Aparat Junta Membabi Buta, Korban Kembali Berjatuhan
Kebrutalan junta tidak hanya mengesalkan warga. Kelompok pemberontak pun jengkel. Sanksi ekonomi menyeluruh terhadap junta dan pihak yang menyokong junta amat penting.
Oleh
Kris Mada/Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
YANGON, SABTU -- Situasi di Myanmar semakin runyam. Aparat junta militer kian membabi buta menembak massa pengunjuk rasa prodemokrasi setelah menuduh mereka sebagai gerombolan teroris. Polisi yang ikut berunjuk rasa menentang kudeta turut ditembak dan termasuk di antara 93 orang yang dilaporkan tewas pada Sabtu (27/3/2021).
Jumlah korban itu belum terhitung dengan data yang dilaporkan Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) Myanmar, Sabtu pagi. AAPP menyebutkan ada 328 orang tewas sejak unjuk rasa menentang kudeta militer pada 1 Februari 2021.
Penembakan warga sipil oleh aparat junta pada Sabtu, saat junta militer merayakan Hari Angkatan Bersenjata, adalah yang terbanyak sejak kudeta dilancarkan.
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Myanmar mengecam junta militer karena membunuh warga sipil yang berunjuk rasa damai dengan tangan kosong.
”Pasukan keamanan junta telah membunuh warga sipil tidak bersenjata, termasuk anak-anak, dan orang-orang yang karenanya mereka (militer) bersumpah untuk melindungi”, sebut sebuah pernyataan yang dirilis di laman Facebook Kedubes AS. ”Ini bukan tindakan militer atau polisi yang profesional”.
Kelompok etnis
Kebrutalan junta juga memicu kemarahan kelompok etnis bersenjata. ”Mereka (junta militer) tidak melindungi demokrasi. Mereka justru mengancam demokrasi,” kata Ketua Dewan Pemulihan Negara Bagian Shan (RCSS) Jenderal Yawd Serk.
RCSS adalah salah satu kelompok etnis bersenjata yang dicap sebagai pemberontak oleh junta. ”Kalau mereka terus menembak dan mengganggu pengunjuk rasa, saya pikir kelompok etnis tak akan diam,” ujar Yawd Serk.
Penolakan terhadap kudeta militer juga dilakukan aparat negara, antara lain ditunjukkan oleh Chit Lin Thu (21), seorang polisi di Yangon. Ia tewas dalam unjuk rasa, kemarin, bersama puluhan korban lain, sebagaimana dilaporkan sejumlah kantor berita asing. Kantor berita Associated Press menyebutkan 93 orang tewas di lebih dari belasan kota di Myanmar.
Chit Lin Thu tertembak dalam kerusuhan di dekat penjara Insein. Setelah tertembak di kepala, ia dibawa pulang ke rumah. Sayang, nyawanya tidak tertolong. ”Saya sangat sedih, sekaligus bangga,” kata ayahnya, Joseph, menyebut anaknya yang ikut menentang kudeta.
Chit bukan satu-satunya anggota polisi yang tidak setuju dengan perampasan kekuasaan sipil demokratis oleh junta militer Myanmar (Tatmadaw). Sejauh ini, sebanyak 280 polisi Myanmar telah mengungsi ke India karena tak mau menembak pengunjuk rasa sebagaimana diperintahkan junta.
Para sukarelawan kesehatan mengaku kesulitan mengevakuasi para korban tewas dari lokasi penembakan. Sebab, aparat terus menembaki siapa saja yang berada di lokasi unjuk rasa. Di beberapa lokasi penembakan bisa berlangsung sampai subuh. ”Kondisi di lapangan sangat mencekam,” kata seorang warga Yangon.
Ancaman
Pemimpin junta militer Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pada peringatan Hari Angkatan Bersenjata, menyatakan para pengunjuk rasa prodemokrasi dan kelompok massa penentang kudeta sebagai teroris.
”Tindakan terorisme dapat membahayakan ketertiban dan keamanan negara sehingga tidak bisa diterima. Demokrasi yang diidamkan tidak akan tertib kalau ada yang tidak mematuhi hukum,” ujarnya.
Hlaing kembali menyatakan, kudeta adalah cara Tatmadaw menyelamatkan demokrasi. Pemerintahan sipil yang dipimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) telah melanggar hukum dan harus dimintai pertanggungjawaban.
Pemimpin junta militer Myanmar itu juga mengatakan, demokrasi akan dipulihkan dan pemilu akan digelar pada waktunya. Kini junta akan fokus menindak para perusuh yang mengganggu ketertiban.
Sementara itu, televisi yang dikuasai junta, MRTV, menyiarkan ancaman lebih terbuka. ”Anda (penentang kudeta) harus tahu bahwa Anda terancam ditembak di kepala. Pelajaran dari mereka yang tewas mengenaskan adalah mati sia-sia,” demikian siaran televisi itu.
Yawd Serk mendukung upaya pembentukan pemerintahan dan tentara federal yang bukan versi junta. Upaya itu sedang dilakukan oleh para politisi NLD. Pemerintahan tandingan bentukan NLD, yaitu Committee Representing Pyidaungsu Hluttaw (CRPH), dinyatakan terus bekerja di bawah tanah. CRPH mewakili anggota parlemen terpilih dari partai NLD pimpinan Aung San Suu Kyi.
Jangan menyerah sampai demokrasi tercapai, sampai pemerintahan federal terbentuk.
“Mereka (Tatmadaw) musuh demokrasi,” kata Utusan CRPH untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Salai Maung Taing San. “Jangan menyerah sampai demokrasi tercapai, sampai pemerintahan federal terbentuk,” ujarnya lagi.
Upaya warga menggulingkan junta tidak mudah. Anggota tetap DK PBB, Rusia, secara terbuka mengeratkan hubungan dengan junta. Hal itu diungkapkan Wakil Menteri Pertahanan Rusia, Alexander Fomin, dalam kunjungannya ke Naypyidaw.
Kehadiran Fomin disebut membuat Rusia ikut bertanggung jawab atas kejahatan junta.“Kami sangat sedih pejabat Rusia ke Myanmar untuk mengakui junta militer yang ilegal,” kata Yadanar Maung, dari Justice for Myanmar.
Sementara dari London diwartakan, sejumlah organisasi mendesak perusahaan minyak internasional untuk tidak mencairkan pembayaran bagi hasil tambang minyak dan gas bumi ke Myanmar. Desakan disampaikan antara lain kepada Chevron (Amerika Serikat), Total (Perancis), dan Petronas (Malaysia).
Myanmar mendapatkan rata-rata 1 miliar dollar AS dana bagi hasil migas dari perusahaan-perusahaan itu. “AS harus membuat sanksi untuk mencegah Chevron membayar (bagi hasil tambang) ke junta,” kata Direktur Eksekutif Burma Campaign UK, Anna Roberts.
Sanksi ekonomi menyeluruh terhadap junta dan pihak yang menyokong junta amat penting. Dengan demikian, junta kehilangan sumber daya untuk mempertahankan kekuasaannya.
Selama ini, sejumlah pihak menilai sanksi ekonomi tidak benar-benar diterapkan komunitas internasional. Akibatnya, junta masih terus mendapat pemasukan untuk mendukung kekuasaannya. Padahal, berbagai pihak telah mengumumkan badan usaha yang dimiliki atau mendukung junta.(AFP/REUTERS/RAZ/CAL)