AS Tambah Sanksi Ekonomi untuk China
AS menuding sejumlah komoditas ekspor China dibuat dari pusat kerja paksa di Xinjiang. Produk-produk itu disebut terkait dengan pelanggaran HAM terhadap orang-orang Uighur.
WASHINGTON, SELASA — Amerika Serikat mengumumkan sanksi ekonomi tambahan untuk China. Kali ini, Washington menerbitkan lima larangan impor untuk aneka produk yang diduga terkait kerja paksa di Xinjiang, wilayah China bagian barat. Washington juga mempertimbangkan sejumlah sanksi tambahan. Rangkaian sanksi terbaru itu mengancam perdagangan senilai lebih dari 300 miliar dollar AS.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan, perintah penundaan pembongkaran atau WRO mencegah AS mengimpor barang-barang hasil kerja. Badan Perlindungan Perbatasan dan Kepabeanan (CBP) AS akan menahan barang-barang dengan kandungan produk hasil kerja paksa.
”AS tidak akan diam atas perlanggaran hak asasi manusia terhadap minoritas Uighur di Xinjiang, yang bentuknya termasuk kerja paksa dan pembatasan kebebasan untuk memilih tempat dan cara kerja,” ujarnya, Senin (14/9/2020) siang waktu Washington atau Selasa dini hari WIB.
Baca juga: Industri Busana Terancam Perang Dagang AS-China
Ada lima WRO yang berlaku untuk semua hasil produksi pusat pelatihan Lop County, rambut palsu buatan kawasan industri di Lop County, kapas olahan Xinjiang Junggar, dan suku cadang komputer buatan Hefei Bitland Information Technology. AS juga melarang impor untuk busana buatan perusahaan bernama Yili Zhuowan dan Boading. Seluruh larangan impor itu didasarkan pada undang-undang tarif 1930 yang melarang impor produk penjara atau kerja paksa.
AS secara khusus menyoroti Pusat Pelatihan Keterampilan nomor 4 ke Lop County. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut pusat pelatihan itu sebagai tempat penahanan hampir sejuta orang Uighur dan anggota kelompok minoritas lain di Xinjiang. ”Perintah itu memberikan pesan kepada masyarakat internasional bahwa kami tidak akan menoleransi kerja paksa dalam rantai pasok AS,” kata pelaksana tugas Komisaris CBP Mark Morgan.
Ia mengatakan, pengusaha AS harus sangat ketat memeriksa sumber impornya. Konsumen AS diajak meminta informasi soal proses produksi barang yang mereka gunakan. ”Kita dapat menggunakan kekuatan ekonomi kita untuk mengatakan kepada pengusaha bahwa kita tidak akan tinggal diam dan membiarkan perusahaan asing memangsa pekerja yang rentan sembari membahayakan pengusaha AS yang menghormati HAM dan hukum,” ujarnya.
Baca juga: Perseteruan AS-China di Tiga Arena
Pelaksana tugas Wakil Menteri Keamanan Dalam Negeri AS Kenneth Cuccinelli menyebut, langkah itu merupakan cara lembaganya melawan perbudakan modern dan kerja paksa. “Impor ini juga merugikan pekerja dan pengusaha AS,” ujarnya.
Transaksi besar
Larangan itu bisa sangat merugikan China. Pada 2019, Washington membayar 50 miliar dollar AS untuk impor produk busana dari China. Sementara ekspor aneka produk kapas dari China ke AS naik 62 persen sepanjang Januari-Juli 2020. Bahkan, impor pada Juli melonjak sampai 206 persen. ”Larangan ini bukan yang pertama dan tidak akan jadi yang terakhir,” kata Morgan.
Pada Juli 2020, AS menerbitkan dua sanksi terkait Xinjiang. AS memasukkan 11 perusahaan China ke daftar pihak yang dilarang berhubungan dengan perusahaan AS. Sebanyak 11 perusahaan itu diduga terlibat dalam pelanggaran HAM di Xinjiang.
Sementara Departemen Keuangan serta Departemen Perdagangan AS memasukkan sejumlah perusahaan, pejabat, dan pengusaha China yang dalam daftar sanksi. Mereka dilarang menjalin hubungan ekonomi dengan pihak-pihak di AS dan memanfaatkan layanan keuangan AS.
Baca juga: Perusahaan China Semakin Sulit Menembus Bursa AS
Ke depan, menurut Cuccinelli, Washington mempertimbangkan larangan total untuk semua produk kapas dan tomato dari Xinjiang. “”Kami mengumpulkan tambahan bukti dan analisa hukum untuk memastikan bisa menghadapi perlawanan,” ujarnya.
