”Monolog” Junta Militer Myanmar
Junta militer Myanmar terus menebar teror dengan menembak pengunjuk rasa. Fakta itu bertolak belakang dengan pernyataan Jenderal Min Aung Hlaing yang menjanjikan demokrasi.
Duka belum kunjung sirna dari Myanmar. Bahkan, semakin banyak kabar tentang kematian. Di Mandalay, salah satu kota terbesar di Myanmar, keluarga Aye Ko tenggelam dalam tangis.
”Kami diberi tahu oleh para tetangga bahwa Aye Ko ditembak dan dilempar ke dalam api,” kata seorang kerabat Aye Ko. ”Dia satu-satunya yang memberi makan keluarga. Kehilangan dia adalah kerugian besar bagi keluarga,” katanya menambahkan.
Aye Ko adalah ayah empat anak yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai pemerintah. Ia tewas dalam unjuk rasa menentang kudeta yang dilakukan oleh militer Myanmar.
Baca juga: Kyal Sin, Simbol Perlawanan Anak Muda Myanmar
Aye Ko adalah salah satu korban yang tewas di tangan aparat keamanan Myanmar saat mereka berupaya membubarkan pengunjuk rasa. Pada Sabtu (27/3/2021), Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan, kekerasan meletus di banyak wilayah di Myanmar. Tatmadaw menggunakan peluru tajam untuk menghalau warga yang menentang mereka.
AAPP mencatat, setidaknya 90 orang tewas. Sementara itu, media lokal seperti Myanmar Now dan The Irrawady menyebutkan, jumlah korban tewas mencapai 114 orang, membuat Sabtu menjadi hari paling kelabu.
”Pasukan junta menembakkan senapan mesin ke daerah permukiman, mengakibatkan banyak warga sipil, termasuk enam anak berusia antara 10 dan 16 tahun, tewas,” kata AAPP. ”Fakta bahwa rezim militer menargetkan anak-anak adalah tindakan yang sangat tidak manusiawi.”
Narasi junta
Saat korban sipil terus berjatuhan, pemimpin militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing—dalam pidato peringatan Hari Angkatan Bersenjata yang jatuh pada Sabtu—justru menyebut mereka sebagai teroris. Menurut Hlaing, mereka yang disebutnya sebagai teroris itu membahayakan ketenteraman negara, karena itu tidak dapat diterima.
Pada kesempatan yang sama, Hlaing kembali membenarkan kudeta yang dilakukan militer. Pemerintah sipil yang dipimpin Aung San Suu Kyi, menurut dia, gagal menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu November 2020 yang dimenangi secara mutlak oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Hlaing pun kembali menjanjikan bahwa pemerintahannya akan mengadakan pemilu yang bebas dan adil serta akan menyerahkan kekuasaan setelah pemilu itu digelar.
Dalam perayaan yang dihadiri perwakilan dari sejumlah negara, seperti Rusia, China, India, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Laos, dan Thailand, Hlaing mengatakan, militer akan melindungi rakyat dan memperjuangkan demokrasi.
Sehari sebelumnya, televisi yang dikendalikan junta, MRTV, dalam siarannya mendesak para pemuda—yang merupakan aktor utama unjuk rasa—agar belajar dari mereka yang terbunuh selama demonstrasi. MRTV mengingatkan tentang bahaya ditembak di kepala atau punggung. Peringatan itu secara luas dianggap sebagai ancaman. Apalagi, selama ini banyak korban sipil tewas—saat unjuk rasa—dengan luka tembak di bagian kepala. Setidaknya, hingga saat ini lebih dari 429 warga sipil tewas.
Baca juga: Dua Generasi di Myanmar Bersatu Melawan Kudeta Militer
Kematian mereka tentu bertolak belakang dengan narasi yang disampaikan pemimpin junta militer Myanmar. Saat berpidato, Hlaing berbicara tentang demokrasi, pemilu yang bebas dan adil, serta melindungi rakyat, tetapi fakta di lapangan berbicara lain. Pada Sabtu, saat Hlaing menjanjikan demokrasi, lebih dari 100 warga sipil, di antaranya anak-anak, tewas di ujung moncong senapan militer.
