Pola Baru Hubungan AS-Arab Saudi
Tampilnya Joe Biden sebagai Presiden Ke-46 AS membawa perubahan dalam pola hubungan AS-Arab Saudi. Isu penegakan HAM kini menjadi aturan main yang baru dalam hubungan dua negara itu.
Tampilnya Joe Biden dari Partai Demokrat sebagai Presiden Ke-46 Amerika Serikat (AS) mengantarkan akan terjadinya babak baru hubungan AS-Arab Saudi. Lahirnya babak baru hubungan kedua negara, yang dikenal sebagai dua mitra strategis sejak 1945, sudah terbaca sejak Biden menjadi kandidat presiden pada masa kampanye pemilu.
Pada masa kampanye itu, Biden kerap meniupkan isu pentingnya penegakan HAM jika ia terpilih menjadi presiden AS. Biden juga sering mengritik perang di Yaman yang membawa bencana kemanusiaan. Ia pun berjanji akan mengakhiri perang Yaman bila ia terpilih. Pada saat itu, sejumlah pengamat memprediksi, akan ada babak hubungan baru AS-Arab Saudi, jika Biden terpilih sebagai orang nomor satu di AS.
Baca juga: AS Pilih Kompromi Terkait Khashoggi
Perang Yaman dikobarkan Arab Saudi tahun 2015 untuk menaklukkan loyalis Iran di Yaman, kelompok Houthi yang menguasai ibu kota Sana’a. Perang Yaman menjadi bagian dari pertarungan geopolitik Iran-Arab Saudi saat ini.
Isu HAM, yang dikumandangkan Biden sejak kampanye, juga dinilai akan menohok hubungan AS-Arab Saudi. Terkait hal itu, kasus tewasnya kolumnis The Washington Post asal Arab Saudi, Jamal Khashoggi, di Istanbul, Oktober 2018, yang dilakukan aparat keamanan Arab Saudi masih menghantui Riyadh selama ini. Dengan kecaman internasional yang mengiringi, kasus itu bak duri dalam daging bagi Arab Saudi.
Belum lagi Pemerintah Arab Saudi sering mendapat kritikan dari penggiat HAM internasional terkait penangkapan para aktivis kritis di dalam negeri Arab Saudi, dari kalangan ulama maupun cendekiawan.
Baca juga: Persoalan HAM Arab Saudi Jadi Tantangan Biden
Segera setelah dilantik sebagai presiden AS pada 20 Januari lalu, Biden tidak membutuhkan waktu lama untuk melaksanakan janji-janjinya dalam kampanye pemilu, membuat ada dinamika baru terkait hubungan AS-Arab Saudi saat ini. Hanya butuh waktu 15 hari, yakni pada 4 Februari lalu, Biden mengumumkan bahwa AS menghentikan dukungan atas Arab Saudi dalam perang Yaman. Ia menyatakan, Washington ingin perang Yaman segera berakhir.
Kemudian pada 16 Februari 2021, AS mengumumkan secara resmi mencabut kelompok Houthi dari daftar organisasi teroris. Bukan itu saja, Utusan khusus AS untuk Yaman, Timothy Lenderking, seperti dilansir televisi Al Jazeera bahkan menggelar pertemuan rahasia dengan petinggi Houthi, Muhammad Abdussalam, pada 26 Februari lalu di kota Muscat, Oman, dalam upaya mencari solusi politik di Yaman.
Baca juga: AS Berhenti Dukung Saudi, Biden Ingin Perang Yaman Berakhir
Sejak meletus tahun 2015, Perang Yaman telah membawa bencana kemanusiaan terburuk di muka bumi saat ini. Lebih dari 24 juta penduduk Yaman kini membutuhkan bantuan kemanusiaan akibat perang itu.
