Beri Bukti Militer Tak Didukung Rakyat, PNS Myanmar Mogok
Rezim militer Myanmar bisa lumpuh jika sebagian besar pegawai negeri meninggalkan mereka tanpa aparat negara. Para PNS ini sudah nekad.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
Rumah sakit umum sepi. Kantor pemerintah dibiarkan “mati”. Kereta api diam di tempat. Sebagian besar pegawai negeri sipil (PNS) atau pamong praja telah melakukan mogok massal, sejak pekan lalu dan berlanjut Jumat (26/2/2021) ini.
Banyak PNS Myanmar menolak bekerja untuk melayani rezim junta militer. Mereka tidak peduli dengan risiko akibat terganggunya mata pencarian atau pekerjaan mereka. Misinya hanya satu: lawan otorianisme rezim militer, “pembunuh bayi demokrasi” yang beranjak tumbuh.
Di tengah kepanikan atas eskalasi situasi itu, polisi pertama kali pascakudeta militer menangkap seorang wartawan asing asal Jepang, Jumat ini. Gerakan pembangkangan sipil pun membesar dan meluas. Gerakan berusaha untuk menggagalkan pemerintahan para jenderal dengan melumpuhkan birokrasi.
"Sebagai pemerintah, militer perlu membuktikan bahwa mereka bisa mengelola negara dengan baik. Tapi jika kami ... pegawai negeri tidak bekerja, rencana mereka untuk mengambil alih kekuasaan akan gagal," kata Thida, nama samaran seorang dosen universitas negeri, seperti laporan kantor berita AFP, Jumat (26/2/2021).
Aksi mogok sebagian PNS sudah berlangsung sejak awal pekan ini. Dalam tiga minggu sejak kudeta, 1 Februari lalu, Thida menolak untuk mengajar kelas online-nya. Dia terlibat dalam pemogokan nasional yang dimulai oleh petugas medis. Kebanyakan mereka bersembunyi agar tidak ditangkap.
Dari ibu kota di Naypyidaw hingga pelabuhan tepi laut, mogok kerja di sektor swasta juga terjadi. Kantor dan pabrik tidak berjalan. Pekerja terlibat dalam aksi unjuk rasa dan pemogokan massal. Banyak bank cabang di daerah juga tutup.
Jumlah PNS pembangkang juga terus meningkat sehingga membuat junta terguncang. Tanpa PNS, negara tidak bisa berjala. Karena mogok, PNS tidak dapat memungut pajak, mengirimkan tagihan listrik, menguji kasus Covid-19, melakukan vaksinasi, atau sekadar menjaga negara tetap berjalan.
Momok krisis keuangan – yang sudah terjadi karena kasus Covid-19 dan anjloknya investasi asing – tampak menjadi soal besar. Namun, masih belum jelas benar, berapa banyak orang dari sekitar satu juta pekerja di sektor publik yang berpartisipasi dalam aksi mogok massal atau pembangkangan sipil.
Sebuah survei yang didanai oleh hasil urun rembug berbagai pihak menemukan, pegawai dari semua 24 kementerian pemerintah di Myanmar sekarang ini terlibat mogok masssal. Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar, Tom Andrews,memperkirakan tiga perempat PNS terlibat aksi mogok.
Ketidakhadiran semua PNS itu di semua lini sektor kehidupan publik mulai berdampak. “Hampir sepertiga dari rumah sakit negara tidak lagi berfungsi,” kata pemimpin kudeta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, minggu ini, seperti dilaporkan AFP.
Hlaing memperingatkan para petugas medis untuk tetap bekerja menjalankan tugas rutinnya. Hlaing juga mengiming-imingi mereka yang kembali bekerja akan mendapat insentif berupa hadiah uang tunai, sebagaimana dilaporkan media pemerintah hari Selasa.
Seorang dokter mengatakan, akibat kekurangan petugas medis membuat rumah sakitnya harus menolak pasien baru. Tim khusus medis telah dibentuk untuk memberikan perawatan darurat kepada para pengunjuk rasa yang terluka akibat tembakan peluru karet dan tajam.
Media lokal melaporkan, pegawai negeri di seluruh negeri, dari pegawai rendahan seperti juru tulis, pengemudi, dan administrator telah diberhentikan karena aksi mogok mereka. Langkah rezim militer seperti ini seperti ingin membelit diri sendiri dengan tali temali masalah.
"Militer tidak mengantisipasi bahwa sebagian besar pegawai negeri akan keluar dan meninggalkan mereka tanpa aparat negara," kata seorang analis yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena junta telah menahan lebih dari 700 pengritik mereka.
"Dampak gerakan tidak selalu bergantung pada semua birokrasi yang berpartisipasi, tetapi pada bagian-bagian penting yang melumpuhkan kemampuan militer untuk mengumpulkan pendapatan dan mendistribusikannya ke seluruh mesin negara," ujarnya.
Tingkat ketidakmampuan ini menjadi lebih jelas pada Jumat (26/2/2021) ini, ketika Dewan Administrasi Negara Myanmar – nama resmi pemerintahan rezim militer yang diberikan oleh sang pemimpin kudeta – harus membayar gaji seluruh sektor publik.
Bank Ekonomi Myanmar (MEB), yang mendistribusikan gaji dan pensiun pemerintah, telah tertatih-tatih akibat pemogokan. Namun, media pemerintah rezim mengatakan, kompensasi dan gaji tidak akan tersalurkan itu adalah "kabar bohong tak berdasar".
Rezim terus menekan, tidak peduli dengan situasi yang terus berkembang. Setiap hari media resmi pemerintah terus mengeluarkan seruan atau pesan untuk semua PNS agar kembali bekerja atau akan menghadapi tindakan hukum. Pada Kamis malam, penangkapan dilakukan kepada para peserta gerakan pembangkangan sipil.
Saluran telepon memungkinkan anggota masyarakat untuk melaporkan siapa pun yang mendorong tindakan tersebut. "Semua pegawai negeri dari kementerian yang berpartisipasi dalam gerakan pembangkangan sipil mendapatkan tekanan," kata staf MEB.
Min Ko Naing, pemimpin pemberontakan pro-demokrasi 1988, mendesak PNS untuk melanjutkan pemogokan mereka. Ia mengatakan di Facebook bahwa pemogokan massal oleh pegawai pemerintah merupakan kunci utama dalam upaya untuk menjatuhkan rezim. Namun, tetap ada risiko
Berbagai kelompok bermunculan untuk membantu PNS dengan makanan dan perumahan. Sementara anggota pemerintah sipil yang digulingkan telah berjanji untuk memberi kompensasi atas gaji yang hilang jika mereka merebut kembali kekuasaan, memicu harapan pekerja seperti Thida.
"Saya sama sekali tidak khawatir kehilangan pekerjaan karena saya yakin demokrasi akan dipulihkan," kata Thida. (AFP/REUTERS)