Junta Militer Myanmar Semakin Brutal, 18 Pengunjuk Rasa Tewas dalam Sehari
Aparat junta militer Myanmar mengulangi lagi kekerasan bersenjata yang brutal dan mematikan. Sedikitnya 18 orang ditembak mati dalam unjuk rasa di beberapa kota, kemarin.
Oleh
Luki Aulia dan Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
YANGON, SENIN -- Kekerasan aparat keamanan junta militer Myanmar terhadap massa pengunjuk rasa damai berlanjut dengan semakin brutal, semena-mena, dan tidak terkendali. Sedikitnya 18 pengunjuk rasa dilaporkan tewas dan lebih dari 30 orang terluka akibat ditembak saat massa prodemokrasi kembali berunjuk rasa di sejumlah kota, yakni Dawei, Bago, Mandalay, Myeik, Lashio, Pokokku, dan Yangon, Minggu (28/2/2021).
Dengan itu, jumlah total korban tewas akibat kekerasan aparat junta militer menjadi 21 orang. Dalam unjuk rasa sebelumnya, aparat menembak mati tiga pengunjuk rasa, termasuk seorang gadis, Mya Thwate Thwate Khaing, seusai merayakan ulang tahun ke-20. Militer juga mengatakan, seorang polisi tewas pekan lalu.
Seorang petugas penyelamat, Pyae Zaw Hein, mengatakan bahwa di Dawei, kota di Myanmar selatan, tiga orang tewas ditembak dengan lima peluru tajam. Belasan korban lain terluka akibat tembakan peluru karet.
Dua remaja berusia 18 tahun juga tewas ditembak di kota kecil Bago. Sementara di Yangon, satu pemuda berusia 23 tahun tewas terkena peluru di dada. Para korban adalah generasi muda, masa depan Myanmar.
Kantor Badan Hak Asasi Manusia PBB atau OHCR melaporkan, sedikitnya 18 orang tewas dan lebih dari 30 orang terluka akibat kekerasan bersenjata aparat dalam sehari, kemarin. Aparat tidak saja menembak memakai peluru karet, tetapi juga peluru tajam.
”Kami mengecam keras kekerasan yang meningkat terhadap protes di Myanmar dan menyerukan kepada militer untuk segera menghentikan penggunaan kekuatan terhadap pengunjuk rasa damai,” kata Ravina Shamdasani, juru bicara Kantor Komisioner HAM PBB.
Pemerintah RI sangat khawatir dengan kekerasan di Myanmar dan mendesak aparat keamanan menahan diri. ”Indonesia mendesak aparat keamanan menahan diri dengan tidak menggunakan kekerasan agar tidak jatuh korban lebih banyak,” demikian keterangan tertulis Kementerian Luar Negeri RI.
Menteri Luar Negeri RI, Retno LP Marsudi, Rabu, mengatakan bahwa dirinya telah berbicara intensif dengan militer Myanmar dan perwakilan dari pemerintah sipil Myanmar yang dikudeta junta militer.
Seperti perang
Suasana di berbagai kota di Myanmar digambarkan seperti sedang berperang. Banyak pengunjuk rasa memakai helm untuk melindungi kepala, tetapi ada pengunjuk rasa yang tertembak di kepala setelah peluru menembus helm.
”Myanmar sudah seperti medan peperangan,” tulis petinggi Gereja Katolik Myanmar, Kardinal Charles Maung Bo, di Twitter.
Ada juga wartawan yang dipukuli aparat dan ditahan di kota Myitkyina. Seorang wartawan dilaporkan ditembak dengan peluru karet di kota Pyay. Sedikitnya tujuh wartawan yang sedang meliput unjuk rasa ditahan. Lebih dari 850 orang telah ditahan sejak kudeta militer, 1 Februari lalu. Pada hari Minggu, aparat menangkap ratusan orang lagi.
Pemimpin junta militer, Jenderal Min Aung Hlaing, pada pekan lalu mengatakan, aparat keamanan sudah memakai cara minim kekerasan saat menghadapi pengunjuk rasa. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
”Meningkatnya kekerasan aparat keamanan di berbagai kota ini sudah kelewatan dan tidak bisa dibiarkan,” kata Wakil Direktur Asia Human Rights Watch Phil Robertson.
Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, belum juga muncul di publik sejak dikudeta pada 1 Februari. Junta militer menyatakan kondisi Suu Kyi sehat di rumah.
Proses sidang terhadap Suu Kyi akan digelar, Senin ini, atas kasus kepemilikan alat komunikasi yang dituduh junta militer diperoleh secara ilegal dan melanggar kebijakan pembatasan Covid-19. Pengacara Suu Kyi, Khin Maung Zaw, mengaku belum bisa bertemu Suu Kyi. "Sebagai pengacara, saya percaya pada pengadilan. Tetapi di masa seperti ini apapun bisa terjadi," ujarnya.
Aktivis muda, Esther Ze Naw, menegaskan bahwa rakyat sudah tidak mau hidup di bawah kekuasaan junta militer yang sekarang berusaha menanamkan rasa takut pada rakyat. "Kalau mereka menyerang, kami akan membela diri. Kami tidak akan pernah tunduk pada militer," ujarnya.
Junta militer dinilai semakin represif setelah televisi rezim mengumumkan Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun telah dipecat. Kyaw Moe Tun dituduh telah mengkhianati negara setelah mendesak PBB untuk menggunakan ”segala cara yang diperlukan” untuk memulihkan pemerintahan sipil pimpinan Suu Kyi.
Pemerintah junta militer, Sabtu, mengumumkan memecat perwakilannya di Perserikatan Bangsa-Bangsa karena menyalahgunakan kekuasaan dan berperilaku buruk dengan mengkhianati dan tidak mengikuti instruksi dari pemerintah. Ketika berbicara di Majelis Umum PBB di New York, AS, Duta Besar, Kyaw Moe Tun, mengatakan bahwa ia mewakili pemerintahan sipil Suu Kyi yang dipilih oleh rakyat.
Moe Tun yang tidak mengakui rezim militer itu juga mendukung perjuangan melawan kekuasaan junta militer. Ia mendesak semua negara untuk mengecam Myanmar dan meminta agar ada sikap lebih tegas dari komunitas internasional untuk menghentikan kekerasan aparat keamanan dalam menghadapi pengunjukrasa. (REUTERS/AFP/AP)