AS dan China Bersikukuh pada Posisinya Masing-masing
Pertemuan bilateral tahap pertama Amerika Serikat dan China diwarnai ketegangan. Delegasi China menyebut pertemuan itu penuh ”dengan bau mesiu dan drama”.
Oleh
Mahdi Muhammad, Robertus Benny Dwi Koestanto
·3 menit baca
ALASKA, JUMAT — Pertemuan bilateral tahap pertama Amerika Serikat dan China diwarnai ketegangan dan saling bertukar ”tuduhan”. Banyak pihak tidak terlalu banyak berharap ada hasil yang menggembirakan untuk memperbaiki hubungan kedua negara.
Meski pertemuan pertama AS-China yang diadakan di Anchorage, Alaska, Kamis (18/3/2021) waktu setempat, dilakukan di suhu udara minus 16 celsius, bukan berarti pertemuan baik-baik saja. Sebaliknya, dalam pandangan delegasi China, pertemuan pertama itu sebagai pertemuan yang penuh dengan bau mesiu dan drama yang kuat antara mereka dan delegasi Pemerintah AS yang dipimpin Menteri Luar Negeri Antony Blinken dan Penasihat Keamanan Jake Sullivan.
Sementara delegasi Pemerintah China dipimpin Direktur Kantor Komisi Urusan Luar Negeri Pusat Partai Komunis China (PKC) Yang Jiechi dan Menlu Wang Yi.
Pemerintah AS menuduh Pemerintah China melakukan berbagai tindakan yang mengancam tatanan berbasis aturan yang sejatinya berperan dalam menjaga stabilitas global. Menlu AS Blinken merinci beberapa tindakan yang mengancam tatanan aturan itu, seperti kebijakan Beijing atas kelompok minoritas Uighur di Xinjiang yang dinilai Washington sebagai genosida, pembungkaman hak berdemokrasi warga Hong Kong, dan sikap China terkait Taiwan.
”Itulah mengapa mereka bukan hanya masalah internal dan mengapa kami merasa berkewajiban untuk mengangkat masalah ini di sini hari ini,” kata Blinken.
Penasihat Keamanan Nasional Jake Sullivan memperkuat kritik tersebut dengan mengatakan China telah melakukan serangan terhadap nilai-nilai dasar. ”Kami tidak mencari konflik, tetapi kami menyambut persaingan yang ketat,” katanya.
Selain itu, Washington juga menyebutkan dugaan serangan siber di AS, kelindan perang dagang kedua ngara dan hal-hal lain yang dianggap AS menjadi pemaksaan terhadap negara-negara sekutu mereka.
Direktur Yang menanggapi tudingan Blinken dengan kemarahan. Dia menuntut Pemerintah AS berhenti memaksakan versinya sendiri pada saat mereka juga diguncang ketidakpuasan domestik, termasuk masalah rasialisme yang sudah mendarah daging di negara itu. Yang menuduh Pemerintah AS gagal menangani masalah hak asasi manusianya sendiri.
”Kami percaya bahwa penting bagi Amerika Serikat untuk mengubah citranya sendiri dan berhenti memajukan demokrasi sendiri di seluruh dunia. Banyak orang di Amerika Serikat sebenarnya memiliki sedikit kepercayaan pada demokrasi Amerika Serikat,” kata Yang.
Dia menyatakan, China tidak menerima tuduhan yang tidak beralasan dari pihak AS. ”Tidak ada cara untuk mencekik China,” kata Yang.
Bonnie Glaser, Direktur China Power Project pada Center for Strategic and International Studies, menilai, pertemuan itu akan memiliki dampak yang terbatas. Untuk tahap awal, mereka akan meneliti apakah ada kesamaan dalam beberapa isu yang bisa dikerjakan bersama dan apakah ada cara untuk mengelolanya dan bahkan mempersempit perbedaan mereka.
”Dengan kondisi tersebut, harapan harus tetap rendah. Pengaturan ulang hubungan tidak ada di kartu,” kata Glaser.
Kawasan
Peneliti Hubungan Intersional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siswanto, mengatakan, pertemuan pertama yang sedang berlangsung antara AS dan China harus dilihat sebagai tahap awal. Dari posisi terlihat dalam pemberitaan, menurut dia, yang terlihat sekarang ini adalah masing-masing pada posisinya. ”Masing-masing dengan resistensinya, posisinya sendiri saat ini,” katanya.
Dengan posisi seperti itu, menurut Siswanto, negara-negara di kawasan, terutama di kawasan Asia Tenggara, semuanya harus menunggu dan mengamati dari jauh. Indonesia dengan tradisi politik dan kebijakan luar negeri yang bebas aktif, menurut dia, Indonesia tidak berada pada posisi memihak atau memilih. Apalagi Indonesia memiliki kedekatan dengan kedua negara, baik AS maupun China.
Indonesia sebagai negara yang masuk dalam kategori middle-power, menurut dia, bahkan biasanya memosisikan diri menjembatani konflik di antara para pihak, membangun norma-norma di kawasan untuk meminimalisasi konflik serta menghindari perang.
”Sebisa mungkin, Indonesia tidak mengikatkan diri terlalu berlebihan dalam situasi sekarang ini,” kata Siswanto. (AP/AFP/REUTERS)