Junta Militer Myanmar Bayar 2 Juta Dollar AS kepada Pelobi Israel-Kanada
Junta militer Myanmar membayar 2 juta dollar AS kepada kelompok pelobi Israel-Kanada untuk mewakilinya dan membersihkan citranya di komunitas internasional.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
WASHINGTON, RABU — Junta militer Myanmar membayar kelompok pelobi milik warga berkebangsaan Israel-Kanada yang berbasis di Montreal, Kanada, sebesar 2 juta dollar AS atau sekitar Rp 28 miliar untuk mewakilinya dan ”membantu menjelaskan situasi sesungguhnya” kudeta militer di Myanmar kepada dunia. Mantan pejabat senior Departemen Keuangan AS menyebut, kontrak kerja sama kedua pihak itu bisa termasuk pelanggaran atas UU di AS.
Nilai kontrak yang disepakati junta militer Myanmar dan pelobi Ari Ben-Menashe, pemilik perusahaan Dickens & Madson Canada, tersebut terungkap dari dokumen yang dilaporkan ke Departemen Keuangan AS, Rabu (10/3/2021). Dalam dokumen lain yang diserahkan Ben-Menashe, diketahui bahwa kesepakatan telah dicapai dengan menteri pertahanan junta, Jenderal Mya Ton Oo, pada 4 Maret 2021.
Berdasarkan dokumen perjanjian konsultasi yang ada di Departemen Kehakiman Amerika Serikat, Ari Ben-Menashe dan perusahaannya, Dickens & Madson Canada, akan mewakili pemerintahan militer Myanmar di Washington, melobi Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Israel, dan Rusia, serta badan-badan dunia, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Situasi di Myanmar pascakudeta militer yang menahan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dan sejumlah tokoh politik pada awal bulan lalu semakin kacau. Tindakan militer ini memicu gelombang pembangkangan sipil dan demonstrasi prodemokrasi. Lebih dari 60 orang tewas oleh tindakan brutal aparat keamanan dalam membubarkan unjuk rasa. Selain itu, hampir 2.000 orang juga telah ditahan aparat Myanmar.
Dalam dokumen perjanjian antara junta Myanmar dan Ben-Menashe yang ada di Departemen Kehakiman AS disebutkan bahwa Dickens & Madson Canada akan ”membantu merancang dan mengeksekusi kebijakan pembangunan yang menguntungkan bagi Myanmar serta membantu menjelaskan situasi sesungguhnya di negara tersebut”.
Langkah junta Myanmar merekrut kelompok pelobi untuk mewakilinya di dunia internasional tidak bisa dilepaskan dari dualisme perwakilan tetap negara itu di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, AS. Dubes Kyaw Moe Tun menyatakan dirinya diangkat oleh Presiden Win Myint saat itu—dan hingga kini tetap menjadi presiden Myanmar yang dipilih secara sah—dan oleh Menteri Luar Negeri Aung San Suu Kyi pada 4 September 2020.
Namun, melalui surat berkop Kementerian Luar Negeri Myanmar tanpa tanda tangan yang dilayangkan kepada PBB, junta militer Myanmar menyebutkan semua tugas dan tanggung jawab Kyaw Moe Tun sudah dicabut sejak 27 Februari lalu sehingga tidak lagi boleh diakui akreditasinya di Majelis Umum PBB. Junta menunjuk Wakil Duta Besar Myanmar untuk PBB Tin Maung Naing sebagai penggantinya. Namun, Tin Maung Naing kemudian mengundurkan diri, Kamis (4/3/2021).
Selain itu, Kedutaan Besar Myanmar untuk AS di Washington dan perwakilan kedutaan untuk Inggris di London juga memberi sinyal menentang kudeta militer. Pekan lalu, Kedutaan Besar Myanmar untuk AS di Washington DC mengeluarkan pernyataan resmi tertulis berisi ungkapan penyesalan dan kecaman atas meninggalnya warga sipil dalam unjuk rasa antikudeta militer. Perwakilan Myanmar untuk AS itu meminta otoritas junta untuk menahan diri.
Kemudian, Selasa kemarin, seperti dilaporkan media Global New Light of Myanmar, duta besar Myanmar untuk Inggris ditarik setelah menyerukan pembebasan Suu Kyi dan Presiden Myanmar Win Myint. Dia ”gagal menjalankan tugas yang diberikan” dan ditarik pulang, demikian tulis media itu, Rabu (10/3/2021).
Di tengah ”pembelotan” beberapa perwakilan diplomatiknya tersebut, junta Myanmar merekrut pelobi Ben-Menashe untuk mewakili mereka menjelaskan situasi di Myanmar kepada dunia internasional. Saat dimintai konfirmasi melalui sambungan telepon, juru bicara pemerintahan militer Myanmar tidak menjawab panggilan.
Ben-Menashe mengatakan, pihaknya telah diberi tugas untuk meyakinkan AS bahwa para jenderal Myanmar ingin mendekat ke Barat dan menjauh dari China. Ia juga mengatakan, para jenderal ingin memukimkan kembali Muslim Rohingya yang mengungsi akibat serangan militer tahun 2017 yang dituduh oleh PBB sebagai genosida.
”Sangat tidak masuk akal bahwa dia mampu meyakinkan AS dengan narasi yang ia sodorkan,” kata John Sifton, Direktur Advokasi Asia di lembaga Human Right Watch.
Pelanggaran
Mya Tun Oo dan sejumlah perwira tinggi Myanmar lainnya telah dijatuhi sanksi oleh Departemen Keuangan AS dan Pemerintah Kanada sehingga dokumen itu menyatakan bahwa pembayaran akan dilakukan ”jika dimungkinkan secara hukum”. Selain itu, Ben-Menashe juga bisa jadi melanggar aturan terkait sanksi AS terhadap sejumlah jenderal Myanmar.
”Sepanjang dia memberikan layanan terhadap pihak-pihak yang dijatuhi sanksi AS tanpa izin, itu akan terlihat sebagai pelanggaran hukum AS,” kata Peter Kucik, mantan penasihat senior sanksi pada Departemen Keuangan AS. Departemen Keuangan AS tidak memberikan tanggapan soal itu.
Ben-Menashe mengatakan, dirinya telah menerima nasihat hukum bahwa ia akan butuh lisensi dari Kantor Pengawasan Aset Asing (OFAC) dan Pemerintah Kanada untuk menerima pembayaran. Dia yakin dirinya tidak akan melanggar hukum dengan menjadi pelobi junta.
”Ada masalah teknis di sini, tetapi kami menyerahkannya kepada para pengacara dan OFAC untuk menyelesaikannya,” ujar Ben-Menashe.
Kontroversi
Ben-Menashe, yang menggambarkan dirinya sebagai mantan perwira intelijen Israel, telah terlibat dalam sejumlah kontroversi. Ia pernah ditangkap pada akhir 1980-an atas tuduhan AS bahwa dirinya menjual pesawat militer ke Iran. Kasus ini dibawa ke pengadilan, tetapi ia kemudian dibebaskan.
Pada awal tahun 2000-an, dia juga merupakan tokoh kunci dalam kasus pengkhianatan yang diajukan terhadap pemimpin oposisi Zimbabwe. Tahun 2019, perusahaan milik Ben-Menashe menandatangani kesepakatan 1 juta dollar AS untuk melobi presiden Tunisia yang dipenjara.
Dia juga terlibat dalam skandal di Kanada yang berujung pada mundurnya ketua komite parlemen yang bertanggung jawab mengawasi badan intelijen negara itu. (REUTERS/AFP)