Amerika Serikat dan China adalah dua ”raksasa” yang terus bersaing, berebut pengaruh. Akan tetapi, dalam beragam isu mereka saling membutuhkan untuk menjawab beragam persoalan.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Selain sebagai alat politik luar negeri, diplomasi juga perlu melayani kebutuhan politik di dalam negeri. Diplomasi juga menjadi penanda konflik bersenjata masih jauh selama komunikasi, sekalipun dilakukan dengan intonasi tinggi dan pilihan diksi menusuk hati, masih terjalin. Dalam diplomasi pula, sekadar mau menjaga komunikasi dan tetap bertemu sudah dianggap sebagai pencapaian penting.
Pertemuan pejabat Amerika Serikat-China di Alaska, 18-19 Maret 2021, menggambarkan tiga fungsi diplomasi tersebut. ”Sebagian besar panggung untuk pendengar domestik, sangat jelas baik bagi AS dan China,” kata Cailin Birch, ekonom pada Economist Intelligence Unit, dalam wawancara dengan CNN.
Pengajar kajian Amerika di Fudan University, Zhang Jiadong, berpendapat senada. ”Pembukaan tajam penting dan tidak bisa dihindari secara politik maupun opini publik. Kedua belah pihak berharap mendapat manfaat dari perundingan. Pertemuan itu sendiri sudah pencapaian, meski tanpa hasil jelas,” ujarnya kepada media yang dekat dengan Pemerintah China, Global Times.
Mereka merujuk fakta saling kecam antara delegasi AS dan China dalam pertemuan yang berlangsung pada sesi di Alaska pekan lalu. Delegasi AS dipimpin Menteri Luar Negeri Antony Blinken dan Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan. Sementara delegasi China dipimpin Direktur Kebijakan Luar Negeri Politbiro Partai Komunis China Yang Jiechi dan Menlu sekaligus anggota Dewan Negara China, Wang Yi.
Dalam rekaman video terlihat kedua pihak saling melontarkan pernyataan keras kala pertemuan baru dibuka. Bahkan, Blinken meminta awak media tetap dalam ruangan untuk merekam pernyataan kerasnya terhadap China. ”Kami mengharapkan pertemuan yang keras dan langsung mengenai berbagai persoalan, dan itulah yang benar-benar terjadi,” kata Sullivan.
Yang pun tidak menyangkal pertemuan dibuka dengan pernyataan-pernyataan keras. Ia menggunakan istilah ”jujur, langsung, membangun” untuk menggambarkan pertemuan di Alaska. Istilah itu kerap dipakai para diplomat untuk menggambarkan pertemuan tanpa kesepakatan dan para pihak bertahan dengan posisi masing-masing. Namun, para pihak setuju untuk terus berkomunikasi, lalu mencari cara bekerja sama.
Pakar kajian AS di Renmin University, Diao Daming, optimistis pembukaan keras tidak akan menghalangi kerja sama Beijing-Washington. Belajar dari masa lalu, dulu Beijing-Washington disebutnya lebih keras dibandingkan dengan sekarang.
”Pada 1955, waktu para pihak memulai pembicaraan tingkat duta besar, perbedaan dan perdebatan lebih panas dibandingkan dengan sekarang. Pada akhirnya, hubungan AS-China meningkat. Jadi, sabar dulu,” tutur pakar kajian AS di Renmin University, Diao Daming, kepada Global Times.
Kesepakatan
Para pejabat dalam delegasi AS membenarkan kondisi itu. ”Setelah sesi terbuka (untuk media), Menteri Blinken memulai diskusi dan kedua pihak segera bisa tersambung,” kata seorang pejabat Kemenlu AS yang tidak mau identitasnya diungkap.
Pejabat itu menyebut pertemuan sesi pertama sangat serius, langsung, dan sesuai pokok masalah. ”Kami memanfaatkan sesi, sesuai rencana, untuk menggarisbawahi kepentingan dan prioritas kami, dan kami sudah mendengar hal yang sama dari pihak China. Diskusi berlangsung lebih dari dua jam,” kata anggota delegasi AS lainnya.
Selepas dua sesi pertemuan, Beijing-Washington bersepakat di sejumlah isu. Hal terpenting adalah mereka setuju mempertahankan komunikasi strategis. Mereka juga akan membentuk tim kerja bersama terkait dengan perubahan iklim. Diao Damin menyebut, AS sangat membutuhkan China dalam isu perubahan iklim.
