Memelihara Ternak, Memetik Si Api Biru Biogas di Malang
Ribuan keluarga di Kabupaten Malang telah merasakan energi alternatif biogas dari kotoran ternak. Sebagian dari reaktor biogas itu diwujudkan melalui sistem kredit, bekerja sama dengan koperasi.
Seperti hari biasa, Selasa (16/2/2021) siang, Roidah (35) memasak di dapur. Di atas kompor yang tak lagi baru dengan nyala api biru, sepanci tahu susu perahan sapi ternak sendiri tak lama lagi matang.
Di sisi luar dapur, sang suami bersemangat memberi makan sapi-sapi yang kini bertambah menjadi lima ekor. Satu ekor di antaranya anakan (pedet) yang baru lahir beberapa hari lalu.
Tujuh tahun terakhir warga Dusun Bendrong, Desa Argosari, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu telah berhenti menggunakan kayu bakar dan elpiji. Sumber energi yang digunakan memasak Roidah murni menggunakan biogas.
Dari kotoran sapi perah miliknya itulah, gas metana (CH4) dijaring dan dialirkan ke kompor. Awalnya, Roidah menggunakan reaktor atau digester berbahan plastik sebelum akhirnya diganti dengan semen.
Reaktor permanen itu diletakkan di bawah kandang yang ada di samping dapur. Wujudnya mirip septic tank rumah tangga pada umumnya. ”Setelah pakai biogas, tidak pernah beli elpiji lagi. Ini juga bisa untuk lampu,” ujar Roidah menunjuk sebuah lampu biogas tergantung di dinding.
Roidah bukan satu-satunya warga Bendrong yang telah merasakan energi alternatif. Ada ratusan warga lainnya yang juga merasakan hal serupa. Bendrong sendiri merupakan salah satu dusun yang lokasinya berada di kaki Pegunungan Tengger—tidak jauh dari Taman Nasional Bromo, Tengger, Semeru—di sisi timur laut Kabupaten Malang.
Dari penelusuran Kompas, jumlah digester di dusun ini mencapai 234 unit. Sebuah jumlah yang besar untuk ukuran dusun yang lokasinya terpencil. Namun, karena digester itu berbahan plastik, maka usianya tidak tahan lama. Hanya sekitar lima tahun, setelah itu rusak.
Sejak tahun 2012, warga perlahan-lahan mulai mengganti bahan yang semula plastik itu dengan semen. Kondisi ekonomi warga yang terbatas membuat proses peralihan dari plastik menjadi semen tidak bisa berlangsung cepat. Selain beternak, sebagian warga merupakan petani.
Saat ini, jumlah reaktor permanen dari semen baru 157 unit. Satu reaktor rata-rata dipakai satu orang dan hanya ada empat unit dipakai secara komunal oleh dua hingga empat keluarga.
Baca juga: Pemanfaatan Biogas Masih Minim?
Ketua Kelompok Tani Usaha Maju Dusun Bendrong sekaligus penggagas biogas di tempat itu, Muhammad Slamet (47), menuturkan, biogas di dusunnya ada sejak 2008 dan terus berkembang.
Berbeda dengan daerah lain yang banyak melibatkan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), pengembangan biogas di Bendrong lebih condong ke swadaya warga. Sebagian besar warga membangun digester dengan cara bermitra, meminjam dana (kredit) dari koperasi. Mereka melunasi dengan cara menyetor susu ke koperasi.
”Biasanya yang berani ambil kredit dari koperasi adalah warga yang punya sapi di atas lima ekor. Kalau kurang dari lima ekor, mereka tidak berani. Pasalnya, hasil penjualan susu masih dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidup,” ujarnya.
Menurut Slamet, warga yang belum memiliki reaktor atau belum mampu mengganti digester otomatis kembali menggunakan elpiji. Selama ini mereka tidak berani memaksakan diri kredit, khawatir ekonomi keluarga terganggu. Biaya pembuatan satu reaktor digester Rp 8 juta-Rp 25 juta per unit tergantung kapasitas.
Potensi biogas di Bendrong cukup besar. Saat ini ada sekitar 500 keluarga dengan jumlah keluarga peternak 360, yang 154 di antaranya sudah mengolah kotoran sapinya. Selain lokasi pekarangan rumah warga yang sempit, masalah finansial menjadi kendala.
Penerapan biogas ini menjadikan Bendrong sebagai dusun menuju mandiri energi dan telah beberapa kali menyabet penghargaan bidang lingkungan tingkat nasional, karena konservasi hijau yang mereka lakukan.