Bersamaan dengan perundingan rahasia AS-Houthi tersebut, Badan Pusat Intelijen AS (CIA) pada 26 Februari lalu secara mengejutkan merilis hasil investigasinya dalam kasus tewasnya Khashoggi. Semula hasil investigasi CIA itu dilarang dirilis ke publik pada masa Presiden Donald Trump. Biden, yang mengalahkan Trump dalam pemilu 20 November lalu, memutuskan hasil investigasi CIA itu dibeberkan ke publik. Hasil investigasi CIA tersebut cukup mengejutkan: Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) mengetahui dan menyetujui pembunuhan Khashoggi.
Baca juga: AS Rekalibrasi Relasi dengan Arab Saudi
Bagi Arab Saudi, kebijakan pemerintah Biden terkait isu Yaman dan kasus Khashoggi ini ibarat petir di siang bolong. Riyadh segera menyadari bahwa era hubungan AS-Arab Saudi sudah berubah. Arab Saudi, yang mendapat perlakuan dan perlindungan khusus AS pada era Trump, berubah menjadi negara biasa yang tidak lagi mendapat perlakuan istimewa AS para era Biden.
Pola baru
Konferensi pers yang disampaikan juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price, Senin (1/3), merupakan garis besar pola baru hubungan AS- Arab Saudi ke depan. Price menegaskan, hubungan AS-Arab Saudi saat ini dan ke depan didasarkan pada pertimbangan kepentingan kedua negara dan nilai-nilai luhur yang dijunjung AS. Dua hal, yakni “kepentingan dan nilai-nilai luhur”, menjadi kunci pola baru relasi AS-Arab Saudi saat ini dan mendatang.
Pemerintahan Biden tampak bertekad ingin membangun hubungan baru bilateral AS-Arab Saudi dengan berpijak pada filosofi dua prinsip sekaligus, yaitu kepentingan dan nilai-nilai luhur secara berimbang. Inilah aturan main yang baru dalam hubungan AS-Arab Saudi.
Baca juga: Arab Saudi Harus Ubah Strategi Hubungan dengan AS
Atas dasar itu, Price juga menegaskan, meskipun AS saat ini tidak memberi sanksi langsung kepada MBS atas keterlibatannya terhadap kasus tewasnya Khashoggi, AS sangat tidak menginginkan kasus Khashoggi terulang lagi pada masa mendatang. Penegasan Price tersebut merupakan peringatan keras, sekaligus lampu kuning dari AS kepada Arab Saudi.
Kesediaan AS berkompromi dengan tidak memberi sangsi langsung atas MBS diperkirakan terkait pertimbangan kepentingan besar AS terhadap Arab Saudi. AS masih sangat butuh Arab Saudi dalam perang melawan teroris, membendung pengaruh Iran, mencari solusi politik di Yaman, sebagai mitra mencari solusi politik konflik Israel-Palestina, serta terciptanya keseimbangan harga minyak mentah dunia. Washington juga butuh Arab Saudi sebagai pasar terbesar produk senjata buatan AS. Hampir 90 persen mesin militer Arab Saudi adalah buatan AS.
Baca juga: AS Tekan Arab Saudi agar Bubarkan Unit Pasukan Khusus di Bawah Kendali MBS
Namun, jika Arab Saudi tidak mengindahkan peringatan AS tersebut, sikap kompromi AS tidak akan berlaku lagi yang berakibat hubungan kedua negara akan terganggu dan bisa menggoyang sendi-sendi eksistensi negara Arab Saudi. AS perlu memberi peringatan keras karena khawatir Arab Saudi mengulang lagi kasus Khashoggi mengingat masih banyak tokoh-tokoh oposisi Arab Saudi tinggal di luar negeri, seperti di AS, Kanada, dan Eropa.
