Membenci Sumber Energi Andalan
Sebanyak 110 dari 140 PLTU batubara di Jepang akan dihentikan karena tidak mangkus. Dalam kajian Carbon Tracker Initiative ditemukan, 46 persen dari 6.696 PLTU batubara di sejumlah negara merugi pada 2020.
Pertumbuhan membutuhkan energi. Meski ada berbagai upaya, gas alam bersama minyak dan batubara masih menjadi sumber utama energi dunia. Amerika, Eropa, dan Asia menggunakan batubara jauh lebih banyak dibandingkan dengan nuklir dan sumber energi baru terbarukan.
Dalam berbagai forum antarbangsa, para tokoh dan organisasi lintas negara selalu menyatakan siap mengurangi penggunaan energi fosil. Mereka juga terus mengatakan akan meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan (EBT).
Baca juga : Komitmen pada Energi Terbarukan
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa Antonio Guterres mendesak lembaga keuangan menghentikan pendanaan pada proyek-proyek batubara. Selanjutnya investasi dari batubara dan energi fosil lain dialihkan ke energi terbarukan. ”Saya meminta bank umum dan multilateral, juga investor di bank komersial, untuk mengalihkan investasi mereka sekarang,” ujarnya pada awal Maret 2021.
Penyelamatan bumi menjadi alasan utama desakan penghentian itu. Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim merekomendasikan pengurangan energi fosil untuk mencegah kenaikan suhu permukaan bumi.
Panel yang dibentuk sebagai tindak lanjut Kesepakatan Paris 2015 tentang perubahan iklim itu juga merekomendasikan peningkatan sumber energi selain fosil. Pihak-pihak lain malah mengampanyekan penambangan minyak, gas alam, dan batubara dihentikan.
Faktanya, EBT dan fosil sama-sama terus meningkat penggunaannya. Dalam laporan tahunan British Petroleum Statistical Review of World Energy, salah satu acuan internasional untuk produksi dan konsumsi energi global, kenaikan penggunaan EBT memang paling tinggi. Dari 8,24 eksajoule di 2009 ke 28,29 eksajoule di 2019. Sementara listrik dari air, baik itu skala mikro (PLTMH) maupun besar (PLTA), hanya bertambah sedikit dari 30,72 eksajoule menjadi 37,64 eksajoule selama periode yang sama.
Baca juga : Pengembangan Energi Terbarukan Hadapi Kendala
Sayangnya, data juga menunjukkan konsumsi energi fosil jauh lebih meningkat. Penggunaan Batubara, yang dicap sebagai sumber energi paling kotor dan paling didesak untuk dihentikan, naik 13 eksajoule. Dari 144 eksajoule ke 157 eksajoule. Adapun minyak naik dari 167 eksajoule ke 193 eksajoule.
Setiap eksajoule setara dengan 34 juta ton barubara atau 163 juta barel minyak. Dengan demikian, dunia mengonsumsi 5,3 miliar ton batubara dan 31,5 miliar barel minyak sepanjang 2020. Sebagai pembanding, Indonesia hanya menghasilkan 610 juta ton batubara dan tidak sampai 400 juta barel minyak pada 2019.
Para pengguna
BP Statistical Review of World Energy mencatat, Asia Pasifik mengonsumsi 12.690 terawatt hours (TWh) pada 2019. Di kawasan ini ada China, Jepang, Korea Selatan, India, serta Asia Tenggara. Sementara di Amerika dan Eropa, konsumsinya masing-masing 6.754 TWh dan 5.424 TWh.
Dari seluruh 27.004 TWh yang dikonsumsi dunia pada 2019, paling banyak dihasilkan batubara dan gas alam. Di seluruh bumi, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara menghasilkan total 9.824 TWh dan PLTU gas 6.297 TWh. Adapun pembangkit listrik dari sumber EBT hanya menghasilkan 2.805 TWh sepanjang 2019.
Dari daftar konsumen terbesar PLTU batubara, China di urutan pertama dengan 4853 TWh. China diikuti India (1137 TWh), Amerika Serikat (1053 TWh), Jepang (326 TWh), Korea Selatan (238 TWh), dan Rusia (182 TWh). Bersama Jerman (171 TWh) dan Polandia (121 TWh), Rusia menjadi negara Eropa yang paling banyak mengonsumsi listrik dari PLTU batubara.