The Irrawady memberi judul ”Day of Terror and Dishonor” untuk beritanya tentang kekejaman junta militer pada Hari Angkatan Bersenjata itu. Sebagai catatan, Hari Angkatan Bersenjata adalah perayaan tahunan bagi militer untuk menandai perlawanan Myanmar terhadap fasis Jepang pada tahun 1945.
Sementara itu, bagi pengunjuk rasa di Myanmar, hari itu dimaknai sebagai ”Hari Revolusi”, hari ketika mereka melawan junta militer. The Irrawady menyebutkan, militer telah menandai hari itu dengan membunuh lebih dari 100 orang di seluruh negeri. Militer telah menjadikan hari itu sebagai hari paling berdarah dalam sejarah mereka merebut kekuasaan pada 1 Februari lalu.
Phil Robertson, Wakil Direktur Human Rights Watch untuk wilayah Asia, mengatakan, kekerasan yang terjadi pada Sabtu menunjukkan bahwa Tatmadaw harus dituntut di Mahkamah Pidana Internasional. ”Ini adalah hari penderitaan dan duka bagi orang-orang Burma yang telah membayar kesombongan dan keserakahan Tatmadaw dengan nyawa mereka, berkali-kali,” katanya.
Kecaman
Tidak hanya lembaga advokasi HAM yang gundah dengan cara dan sikap junta militer Myanmar. Perwakilan Uni Eropa untuk Myanmar mengatakan, Hari Angkatan Bersenjata Myanmar yang ke-76 akan diingat sebagai hari teror dan aib.
”Pembunuhan warga sipil yang tidak bersenjata, termasuk anak-anak, adalah tindakan yang tidak dapat dipertahankan,” kata Perwakilan Uni Eropa untuk Myanmar dalam sebuah pernyataan.
Selain mereka, para menteri pertahanan dari sejumlah negara, antara lain Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Australia, pun memiliki keprihatinan serupa.
”Seorang militer profesional mengikuti standar perilaku internasional dan bertanggung jawab untuk melindungi, bukan merugikan, rakyat yang dilayaninya,” kata para pemimpin itu dalam sebuah pernyataan bersama. ”Kami mendesak Angkatan Bersenjata Myanmar untuk menghentikan kekerasan dan bekerja bersama rakyat Myanmar untuk memulihkan rasa hormat dan kredibilitas, yang mana telah hilang karena tindakannya (Tatmadaw)”.
Saksikan juga: Pernyataan Keras Presiden Jokowi dan Desakan ASEAN atas Krisis Myanmar
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengungkapkan kengeriannya atas perilaku junta militer Myanmar. ”Kami ngeri dengan pertumpahan darah yang dilakukan oleh pasukan keamanan Burma, yang menunjukkan bahwa junta akan mengorbankan nyawa rakyat (hanya) untuk melayani beberapa orang,” kata Blinken dalam sebuah tweet.
Duta Besar AS untuk Myanmar Thomas Vajda dalam sebuah pernyataan mengatakan, pembunuhan oleh pasukan keamanan Myanmar atas warga sipil bukan tindakan yang profesional. ”Rakyat Myanmar telah berbicara dengan jelas: mereka tidak ingin hidup di bawah kekuasaan militer.”
Dalam sebuah unggahan di Facebook, Komite Pemogokan Umum Nasional (GSCN), salah satu motor aksi unjuk rasa di Myanmar, menegaskan akan terus mengobarkan perlawanan kepada junta militer.
”Kami memberi hormat kepada para pahlawan kami yang mengorbankan nyawa selama revolusi ini dan Kami Harus Memenangkan REVOLUSI Ini”, tulis GSCN di Facebook.
Sikap itu menandai bahwa rakyat Myanmar dengan tegas melawan teror junta militer. Dengan beragam risiko, mereka menjawab monolog militer yang setiap hari ”berbicara” melalui moncong senjata. (AP/AFP/REUTERS)