Dubes Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun secara dramatis dan mengejutkan berpidato menentang kudeta militer di negaranya dalam sidang Majelis Umum PBB. Ia juga mengangkat tiga jari, simbol perlawanan pada militer.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
NEW YORK, MINGGU — Hampir sebulan pascakudeta militer di Myanmar, perlawanan terhadap junta militer semakin kuat. Tidak hanya di Myanmar, perlawanan itu juga diperlihatkan oleh Duta Besar Myanmar untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Kyaw Moe Tun dalam sidang Majelis Umum di Markas Besar PBB, New York, Jumat (26/2/2021) waktu AS.
Ia menggemakan perlawanan ratusan ribuan warga Myanmar sejak kudeta 1 Februari di markas jantung diplomasi dunia dengan mendesak ”tindakan sekeras mungkin dari komunitas internasional” untuk segera memulihkan demokrasi di Myanmar. ”Saatnya militer segera melepaskan kekuasaan dan membebaskan mereka yang ditahan,” kata Kyaw Moe Tun.
Ia mengawali pidato dengan menyatakan dirinya mewakili pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi yang dipilih oleh rakyat pada pemilu November 2020. ”Kami akan terus melawan demi pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,” ucapnya.
Suara Kyaw Moe Tun bergetar saat mengakhiri pidato, sambil mengangkat salam tiga jari, isyarat simbol perlawanan terhadap junta militer. Pidato Dubes PBB untuk Myanmar itu mengejutkan dan di luar dugaan terjadi pada forum yang dihadiri wakil dari 193 negara anggota PBB. Pidatonya tidak hanya mendapat aplaus, tetapi juga pujian dari para pembicara berikutnya, termasuk oleh para duta besar wakil dari negara- negara Uni Eropa, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan Dubes baru AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield.
Dalam penampilan pertamanya di forum PBB, Thomas-Greenfield menyebut pidato Kyaw Moe Tun sebagai langkah ”tegas”, ”kuat”, dan ”berani”. Ia menekankan kembali, Presiden AS Joe Biden memperingatkan bahwa ”kami akan menunjukkan kepada militer (Myanmar) bahwa tindakan mereka memiliki konsekuensi” serta mendesak militer ”segera melepaskan kekuasaan”.
Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar Tom Andrews juga mengapresiasi langkah Dubes Kyaw Moe Tun. Melalui media sosial Twitter, ia menyatakan, ”Sudah waktunya bagi dunia untuk menjawab seruan berani itu dengan tindakan”.
Utusan China di PBB menyatakan tidak mengkritik kudeta militer tersebut dan menilai situasi di Myanmar adalah urusan internal Myanmar. Disebutkan bahwa China mendukung upaya diplomatik oleh negara-negara Asia Tenggara untuk menemukan solusi. Pada Sabtu malam, televisi Pemerintah Myanmar mengumumkan Kyaw Moe Tun dicopot sebagai Dubes Myanmar untuk PBB.
Pengunjuk rasa tertembak
Perlawanan diplomatik Kyaw Moe Tun di Markas Besar PBB berlangsung bersamaan dengan unjuk rasa warga antikudeta di seantero Myanmar. Aparat kepolisian mengambil tindakan semakin keras terhadap pengunjuk rasa. Seorang perempuan dilaporkan terluka terkena tembakan aparat, sementara puluhan pengunjuk rasa lainnya, termasuk sejumlah jurnalis, ditangkap dan ditahan.
Polisi mengerahkan pasukan di kota-kota besar dan kecil di Myanmar sejak Sabtu pagi dalam upaya membubarkan aksi-aksi protes terhadap pemerintahan militer. Di kota utama Yangon, polisi membubarkan aksi protes dan menahan orang-orang saat mereka berkumpul dan menyampaikan pendapat. Sejumlah organisasi media mengungkapkan, beberapa jurnalis ikut ditangkap dan ditahan polisi.
Hal serupa terjadi di kota Mandalay dan kota-kota lain, termasuk di Monwya. Aye Aye Tint, pengunjuk rasa di Monwya, mengatakan, polisi menembakkan meriam air guna membubarkan kerumunan. Polisi juga menahan sejumlah tokoh politik, di antaranya Win Mya Mya, salah satu dari dua anggota parlemen Muslim dari Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi.
Tiga media setempat sebelumnya memberitakan satu perempuan tertembak dan tewas dalam unjuk rasa di Monwya. Namun, seorang pejabat layanan ambulans setempat membantah warta yang menyebutkan perempuan itu tewas. Meski membenarkan perempuan itu tertembak di tengah unjuk rasa, perempuan itu terluka dan dirawat di sebuah rumah sakit. Hingga berita ini ditulis, tidak ada konfirmasi yang diperoleh dari kepolisian atas insiden itu.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer merebut kekuasaan dan menahan Suu Kyi, 1 Februari. Militer menuduh adanya kecurangan dalam pemilu November tahun lalu yang dimenangi partai pimpinan Suu Kyi secara telak. Sejak itu ratusan ribu warga Myanmar turun ke jalan dalam aksi unjuk rasa menentang militer seiring dengan pembangkangan sipil oleh aparatur negara dan kaum profesional.
Pemimpin junta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, sebelumnya mengatakan, pihak berwenang telah menggunakan kekuatan secara minimal. Sedikitnya tiga pengunjuk rasa telah tewas dalam beberapa hari terakhir. Tentara mengatakan, seorang polisi juga tewas dalam bentrokan antara aparat dan para pengunjuk rasa.
Misteri posisi Suu Kyi
Di tengah perlawanan rakyat Myanmar dan tindakan represif aparat, ketidakpastian melingkupi keberadaan Suu Kyi. Salah satu pejabat partai Suu Kyi menyebutkan bahwa tokoh penerima Nobel Perdamaian itu telah dipindahkan dari tempat dirinya ditahan dengan status tahanan rumah pada pekan ini. Namun, lokasi baru penahanan Suu Kyi dirahasiakan aparat.
Hal yang sama berlaku terhadap para tokoh politik senior Myanmar yang ditahan. Para aktivis pun semakin nyaring menyerukan berlanjutnya aksi protes terhadap rezim militer, termasuk Minggu (28/2/2021) ini.
Di tengah sikap aparat yang semakin keras, massa pengunjuk rasa meneriakkan dan bernyanyi di depan aparat yang berjaga. Sejumlah saksi mata mengungkapkan, mereka tercerai-berai beberapa saat ketika polisi bergerak maju, menembakkan gas air mata, meledakkan granat kejut, dan menembakkan senjata ke udara.
Namun, beberapa saat kemudian para pengunjuk rasa kembali berkumpul meski terpisah-pisah dalam kumpulan lebih kecil. ”Orang-orang memprotes dengan damai, tetapi mereka mengancam kami dengan senjata,” kata Shar Yamone, aktivis. Ia menambahkan, ”Kami berjuang mengakhiri perundungan militer yang telah berlangsung dari generasi ke generasi.”
”Kami ingin terus melawan hingga kami menang,” tegas Moe Moe (23), yang menggunakan nama samaran, dalam unjuk rasa di Yangon. (AP/AFP/REUTERS/SAM)