Baca juga : Mandiri Energi dengan Transisi
Fakta itu menunjukkan, batubara masih menjadi andalan sumber energi di berbagai negara. Kenyataan itu juga menjadi salah satu godaan banyak negara untuk mempertahankan PLTU batubara sebagai pemasok energi. ”Penggunaan PLTU batubara harus ditekan sampai 80 persen pada 2030 untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat celsius,” kata Christine Shearer dari Global Energy Monitor.
Tuntutan GEM lebih tinggi dibandingkan dengan rekomendasi Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim. Panel yang dibentuk sebagai turunan dari Kesepakatan Paris 2015 itu merekomendasikan penggunaan PLTU batubara paling banyak 33 persen pada 2030 dan dihentikan sepenuhnya pada 2050.
Pendanaan
GEM menyebut China dan Jepang sebagai negara yang paling banyak mendorong penambahan PLTU batubara. Dari 68,3 gigawatt (GW) listrik yang dipasok PLTU batubara baru secara global pada 2019, sebanyak 43,8 GW beroperasi di China.
Data China Global Energy Finance menunjukkan, China Development Bank (CDB) dan China Export-Import Bank (CHEXIM) menyediakan 225,75 miliar dollar AS pada 2000-2017 untuk proyek energi fosil di sejumlah negara. Khusus 2005-2017, 40 persen dikucurkan untuk pembangunan PLTU batubara. PLTU batubara yang didanai China berada di Amerika, Eropa, Afrika, Asia, dan Australia.
GEM juga menemukan Jepang menjadi pendorong peningkatan PLTU batubara terbesar di antara anggota OECD dan G7. Di antara 7 negara terkaya, hanya Jepang yang masih menambah PLTU batubara di dalam negeri.
Baca juga : PLTU Batubara China Naikkan Emisi Karbon Global, Termasuk Indonesia
Jepang tengah membangun 21 PLTU batubara dengan kapasitas total 11,9 GW. PLTU batubara baru itu akan meningkatkan emisi karbon dari 3,9 miliar ton menjadi 5,8 miliar ton. Lembaga-lembaga keuangan Jepang membiayai pembangunan PLTU batubara di luar negeri yang akan menghasilkan total 24,7 Gw dan 4,2 miliar ton emisi karbon.
Bersama Korsel, Perancis, dan Jerman, China dan Jepang menjadi lima besar sumber pendanaan PLTU batubara. Menurut GEM, lima negara itu membiayai pembangunan PLTU batubara yang akan menghasilkan total 91,8 GW. Dengan 16,4 GW dan 14,6 GW, Indonesia dan Vietnam menjadi penerima terbesar pendanaan untuk pembangunan PLTU batubara dari lembaga-lembaga keuangan internasional.
Padahal, 110 dari 140 PLTU batubara di Jepang akan dihentikan karena tidak mangkus. Dalam kajian Carbon Tracker Initiative ditemukan, 46 persen dari 6.696 PLTU batubara di sejumlah negara merugi pada 2020.
Bahkan, lebih dari separuh PLTU batubara China juga merugi. World Energy Modelling memperkirakan, aset PLTU batubara senilai 64,5 miliar dollar AS yang didanai Jepang berpeluang besar menanggung kerugian.
Baca juga : Singapura Kembangkan Panel Surya Terapung
”Pembangkit listrik bertahan puluhan tahun dan butuh lama untuk balik modal. PLTU batubara mana pun yang dibangun sekarang, yang paling efisien sekalipun, berisiko menjadi tak layak secara ekonomis sebelum bisa balik modal,” kata pengajar kebijakan publik di Blavatnik School of Government pada Universitas Oxford, Inggris, Thomas Hale.
Hale merupakan salah satu ribuan orang yang terus mengampanyekan agar batubara, minyak, dan gas alam dikurangi. Sayangnya, tiga jenis hasil tambang itu masih menjadi sumber energi andalan global sampai beberapa tahun mendatang. (AFP/REUTERS)