Pemanfaatan biogas tidak hanya menyediakan bahan bakar yang murah dan melimpah bagi warga, tetapi juga solutif atas krisis energi yang ada. Mereka tak perlu khawatir ketersediaan dan harga elpiji di pasaran.
Sebagian besar warga yang selama ini mengandalkan kayu sebagai bahan bakar tak perlu lagi memungut kayu kering atau menebang pohon untuk cadangan sumber energi pemanas.
Sebelum ada pengolahan biogas, kotoran ternak di dusun—yang berjarak tempuh sekitar 21 kilometer dari Kota Malang—itu kerap memunculkan masalah tersendiri. Kotoran ternak yang mengalir ke pekarangan tetangga ketika musim hujan bisa memunculkan konflik sosial.
Bendrong bukan satu-satunya dusun di Kabupaten Malang yang telah menggali potensi lokal menjadi energi alternatif. Daerah lain yang banyak memiliki rumah tangga pengguna biogas bisa ditemukan di Kecamatan Ngantang—yang ada di sisi barat laut Kabupaten Malang.
Baca juga: Bergantung dan Bertarung untuk Energi Terbarukan
Co-Dairy Development Sharing Project KUD Sumber Makmur Ngatang Mukhlis Khairi mengatakan, jumlah reaktor di Ngantang mencapai 1.508 unit. Digester itu tersebar di 13 desa, terbanyak ada di Pagersari (242 unit), Sidodadi (205), Waturejo (204), Banjarejo (144), dan Jombok (172).
Menurut Mukhlis, 1.508 digester tersebut merupakan reaktor yang dibangun oleh KUD dengan peternak yang menjadi mitra. Di luar mitra KUD masih banyak, baik itu reaktor yang dibangun menggunakan dana warga sendiri, dana hibah dari pemerintah dan badan usaha milik negara, maupun dari CSR swasta.
Adapun reaktor yang dibangun dari hasil kerja sama dengan KUD dilakukan mulai 2010. ”Mekanisme pembiayaannya berasal dari Yayasan Rumah Energi dan PT Nestle Indonesia. Mereka menyediakan subsidi Rp 4,5 juta-Rp 5 juta per user (pemakai). Sisa pembiayaan pembuatan reaktor dipinjami oleh KUD. Peternak mengangsur pembiayaan tersebut melalui susu segar,” ujarnya.
Menurut Mukhlis, populasi sapi perah di Ngantang mencapai 13.213 ekor. Jika setiap ekor mengeluarkan kotoran 10-13 kilogram per hari, ada 171.769 kg limbah sapi yang dihasilkan per hari. Sementara setiap reaktor biogas rata-rata membutuhkan 80 kg kotoran sapi per hari.
Jika di Kecamatan Ngantang terdapat 1.508 reaktor, rata-rata kotoran yang terkurangi mencapai 120.640 kg per hari. Angka ini ekuivalen dengan 70-75 persen total limbah yang terserap menjadi energi dan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Menurut Mukhlis, lahan menjadi salah satu kendala dalam pengembangan biogas di Ngantang. Masih ada peternak yang tidak memiliki lahan. Kondisi rumah dan kandang kebanyakan berdekatan dengan rumah tetangga.
”Sejauh ini pemanfaatan 90 persen untuk memasak. Untuk penerangan, mulai 2012 kami sudah memperkenalkan lampu biogas. Cuman karena ada listrik akhirnya lampu belum begitu perlu. KUD sendiri berharap, khusus untuk kandang tetap menggunakan lampu biogas,” katanya.
Potensi biogas di Kabupaten Malang memang cukup besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, jumlah sapi di Kabupaten Malang tahun 2019 mencapai 238.282 ekor untuk sapi potong dan 86.058 ekor untuk sapi perah. Jumlah sapi perah di Malang terbesar kedua di Jawa Timur setelah Kabupaten Pasuruan.
Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Malang Renung Rubyartaji mengatakan, menurut informasi yang pihaknya terima, saat ini jumlah digester di Kabupaten Malang mencapai 5.000 unit.
Perkembangan biogas di Malang, menurut Renung, tidak lepas dari peran pemerintah, program lembaga asing, koperasi, swasta, dan swadaya warga sendiri. Adapun tiga tahun terakhir, Pemerintah Kabupaten Malang membangun biogas memanfaatkan dana bagi hasil cukai.
Dana itu tidak hanya dimanfaatkan untuk biogas berbahan kotoran ternak, tetapi juga limbah industri tahu dalam rangka menghindari pencemaran. ”Ada sekitar 40 reaktor biogas komunal berbahan semen yang dibangun per tahun dari dana bagi hasil cukai ini,” katanya.