Kita tegaskan, manusia berlomba dengan waktu dalam soal pemanasan global. Jangan sampai kita terlambat. Dunia juga menunggu kontribusi Indonesia.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Kita membutuhkan pengait yang kuat untuk menyambung kesadaran menjadi komitmen dan aksi nyata. Ini berlaku pula untuk penggunaan energi terbarukan.
Jika melihat udara pengap kotor, langit tak biru cerah, udara gerah, dan kian sering terjadi cuaca ekstrem, itu sebagian tanda dan gejala yang disebabkan pemanasan global. Kita sudah paham, fenomena ini disebabkan pembakaran bahan bakar fosil yang berkepanjangan, terutama sejak awal revolusi industri pada pertengahan abad ke-18 hingga hari ini.
Pada sisi lain, kita juga sering membaca berita gunung es kutub pecah dan meleleh, tinggi permukaan laut bertambah, yang melahirkan prediksi kota-kota pesisir, termasuk Jakarta, bakal terendam dalam tempo satu-dua dekade ini. Kita juga terbiasa mendengar berita, tahun ini menjadi tahun terpanas dalam seabad terakhir.
Pengetahuan dan pemahaman telah kita peroleh bahwa pemanasan global harus direm. Caranya jelas, yaitu memangkas—dan suatu saat menghapuskan—penggunaan bahan bakar fosil, dan menggantinya dengan energi terbarukan yang ramah lingkungan, seperti panas bumi, energi surya, dan energi angin. Meski pengetahuan dan pemahaman ada, dan sebenarnya tersebar luas, termasuk di kalangan pemerintah dan pengambil kebijakan, komitmen dan aksi nyata untuk beralih ke energi terbarukan masih belum konsisten.
Kita gembira, pabrik otomotif terkemuka dunia akan menghentikan produksi mobil berbahan bakar fosil mulai dekade mendatang. Dalam konteks menyegarkan ingatan dan memperbarui komitmen, disertai semangat terus mengetuk (frapper toujours), Kompas menurunkan laporan khusus mengenai energi terbarukan, Senin hingga Rabu (15/3-17/3/2021).
Indonesia perlu lebih cepat lagi dalam transisi energi, dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Jika kita merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, terbaca bauran energi primer pada 2025 terdiri dari batubara (30 persen), energi terbarukan (23 persen), minyak bumi (25 persen), dan gas bumi (22 persen).
Namun, data yang diumumkan pemerintah menyebutkan, capaian energi baru dan terbarukan sampai akhir 2020 baru 11,5 persen. Artinya, energi fosil masih dominan. Fakta ini bisa dikaitkan dengan fakta lain, misalnya tingginya bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor. Bisa juga dampak kenaikan suhu pada pertanian dan keanekaragaman hayati.
Indonesia dipandang perlu menata ulang perangkat kebijakannya, seperti UU No 30/2007 tentang energi. Hal terkait transisi energi harus diatur lebih jelas dan bersifat mengikat bagi semua pemangku kepentingan (Kompas, 17/3/2021).
Pekerjaan rumah masih banyak, seperti mengatur harga energi terbarukan. Namun, fokus tetap diarahkan pada upaya pencapaian bauran energi terbarukan sebesar 23 persen. Jangan sampai kerumitan teknis menafikan komitmen dasar untuk pencapaian target itu.