Semikonduktor
Adapun Departemen Pertahanan AS sedang menimbang untuk memasukkan Semiconductor Manufacturing International Corp (SMIC) dalam daftar sanksi. Salah satu produsen utama semikonduktor China itu akan dilarang membeli produk-produk AS tanpa izin dari Washington. “Kebijakan itu untuk memastikan SMIC dalam peninjauan menyeluruh,” kata Sue Gough, juru bicara Departemen Pertahanan AS.
Dephan AS menilai SMIC termasuk salah satu pihak yang membantu Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China membangun kekuataan. Dalam laporan kontraktok keamanan AS, SOS International, SMIC punya banyak divisi produk pertahanan.
SMIC berhubungan dengan CETC, BUMN China yang memproduksi perangkat eletronik untuk kebutuhan militer. SMIC membantu CETC menguji coba produk baru dan memakai teknologi CETC untuk proses produksi semikonduktor.
Baca juga: AS Larang Ekspor Teknologi Ke China
SMIC menyatakan terkejut dan menyangkal tudingan Dephan AS. ”Perusahaan hanya melayani kebutuhan sipil dan pengguna komersial. Kami tidak punya hubungan dengan militer China,” demikian pernyataan SMIC, sebagaimana dikutip Global Times.
Tergantung impor
Meski terus berkembang, industri semikonduktor China sangat bergantung pada Eropa dan AS. Hal itu tecermin dari impor semikonduktor China yang bernilai lebih dari 300 miliar dollar AS per tahun. China belum punya teknologi untuk membuat semikonduktor tipe terbaru. Produsen mesin-mesin untuk memproduksi dan menguji semikonduktor berasal dari luar China.
Hal itu antara lain berlaku untuk peranti penyimpan yang bisa diakses tanpa menggunakan daya listrik (NAND flash) yang dibutuhkan ponsel, komputer, mobil transmisi otomatis, hingga televisi terbaru. Perusahaan Korea Selatan, Samsung dan SK Hynix, mengontrol 45,1 persen pasar NAND flash global.
Adapun Jepang lewat Kioxia dan AS melalui Western Digital, Micron Technology, dan Intel mengendalikan lebih dari 50 persen pasar NAND flash global. Di sisi lain, separuh pembelian NAND flash global berasal dari aneka pabrik di China.
Baca juga: Puputan Pasifik 4.0
Fakta itu berlaku pula untuk peranti penyimpan penyimpanan dinamis (DRAM) yang dibutuhkan pada setiap ponsel, komputer, hingga televisi terbaru. Samsung, SK Hynix, dan Micron memasok 95 persen kebutuhan pasar global.
Dengan demikian, sebagaimana dilaporkan Financial Times, perusahaan China, seperti Xiaomi, Huawei, ZTE, dan Lenovo, amat bergantung pada impor untuk menghasilkan produk mutakhir yang diterima secara global. Ketergantungan juga terjadi karena ASML, perusahaan Belanda, merupakan satu-satunya penyedia mesin cetak berbasis ultraviolet yang dibutuhkan dalam produksi prosesor 7 nanometer (nm) yang merupakan standar terbaru. Sementara perusahaan China baru bisa memproduksi prosesor 28 nm. Padahal, ponsel masa kini membutuhkan prosesor berukuran paling besar 14 nm.
Bahkan, seperti dilaporkan Reuters, Washington menekan Amsterdam agar ASML tidak mengekspor mesin mutakhirnya ke Beijing. Pasar mesin untuk memasukkan miliaran transistor dan komponen lain dalam satu keping pengolah informasi (cip) dikendalikan oleh AS lewat Lam Research dan Applied Materials, serta oleh Jepang lewat Tokyo Electron Perusahaan AS lain, KLA-Tencor, menyediakan teknologi penguji dan pemantau kualitas produksi cip.
”Anda tak bisa membuat pabrik semikonduktor tanpa menggunakan perangkat dari produsen utama, yang tidak satu pun dari China. Berperang tanpa senjata akan kalah, dan mereka (China) tidak punya senjata,” kata Brett Simpson, peneliti lembaga kajian investasi Arete Research yang berbasis di London, kepada Financial Times.
Baca juga: AS Larang Produk China
Sejak 2014, Xi meluncurkan program untuk mengakhiri ketergantungan itu. Pada 2014, Beijing meluncurkan program Dana Besar untuk mendorong industri semikonduktor. Sebagaimana dilaporkan The Economist dan Nikkei Asian Review, China mengucurkan 19,8 miliar dollar AS untuk memacu industri semikonduktornya. Beijing menargetkan 40 persen kebutuhan semikonduktor nasional dipenuhi dari dalam negeri pada 2020 dan dipacu ke aras 70 persen pada 2025. (AP/REUTERS)