Kotoran ternak bisa diolah menjadi sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Pengembangan biogas cocok untuk wilayah perdesaan dan mengurangi ketergantungan pada elpiji atau minyak tanah.
Oleh
ARIS PRASETYO/KRIS RAZIANTO MADA/ISMAIL ZAKARIA
·5 menit baca
Saharuddin (40) tidak yakin kapan terakhir kali mengisi ulang tabung gas elpiji ukuran 3 kilogram di rumahnya. Sudah berbulan-bulan, warga Desa Pesanggrahan, Kecamatan Montong Gading, Lombok Timur, itu memasak menggunakan gas dari kotoran sapi. Dia bukan satu-satunya pengguna bahan bakar yang dikenal sebagai biogas itu.
”Saya termasuk yang terlambat menggunakan biogas. Padahal, saya sudah lama punya sapi. Selama ini, kotorannya kurang dimanfaatkan,” ujar Saharuddin pada akhir Januari 2021 saat dijumpai di rumahnya.
Sejak 2012, Nusa Tenggara Barat sudah mulai mengenal biogas sebagai bahan bakar alternatif ramah lingkungan. Dengan lebih 1 juta ekor sapi dan 125.122 ekor kerbau pada 2020, total bisa dihasilkan 18 ton kotoran per hari. Jika diolah menjadi biogas, NTB bisa mendapat rata-rata 650.000 meter kubik gas metana setiap hari.
Memang, baru sebagian kotoran ternak dijadikan biogas. Sampai 2020 tercatat sedikitnya 6.100 reaktor biogas di seluruh NTB. ”Pembuatan reaktor butuh biaya lumayan besar, untung warga dapat bantuan,” kata Kepala Desa Pesanggrahan Badrun.
Untuk setiap unit reaktor dibutuhkan lahan rata-rata 3 x 7 meter. Di lahan itu dibangun tangki bawah tanah yang membutuhkan biaya rata-rata Rp 8,5 juta. Umumnya, reaktor biogas dibangun berdekatan dengan kandang ternak sapi warga.
Selama ada kotoran sapi, tetap ada bahan bakar. Tidak perlu khawatir sewaktu-waktu kehabisan gas.
Dengan konsumsi rata-rata 1,5 tabung per pekan dan harga isi ulang rata-rata Rp 25.000 per tabung elpiji 3 kilogram, dana pembangunan tangki bisa dipakai membeli elpiji untuk 4 tahun. Sementara jika dijadikan reaktor, warga bisa mendapat bahan bakar sampai 20 tahun. ”Selama ada kotoran sapi, tetap ada bahan bakar. Tidak perlu khawatir sewaktu-waktu kehabisan gas,” kata Saharuddin.
Tak hanya menjadi bahan bakar pengganti elpiji, biogas dari kotoran ternak juga menghasilkan pupuk organik. Setiap kotoran ternak yang diolah dalam reaktor biogas akan menghasilkan sisa atau limbah biogas (bio-slurry). Limbah inilah yang kemudian dimanfaatkan kembali sebagai pupuk organik padat atau cair.
Warga Dusun Bangle, Desa Pasanggrahan, Marzuki (49), adalah salah satu pengguna biogas untuk bahan bakar memasak sekaligus penjual pupuk organik padar dari limbah biogas. Ia memiliki reaktor biogas berukuran 6 meter persegi yang dibangun sejak 2015. Dari kotoran sapi dua ekor miliknya, setiap bulan dihasilkan 200 kilogram pupuk organik limbah biogas.
”Pupuk organik ini saya jual Rp 1.000 per kilogram. Terkadang saya pakai sendiri untuk menyuburkan tanah. Tanaman dengan pupuk organik ini berkualitas lebih bagus dan bebas zat kimia,” ucap Marzuki.
Technical Field Assistant Yayasan Rumah Energi di wilayah Nusa Tenggara Barat, Krisna Wijaya, mengatakan, program pengembangan biogas sebenarnya diawali di Pulau Sumbawa untuk area Nusa Tenggara Barat. Namun, pengembangan lantas dialihkan ke Lombok lantaran sapi di Sumbawa dilepasliarkan oleh pemiliknya. Pemanfaatan kotoran sapi untuk biogas harus sapi yang di kandang, bukan dilepasliarkan.
”Dipilih Lombok dengan membuat reaktor percontohan pada 2010 dan dilanjutkan kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat pada 2012. Awalnya ada 1.000 unit reaktor biogas di NTB dan sekarang bertambah menjadi sekitar 5.200 unit,” kata Krisna.
Yayasan Rumah Energi adalah lembaga nirlaba dengan program memberikan akses energi bersih bagi masyarakat Indonesia. Lembaga ini sekaligus pelaksana Program Biogas Rumah Tangga (Biru) yang diinisiasi Hivos bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sejak 2009. Saat ini, program Biru telah menyasar 12 provinsi di seluruh Indonesia.
”Hingga Januari 2020, program Biru sudah berhasil mengerjakan 25.184 unit reaktor biogas di seluruh Indonesia. Sebanyak 119.266 kelurga yang mendapat manfaat dari program ini,” ucap Communication & Stakeholder Relation Yayasan Rumah Energi Annisa A Hanifa.
Tenaga surya
Tak hanya memanfaatkan kotoran ternak, sumber energi terbarukan dari tenaga surya juga menghidupi ratusan orang di Desa Sambik Elen, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Pada 2017, di Dusun Pegadungan, Desa Sambik Elen, dibangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) hasil dari kerja sama GIZ dari Jerman dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Kapasitas terpasang PLTS tersebut sebesar 30.000 watt peak (Wp).
Hampir 120 rumah menikmati aliran listrik dari PLTS Sambik Elen tersebut. Setiap rumah dipungut iuran Rp 10.000 tiap bulan. Biaya tersebut jauh lebih murah saat warga masih menggunakan pelita berbahan bakar minyak tanah sebagai penerangan. Seharga Rp 15.000 per liter, minyak tanah tersebut hanya cukup untuk seminggu sebagai bahan bakar pelita.
”Sejak PLTS ini beroperasi, anak-anak sekolah di dusun kami bisa belajar pada malah hari. Sebelumnya, susah sekali belajar menggunakan pelita dari minyak tanah. Selain cahayanya remang-remang, wajah anak-anak kerap hangus terkena jelaga,” kata Kepala Dusun Pegadungan Muliadi.
Sayangnya, saat terjadi gempa bumi di Lombok pada 2018 lalu, sebagian komponen pada bangunan kontrol PLTS rusak. Namun, PLTS tersebut masih bisa beroperasi kendati tidak optimal. PLTS tersebut bahkan diandalkan warga korban gempa untuk mengisi ulang daya baterai telepon selulernya. Pasalnya, pasokan listrik PLN terputus saat terjadi gempa.
Di seluruh Lombok, kapasitas terpasang PLTS mencapai 20 megawatt (MW). Selain itu, ada pula Pembangkit Listik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Cakra, Sesaot, Pengga, Kukusan, Karang Bayan, Narmada, Santong, dan Batu Bedil yang dikelola PLN. Ada juga Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Koko Putih dan Segara. Total daya mampu dari PLTMH dan PLTA di Lombok mencapai 17,7 MW.
”Impor bahan bakar di Lombok bisa dikurangi karena penggunaan sumber energi terbarukan. Lombok selama ini mengandalkan pasokan bahan bakar dari luar pulau,” kata Kepala Seksi Energi Baru dan Terbarukan pada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral NTB Niken Arumdati. (RAZ/APO/ICH/ZAK)