Karena ukuran ekonominya, Beijing-Washington sama-sama menjadi penghasil emisi karbon terbesar dan telah berjanji akan memangkasnya. Akan tetapi, Beijing-Washington terus terlibat saling tuding soal siapa harus mengurangi lebih banyak. Perwujudan komitmen mereka amat dibutuhkan untuk kelanjutan pengendalian suhu permukaan bumi yang dapat memicu perubahan iklim.
Isu lain yang disepakati dalam pertemuan Alaska adalah soal diplomat dan pekerja media. Beijing-Washington sepakat soal vaksinasi Covid-19 bagi para diplomat. Mereka juga membahas soal aktivitas para diplomat dan media.
Selama beberapa tahun terakhir, AS-China saling membalas menutup perwakilan diplomatik dan saling membatasi perwakilan media. Washington menuding sejumlah media China di AS sebagai alat Beijing. Washington juga menutup konsulat China di Texas. Beijing membalas dengan mencabut izin kerja sejumlah jurnalis yang bekerja untuk media AS di China. Konsulat AS di Chengdu juga ditutup.
Kini mereka mencari cara agar pertukaran warga kedua negara bisa kembali lancar. Selain pandemi Covid-19, ketegangan diplomatik kedua negara juga menghambat pergerakan warga mereka.
Isu lain yang dibahas terkait dengan Iran, Myanmar, dan Semenanjung Korea. Mereka sepakat memperkuat koordinasi melalui lembaga multilateral, seperti G-20 dan APEC. Meski kerap berseberangan, AS dan China sama-sama terlibat dalam berbagai isu global, seperti nuklir Iran dan Korea Utara.
Perdagangan
Hal yang tidak kalah penting adalah soal perdagangan. Sejak 2018, AS-China terlibat perang dagang dan dampaknya melebar ke mana-mana.
Ditujukan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan, sejumlah kajian menunjukkan AS justru rugi gara-gara kebijakan yang dilancarkan pemerintahan di era Donald Trump tersebut. Kamar Dagang dan Industri AS menemukan, nilai ekspor AS ke China pada 2020 lebih rendah dibandingkan dengan sebelum 2018.
Selain pandemi, ekspor AS juga terpangkas setelah China membalas dengan mengenakan bea masuk impor untuk aneka produk AS. Washington kehilangan miliaran dollar AS gara-gara perang dagang dengan China.
Kajian Oxford Economy menyebut ekspor ke China menghasilkan pekerjaan untuk 1,2 juta orang di AS. Jika ekspor ke China terpangkas, jumlah pekerja akan berkurang pula.
Oleh karena itu, AS-China dianjurkan untuk segera menuntaskan perang dagang. ”Meski perdagangan adalah masalah rumit, isu itu lebih mudah dibahas dibandingkan perbedaan politik. Sepertinya tidak akan ada kesepakatan soal politik. Namun, di bisnis, selalu ada persamaan kepentingan,” kata Wakil Presiden China Society for World Trade Organization Studies Huo Jianguo.
Sayangnya, harapan Beijing sulit dipenuhi dengan kondisi Washington sekarang. Peneliti tamu di National University of Singapore, Alex Capri, menyebut bahwa Biden tetap menjalankan kebijakan Make America Great Again dan America First yang diusung Trump. Kebijakan itu menjadi salah satu pemicu perang dagang AS-China.
Capri melihat, versi Biden malah lebih keras. ”Pemerintahan Biden akan mengaitkan isu HAM pada perdagangan dan ekspor teknologi,” ujarnya.
Seperti disampaikan Huo, pengaitan itu menjadi salah satu penyebab masalah perdagangan AS-China sulit diselesaikan. Meski demikian, seperti disepakati di Alaska, kedua perekonomian terbesar itu tetap mau berkomunikasi.
Tidak dapat disangkal, karena kepentingan masing-masing, mereka saling bersaing. Di sisi lain, yang melegakan, mereka tidak saling berpaling dan mau tetap membuka jalur komunikasi. Sebab, bahaya akan dimulai kala para pihak berhenti berbicara. (AP/REUTERS)