PLTU Batubara China Naikkan Emisi Karbon Global, Termasuk Indonesia
PLTU batubara masih menjadi salah satu andalan sumber energi, Eropa, AS, China, Jepang, Korea Selatan hingga Indonesia untuk mendapatkan listrik.
Oleh
Kris Mada/Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
Upaya mengurangi emisi karbon global terkendala. China terus mendanai pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara di luar negeri, mulai dari negara-negara Afrika hingga Indonesia.
BOSTON, KAMIS-- Proyek pembangkit listrik tenaga uap batubara yang didanai China memicu peningkatan emisi karbon hingga 115 juta ton per tahun. Mayoritas berada di Afrika dan sebagian proyek itu juga berada antara lain di Jawa dan Kalimantan. Padahal, bersama China, Indonesia telah menandatangani Kesepakatan Paris yang bertekad mengurangi emisi global untuk mengendalikan dampak perubahan iklim.
Global Development Policy Center, pusat kajian di Universitas Boston, Amerika Serikat, menyebutkan, seluruh PLTU batubara akan menghasilkan daya 19 gigawatt (GW). Harga yang harus dibayar antara lain tambahan emisi karbon 115 juta ton per tahun.
”Sejumlah pembangkit baru akan beroperasi setelah tahun 2030 dan sangat tidak sesuai dengan upaya global untuk mengendalikan perubahan iklim,” kata Kepala Kajian Batubara pada Global Energy Monitor Christine Shearer sebagaimana dilaporkan kantor berita AFP, Kamis (10/12/2020).
Di bawah Kesepakatan Paris yang ditandatangani pada 2015, China memosisikan diri sebagai pemimpin dalam menangani dampak perubahan iklim. Pada September lalu, Presiden Xi Jinping berjanji akan menjadikan China bebas karbon pada 2060. Namun, China terus memacu proyek batubara luar negeri sebagai bagian strategi meningkatkan pembangunan dan pengaruh globalnya, Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI), senilai triliun dollar AS.
Terkait dengan itu, Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim mendesak dunia agar mengurangi penggunaan PLTU batubara menjadi maksimum 33 persen pada 2030 dan sepenuhnya dihentikan pada 2050. Ini untuk mengurangi pemanasan global hingga di bawah 2 derajat celsius dan jika memungkinkan hingga di bawah 1,5 derajat celsius.
Sejauh ini, PLTU batubara masih menjadi salah satu andalan sumber energi. Dalam Statistical Review of World Energy 2020 yang disusun British Petroleum, tercantum seluruh Eropa mendapatkan 768,1 terawatt per jam (TWh) dari PLTU batubara.
Adapun AS mendapatkan 1.053 TWh, China 4.853 TWh, Jepang 326 TWh, Korea Selatan 238 TWh, seluruh Afrika 253 TWh, dan Indonesia 177 TWh dari PLTU batubara. Bahkan, 149 TWh dari 265 TWh total konsumsi listrik Australia pada 2019 dipasok PLTU batubara.
Dalam laporan Nikkei, 110 dari 140 PLTU batubara di Jepang tidak mangkus dan karena itu akan segera dihentikan operasinya. Sementara Carbon Tracker Initiative menemukan, sebanyak 46 persen dari 6.696 PLTU batubara di sejumlah negara merugi pada 2020. Bahkan, lebih dari separuh PLTU batubara China juga merugi.
”Pembangkit listrik bertahan puluhan tahun dan butuh lama untuk balik modal. PLTU batubara mana pun yang dibangun sekarang, yang paling efisien sekalipun, berisiko menjadi tak layak secara ekonomis sebelum bisa balik modal,” kata pengajar kebijakan publik di Blavatnik School of Government pada Universitas Oxford, Inggris, Thomas Hale.
Terus membangun
Sekalipun Xi telah berjanji untuk ”menggalang kerja sama yang terbuka, hijau, dan bersih” di bawah rencana BRI, tetapi bank-bank China tetap melanjutkan pembiayaan proyek batubara mereka. Meski merugi, China justru terus membangun PLTU batubara di dalam dan mendanai proyek serupa di luar negeri. Bahkan, cadangan batubara di China 3,5 kali lipat dari cadangan batubara Indonesia pada 2019.
”Bagi negara kaya batubara, mustahil sama sekali melarang untuk menggunakannya. Kuncinya adalah bagaimana menggunakan itu secara bertanggung jawab,” kata Yu Zirong, Wakil Direktur Chinese Academy of International Trade and Economic Cooperation.
Universitas Boston mencatat, China mengeluarkan sedikitnya 57,9 miliar dollar AS untuk mendanai pembangunan lebih dari 200 PLTU batubara di banyak negara pada 2000-2018. Hingga 73 persen dana itu dikeluarkan Bank Pembangunan China, Bank Exim China, dan Bank Pembangunan Pertanian China.
Pada PLTU yang sudah beroperasi, emisi karbon yang dihasilkannya mencapai 235 juta ton per tahun. Jika seluruh PLTU batubara yang didanai China beroperasi pada 2030, total emisi karbonnya paling sedikit 433 juta ton per tahun. Proyek itu antara lain berada di Afrika. Paling tidak 13 PLTU batubara tengah dibangun di Afrika dengan dana dari China.
Di Zimbabwe, China terlibat dalam proyek PLTU batubara Sengwa. PLTU di taman nasional itu akan menghasilkan 2.800 MW dengan nilai kontrak 3 miliar dollar AS. China Gezhouba Group, yang sebagian sahamnya dimiliki Pemerintah China, akan membangun dan menyediakan sebagian dana proyek di Zimbabwe.
”Penyelesaian proyek-proyek ini akan membuat Zimbabwe memenuhi kebutuhan energi. Hal yang sangat dibutuhkan suatu negara dalam pembangunannya dan menunjukkan arti kerja sama,” kata Duta Besar China untuk Zimbabwe Guo Shaochun.
Investasi langsung China ke Indonesia pada 2018 mencapai 2,4 triliun dollar AS, berada di urutan ketiga setelah Singapura dan Jepang. Selama semester I-2020, investasi China naik 9 persen dari periode sama 2019. Investasi itu pada 2018 antara lain untuk PLTU batubara, sebagai bagian dari komitmen China mendanai hingga 35,9 miliar dollar AS untuk proyek PLTU batubara dengan total kapasitas 102 GW di lebih dari 27 negara (www.ieefa.org).
Universitas Boston menemukan, semakin banyak lembaga keuangan mengurangi pendanaan untuk PLTU batubara sejak 2013. Karena itu, banyak negara beralih pada dukungan dana dari China. ”Bank-bank China sendirian dalam pendanaan di dalam dan luar negeri,” kata Shearer.
Sejumlah perusahaan AS, Eropa, Korsel, dan Jepang juga telah berjanji akan berhenti terlibat di proyek terkait batubara sebagaimana yang dijalankan China ini. Bahkan, Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB), yang didirikan China, berulang kali mengatakan, takkan mendanai proyek energi fosil. Hasil penyelidikan Recourse, diketahui AIIB tetap berinvestasi pada proyek energi fosil secara tidak langsung.
Kementerian Lingkungan China telah membentuk komisi untuk mengevaluasi laporan tentang dampak lingkungan proyek Beijing di luar negeri.