Di antara tokoh oposisi Arab Saudi yang sekelas atau bahkan lebih berat kelasnya dari Khashoggi adalah Saad al-Jabri yang kini bermukim di Kanada. Jabri, mantan pejabat teras dinas intelijen Arab Saudi, pernah menuduh MBS mengirim 50 regu tembak ke Kanada untuk membunuhnya. AS tentu tidak menginginkan kasus Khashoggi terulang menimpa pada Jabri atau tokoh oposisi Arab Saudi lainnya.
Baca juga: Putra Mahkota Arab Saudi Dituntut di AS, Dituduh Kirim Tim Pembunuh ke Kanada
Dalam kasus Khashoggi, AS saat ini hanya mencukupkan memberi sanksi kepada oknum-oknum barisan kelas dua dan tiga, yakni menetapkan 76 warga Arab Saudi dalam daftar hitam, yang dilarang masuk ke AS, dan membekukan aset mereka di AS. Itu pun AS tidak mengungkap nama-nama 76 warga Arab Saudi tersebut.
HAM untuk keamanan
Meski masih berkompromi dengan Arab Saudi terkait kasus Khashoggi, AS telah meletakkan fondasi baru hubungan AS- Arab Saudi pada era Presiden Biden, yakni keamanan dengan imbalan penegakan HAM di Arab Saudi. Seperti disampaikan Price, Senin pekan lalu, AS telah mengokohkan aturan main baru dalam hubungan AS-Arab Saudi. Pernyataan Price bahwa AS menekankan pentingnya membangun keseimbangan antara kepentingan dan nilai-nilai luhur dalam hubungan AS-Arab Saudi, bisa diterjemahkan sebagai bentuk rumus hubungan baru, yaitu keamanan dengan imbalan penegakan HAM.
Baca juga: Tantangan Joe Biden di Dunia Arab
Rumus baru hubungan bilateral AS-Arab Saudi itu merupakan kesepahaman baru yang harus dihormati oleh kedua negara tersebut. Bagi AS dan Arab Saudi, perubahan pola hubungan kedua negara itu merupakan hal biasa. Mereka biasanya cepat beradaptasi dengan tuntutan baru dalam hubungan kedua negara tersebut. Dalam catatan sejarah hubungan bilateral AS-Arab Saudi, sudah beberapa kali terjadi perubahan pola hubungan kedua negara itu.
Sejarah hubungan strategis AS-Arab Saudi bermula berpijak pada kesepakatan keamanan dengan imbalan minyak. Kesepakatan itu tercapai antara Raja Arab Saudi, Abdul Aziz, dan Presiden AS Franklin D Roosevelt di atas kapal perang USS Murphy di Terusan Suez, Mesir, 14 Februari 1945. Transaksi itu berupa komitmen AS menjamin keamanan Arab Saudi dengan imbalan jaminan suplai minyak dari Arab Saudi ke AS.
Pasca perang Arab-Israel tahun 1973, pola hubungan AS-Arab Saudi mengalami perubahan dalam bentuk transaksi keamanan dengan imbalan harga minyak yang rasional. Transaksi baru AS-Arab Saudi itu terjadi akibat melambungnya harga minyak mentah dari hanya 3 dollar AS per barel menjadi 12 dollar AS per barel pasca embargo minyak Arab atas AS dan negara Barat lain pada perang Arab-Israel tahun 1973.
Pascaserangan teroris atas kota New York dan Washington DC pada 11 September 2001, pola hubungan AS-Arab Saudi berubah lagi dalam bentuk transaksi baru, yaitu keamanan dengan imbalan perang melawan teroris. Arab Saudi mencapai kesepahaman transaksi baru dalam hubungannya dengan AS menyusul sebagian besar atau 15 dari 19 pelaku serangan teroris di New York dan Washington DC adalah warga negara Arab Saudi. Arab Saudi pun lalu terlibat dalam koalisi dengan AS dan negara lain dalam perang melawan teroris.
Kini Presiden Biden meletakkan fondasi baru lagi sebagai pijakan hubungan AS-Arab Saudi, yaitu keamanan dengan imbalan penegakan HAM.