Peran penting dan strategis Arab Saudi di Timur Tengah menjadi pertimbangan Amerika Serikat mengambil sikap atas isu HAM di negeri itu.
Oleh
Musthafa Abd. Rahman, dari Kairo, Mesir
·4 menit baca
KAIRO, KOMPAS — Seperti telah diduga, Pemerintah Amerika Serikat memilih mengambil langkah kompromi dengan sahabat strategisnya di Timur Tengah, Arab Saudi, terkait dengan isu tewasnya kolumnis The Washington Post asal Arab Saudi, Jamal Khashoggi (59). Sebagaimana diberitakan, Khashoggi tewas di kantor konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki, pada Oktober 2018.
Tidak ada yang baru dalam konferensi pers yang disampaikan juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Ned Price, Senin (1/3/2021), di Washington, tentang isu Khashoggi dan masa depan hubungan AS-Arab Saudi. Isinya seperti pengulangan hasil investigasi Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat (CIA) tentang kasus pembunuhan Khashoggi yang dirilis pada Jumat (26/2) lalu.
Hasil paling sensitif dari investigasi CIA adalah Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) diduga kuat mengetahui dan menyetujui pembunuhan Khashoggi. Dokumen CIA menunjukkan, 7 dari 15 anggota tim khusus itu berasal dari unit Pasukan Intervensi Cepat, yang ”dibentuk untuk membela Putra Mahkota” dan ”hanya melaksanakan perintahnya”.
”Kami telah mendesak Arab Saudi untuk membubarkan kelompok ini dan kemudian mengadopsi reformasi kelembagaan untuk memastikan kegiatan operasi antipembangkangan dihentikan sepenuhnya,” kata Ned Price, juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Senin. Dalam konferensi pers itu, Price memang menegaskan bahwa pembunuhan atas Khashoggi adalah brutal dan merupakan tindakan yang tidak dapat diterima.
AS juga menetapkan 76 warga Arab Saudi dalam daftar hitam yang dilarang masuk ke AS dan membekukan aset mereka di AS. Namun, AS tidak mengungkap nama-nama dari 76 warga Arab Saudi tersebut.
Terkait dengan temuan itu, publik di Timur Tengah berharap ada sesuatu yang baru dalam pengumuman resmi sikap AS terkait dengan masa depan hubungan AS-Arab Saudi. Banyak pengamat pun sempat memprediksi akan ada perubahan drastis dalam hubungan AS-Arab Saudi setelah CIA merilis hasil investigasinya itu. Apalagi, hasil investigasi CIA itu diumumkan hanya sekitar dua bulan sejak Joe Biden resmi menjabat Presiden AS.
Akan tetapi, harapan itu seolah bertepuk sebelah tangan. Pernyataan Price dalam konferensi pers terkait dengan isu Khashoggi lebih tampak sebagai sikap dan kewajiban moral Pemerintah AS yang kini dipimpin politisi dari Partai Demokrat yang getol menyuarakan penegakan HAM.
Bagi pemerintah Presiden Biden, kasus Khashoggi yang sarat cacat HAM tidak mungkin lagi ditutupi terus-menerus, seperti yang dilakukan pemerintah Presiden Donald Trump.
Citra Presiden Biden yang pada kampanye pemilu AS lalu selalu mengumandangkan akan menegakkan HAM dan nilai-nilai luhur AS tentu akan ternoda jika harus terus menutupi kasus Khashoggi. Maka, tidak ada pilihan lain bagi Biden, kecuali harus menyampaikan yang benar meskipun pahit sesuai dengan janji-janji kampanyenya pada pemilu AS lalu.
Inilah rasa pahit yang harus ditelan Biden ketika rilis CIA menegaskan bahwa MBS mengetahui dan menyetujui pembunuhan Khashoggi.
Masyarakat internasional sudah mengetahui bahwa CIA telah melakukan investigasi atas kasus Khashoggi, tetapi tidak merilisnya karena mungkin dicegah pemerintah Presiden Trump saat itu.
Kompromi
Meskipun keterlibatan MBS dalam kasus Khashoggi sudah terang benderang sesuai dengan rilis hasil investigasi CIA, Biden memilih tidak memberi sanksi langsung apa pun terhadap MBS. AS juga tidak menjatuhkan sanksi atas negara Arab Saudi.
Hal itu ditunjukkan oleh Price yang menegaskan, AS hanya ingin merumuskan kembali pola hubungan AS-Arab Saudi, bukan bertujuan memutus hubungan dengan Arab Saudi.
Price juga mengatakan, AS hanya ingin kasus Khashoggi tidak terulang lagi pada masa mendatang. Oleh karena itu, tidak terjadi guncangan besar dalam hubungan AS-Arab Saudi setelah CIA merilis hasil investigasinya.
Washington memang tidak menginginkan terjadi guncangan dalam hubungan AS-Arab Saudi karena kepentingan AS terlalu besar atas negara Arab kaya pengekspor minyak mentah terbesar di dunia itu.
AS masih sangat butuh Arab Saudi dalam perang melawan teroris, membendung pengaruh Iran, mencari solusi politik di Yaman, sebagai mitra dalam mencari solusi politik konflik Israel-Palestina, serta terciptanya keseimbangan harga minyak mentah dunia. AS juga butuh Arab Saudi sebagai pasar terbesar produk senjata buatan AS. Hampir 90 persen mesin militer Arab Saudi adalah buatan AS.
Dalam isu HAM pun, AS tampak lebih memilih menempuh pendekatan melakukan komunikasi langsung dengan Arab Saudi untuk memperbaiki kondisi HAM di negara itu, bukan memboikot atau memutus hubungan. Dalam kasus Khashoggi ini, AS terlihat masih melihat nilai strategis Arab Saudi di kawasan. Posisi itu tidak tergantikan dan tidak tergoyahkan oleh kasus besar sekelas kasus Khashoggi.
Itulah pilihan kompromi pemerintah Biden atas MBS. AS hanya meminta Arab Saudi membubarkan unit pasukan elite gerak cepat yang terlibat dalam pembunuhan Khashoggi. Unit elite gerak cepat itu selama ini mendapat misi khusus melindungi keluarga besar Al-Saud, khususnya Raja dan Putra Mahkota Arab Saudi. Unit khusus itu berada di bawah komando langsung Raja Arab Saudi.
Akan tetapi, tampaknya Arab Saudi bakal enggan melaksanakan rekomendasi AS agar unit khusus itu dibubarkan. Alasannya, unit itu merupakan unit kesayangan Raja dan MBS.
Bagi MBS, sikap kompromis AS merupakan kemenangan politik sekaligus lampu hijau dari AS untuk MBS naik takhta sebagai Raja Arab Saudi jika Raja Salman, yang sudah berusia 85 tahun, meninggal. (MHD)