorang mahasiswa berusia 20 tahun, Thae Maung Maung, salah satu dari 114 korban tewas, di Bago, dekat Yangon. ”Ketika kami sedang menyanyikan lagu revolusi untuk dia (mendiang Thae Maung Maung), aparat keamanan datang dan menembaki kami,” ujar perempuan bernama Aye yang hadir di upacara pemakaman.
”Orang-orang, termasuk saya, berlarian saat mereka menembaki kami,” ucap Aye. Hingga berita ini dilaporkan, tak ada korban jiwa dalam insiden di pemakaman. Namun, dalam insiden penembakan di tempat lain, tiga orang tewas. Hari Minggu, gelombang unjuk rasa menentang kudeta militer di Myanmar terus berlanjut, salah satunya di wilayah Sagaing, dekat Mandalay.
Gelombang unjuk rasa itu kembali memanas, antara lain, di kota Yangon dan Mandalay setelah 114 orang tewas dalam satu hari, Sabtu lalu. Di antara korban terdapat anak-anak di bawah usia 16 tahun.
Komunitas internasional, termasuk 12 menteri pertahanan dari Australia, Kanada, Jerman, Yunani, Italia, Jepang, Denmark, Belanda, Selandia Baru, Korea Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat, mengecam kekerasan aparat keamanan Myanmar terhadap warga sipil tidak bersenjata.
Informasi perkembangan terbaru ini dilaporkan media berita, Myanmar Now, Minggu. Total jumlah korban tewas ditembak polisi dan tentara sejak kudeta militer, 1 Februari lalu, 440 orang.
”Militer profesional harus mengikuti standar internasional dan bertanggung jawab melindungi—bukan melukai—rakyat yang dilayani,” demikian antara lain pernyataan para menhan dari 12 negara tersebut. ”Kami mengimbau Angkatan Bersenjata Myanmar menghentikan kekerasan dan memulihkan respek serta kredibilitas oleh rakyat Myanmar yang hilang akibat aksi-aksi mereka.”
Junta militer Myanmar menyatakan, aparat keamanan menindak tegas pengunjuk rasa karena mereka memancing kekerasan dengan melemparkan bom molotov. Junta menuding pengunjuk rasa membawa busur dan anak panah.
Banyaknya korban yang tewas terjadi saat militer Myanmar memperingati Hari Angkatan Bersenjata dengan parade militer besar-besaran di ibu kota Myanmar, Naypyidaw. Di negara itu, hari Angkatan Bersenjata digelar untuk memperingati terjadinya perlawanan terhadap penjajahan Jepang selama Perang Dunia II.
Parade militer dihadiri delapan perwakilan negara asing, termasuk Wakil Menhan Rusia Alexander Fomin. Selain dari Rusia, beberapa diplomat menyebut perwakilan negara asing itu berasal dari China, India, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Laos, dan Thailand.
Pemimpin junta militer, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, mempertahankan keputusan kudeta militer sebagai langkah terbaik dan menjanjikan akan menyelenggarakan pemilu baru. Ia juga menyatakan, ada ancaman dari gerakan antikudeta dan memperingatkan aksi terorisme yang mengancam keamanan negara tidak bisa diterima.
Tidak tegas
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres syok dan prihatin dengan pembunuhan warga sipil, termasuk anak-anak. ”Tindak kekerasan militer yang masih terjadi ini tak bisa diterima dan dibutuhkan respons internasional yang tegas serta satu suara,” tulis Guterres di Twitter.
Pernyataan senada diutarakan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken. Melalui cuitan di Twitter, ia mengungkapkan perasaan ngeri terhadap pertumpahan darah yang dilakukan oleh aparat keamanan Myanmar. Blinken menyebut, hal ini membuktikan junta militer tidak ragu mengorbankan rakyatnya demi kepentingan segelintir orang.
Kelompok pegiat HAM, Amnesty International, menilai komunitas internasional kurang tegas mengakhiri kekerasan di Myanmar. ”Negara anggota Dewan Keamanan PBB masih tak mau bertindak tegas,” kata Wakil Direktur Regional Amnesty International Ming Yu Hah.
DK PBB sudah mengecam kekerasan yang dilakukan aparat keamanan, tetapi belum mengambil tindakan tegas terhadap junta militer, seperti larangan menjual persenjataan ke junta militer. Dua negara anggota DK PBB, China dan Rusia, selama ini merupakan penyuplai persenjataan terbesar ke militer Myanmar. Keduanya akan memveto tindakan tegas DK PBB.
Sebagian korban yang tewas, Sabtu lalu, dimakamkan pihak keluarga, Minggu. Aye Ko, salah satu korban tewas, disebutkan sanak saudaranya, ditembak dan dilemparkan ke kobaran api oleh aparat keamanan.
Ada juga anak perempuan dan dua laki-laki yang tewas setelah ditembak di kepala. Aparat keamanan juga terlihat menembakkan senjata mesin di kompleks permukiman hingga banyak warga sipil, termasuk enam anak-anak berusia 10-16 tahun, tewas. (AFP/AP/REUTERS)