ASEAN Didorong Lebih Berani Selesaikan Krisis Myanmar
ASEAN tetap memiliki peran sentral dalam penyelesaian krisis Myanmar dengan tetap melibatkan juta militer dan kelompok sipil di negara tersebut.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara atau ASEAN yang dikenal memiliki pengalaman dalam menyelesaikan koflik di kawasan harus segera bertindak lebih untuk mengakhiri krisis di Myanmar. Sebab, situasi di Myanmar saat ini semakin gawat dan kompleks. Penyelesaian konflik tersebut harus melibatkan semua pihak yang bertikai di Myanmar.
Gagasan mendorong ASEAN untuk terus memimpin penyelesaian konflik di Myanmar itu mengemuka dalam seminar daring “Myanmar Crisis: Regional and International Solution” yang diadakan oleh Indonesian Council on World Affairs, Jumat (26/3/2021).
Mantan Ketua Tim Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar Marzuki Darusman, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte, dan Gubernur National Resilience Institute Letjen (Purn) Agus Widjojo menjadi panelis dalam acara tersebut.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte, memaparkan, ada beberapa skenario mengakhiri krisis di Myanmar. Akan tetapi, agar proses negosiasi berjalan situasi kekerasan yang berlangsung saat ini harus dihentikan terlebih dulu.
“Diperlukan fleksibilitas Tatmadaw untuk bisa mendapatkan solusi,” ujar Philips merujuk pada militer Myanmar.
Beberapa skenario tersebut, antara lain, adalah pembagian kekuasaan antara pihak-pihak yang bertikai atau bisa juga pola Thailand di mana baik sipil maupun militer tidak duduk di kekuasaan melainkan pihak ketiga yang mereka sepakati bersama.
Mantan Ketua Tim Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar Marzuki Darusman, berpendapat, apa yang terjadi di Myanmar bisa memicu reaksi berantai ketidakstabilan di kawasan dan memengaruhi ekonomi. ASEAN perlu menyelesaikan ini dengan melibatkan internal Myanmar untuk mendapatkan solusi jangka panjang.
Dalam sambutannya yang dibacakan Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, pertemuan informal tingkat menteri awal Maret 2021 menghasilkan dua hal yang signifikan, yaitu seruan terhadap Myanmar untuk melakukan dialog dan rekonsiliasi serta pernyataan kesiapan ASEAN untuk membantu mencari jalan keluar perdamaian di Myanmar.
Menurut Philips, satu hal yang juga patut didengarkan dalam proses penyelesaian konflik adalah suara anak-anak muda yang selama ini gigih memprotes kudeta militer. Mereka merupakan para pendukung Liga Nasional untuk Demokrasi.
Gubernur National Resilience Institute Letjen (Purn) Agus Widjojo, melihat peran diplomasi Indonesia dalam penyelesaian konflik Myanmar bakal menghadapi masalah dari dua hal, yakni posisi Indonesia dalam isu Rohingya dan proses demokrasi di Indonesia.
Dulu, militer Myanmar menjadikan dwifungsi ABRI di Indonesia sebagai model. Tapi setelah reformasi mereka melihat Thailand sebagai model. Pemilu yang junta militer Myanmar tawarkan mirip dengan apa yang terjadi di Thailand. Bisa saja Myanmar mendekati Thailand untuk meminta bantuan.
Namun, menjadikan Thailand sebagai model pun memiliki kelemahan. Yaitu Thailand tidak memiliki pengalaman berdemokrasi dan reformasi militer yang lebih baik dari Indonesia.
Menurut Agus, solusi yang bisa diambil adalah pembagian kekuasaan karena sepertinya kelompok sipil Myanmar tidak sejalan dengan tawaran pemilu oleh militer. Di satu sisi tuntutan sipil untuk transfer kekuasaan dan mengamandemen konstitusi menuju demokrasi juga tidak akan diterima oleh junta militer.
Pada Jumat (26/3/2021), tindakan represif aparat keamanan Myanmar terhadap pemrotes kudeta kian menggila dengan kembali menembak tiga orang pemrotes. “Dua orang tewas tertembak di kepala,” ujar seorang saksi mata yang melihat aparat keamanan menembak para pemrotes yang mengibarkan bendera hitam di Kota Myeik.
“Kami tidak bisa mengambil jenazah ketiga karena masih banyak aparat keamanan di sana,” kata saksi tersebut. Beberapa orang pemrotes lainnya juga terluka.
Berdasarkan data dari kelompok aktivis Assistance Association for Political Prisoners, sejauh ini, setidaknya 320 orang pemrotes kudeta militer dibunuh aparat keamanan Myanmar sejak kudeta terjadi 1 Februari 2021. Data itu juga mengungkapkan bahwa 25 persen di antara korban meninggal itu ditembak di kepala sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa mereka sengaja ditembaki.
Sementara itu, Bank Dunia memangkas perkiraannya terhadap pertumbuhan ekonomi Myanmar dari yang semula diperkirakan tumbuh menjadi terkontraksi 10 persen tahun 2021.
Bank Dunia menyebutkan, Myanmar “telah terdampak sangat hebat oleh gelombang protes, mogok kerja, dan tindakan militer yang menyebabkan menurunnya mobilitas dan gangguan pada layanan publik penting termasuk perbankan, logistik, dan layanan internet.” (REUTERS)