Gadis Korban Peluru Aparat Meninggal, Jangan Ada Lagi Kekerasan Junta
Gadis yang baru merayakan ulang tahun ke-20 awal Februari ini menjadi korban pertama kekerasan aparat dalam menangani unjuk rasa di Myanmar.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
NAYPIYDAW, JUMAT — Mya Thwate Thwate Khaing, korban luka tembak polisi ketika membubarkan massa demonstran pada 9 Februari lalu, meninggal dalam perawatan di rumah sakit, Jumat (19/2/2021). Kabar kematian gadis berusia 20 tahun itu disampaikan oleh seorang saudaranya.
Gadis yang baru merayakan ulang tahun ke-20 awal Februari ini menjadi korban pertama kekerasan aparat dalam menangani unjuk rasa di Myanmar. Demonstrasi telah digelar di seluruh Myanmar untuk menolak perampasan kekuasaan sipil oleh rezim militer.
Mya dalam kondisi kritis sejak hari pertama ia dibawa ke rumah sakit, 9 Februari. Kepalanya terkena peluru tajam pada protes di ibu kota Naypyitaw. ”Saya merasa sangat sedih dan tidak bisa berkata-kata,” kata kakaknya, Ye Htut Aung, dalam percakapan per telepon, Kamis.
Dalam unjuk rasa Kamis ini, seorang pengunjuk rasa membawa poster foto Mya. Di poster itu tertulis: jangan ada lagi kekerasan junta. Massa mengecam militer dan terus menuntut pemulihan kekuasaan sipil.
Kematian Mya menjadi alasan baru yang kuat bagi para pengunjuk rasa untuk kembali menekan rezim militer yang berkuasa. Massa berencana kembali turun ke jalan-jalan di Myanmar, Jumat (20/2/2021).
Myan dilihat sebagai sosok pahlawan prodemokrasi. ”Saya bangga padanya (Mya). Saya akan ikut berunjuk rasa lagi sampai kami menggapai tujuan demi dia. Saya tidak khawatir akan keselamatan saya,” kata seorang pengunjuk rasa, Nay Lin Htet (24), di Yangon.
Pada Jumat (19/2), genap dua pekan berturut-turut massa menggelar demonstrasi harian untuk menentang kudeta dan penangkapan pemimpin terpilih, Aung San Suu Kyi. Kudeta sudah 18 hari lalu. Namun, tidak ada tanda-tanda militer mau bernegosiasi dengan partai Suu Kyi, pemenang pemilu.
Aksi protes massa di kota-kota besar di Myanmar untuk menentang kudeta militer masih berlangsung damai. Namun, aparat keamanan terus menekan untuk membubarkan massa, termasuk menembak dengan peluru tajam seperti yang mengenai Mya, sembilan hari yang lalu.
Namun, polisi telah terus menembakkan peluru karet berulang kali untuk membubarkan massa. Pihak militer mengatakan, seorang polisi tewas karena luka-luka yang dideritanya. Selain protes harian, kampanye pembangkangan sipil melumpuhkan banyak bisnis pemerintah dan tekanan internasional.
Polisi menutup lokasi protes utama di dekat Pagoda Sule, Yangon. Mereka memasang barikade di jalan akses ke persimpangan tempat puluhan ribu orang berkumpul minggu ini.
Sementara itu, Inggris dan Kanada, Kamis (18/2/2021), menjatuhkan sanksi terhadap jenderal-jenderal di Myanmar atas pelanggaran HAM yang dilakukannya menyusul kudeta militer di negara tersebut.
Kementerian Luar Negeri Inggris menyatakan, London menjatuhkan sanksi kepada tiga pejabat junta militer, termasuk Menteri Pertahanan dan Menter Dalam Negeri. Inggris juga mulai mengkaji penghentian bisnis dengan rezim militer di Myanmar.
”Inggris mengecam kudeta militer dan penahanan Aung San Suu Kyi dan tokoh politik lainnya,” kata Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab.
”Kami, bersama mitra internasional lainnya, akan meminta tanggung jawab militer Myanmar atas pelanggaran HAM dan menuntut keadilan bagi rakyat Myanmar,” tambah Raab.
Sanksi Inggris itu dijatuhkan terhadap Menteri Pertahanan Jenderal Mya Tun Oo, Menteri Dalam Negeri Letjen Soe Htut, dan Wakil Menteri Dalam Negeri Letjen Than Hlaing karena berperan dalam keamanan di Myanmar. Ketiga perwira tinggi ini dilarang masuk ke Inggris dan aset mereka yang ada di Inggris dibekukan.
Sebelum kudeta terjadi pun, Inggris telah menjatuhkan sanksi pada 16 anggota militer Myanmar atas pelanggaran HAM.
Akan tetapi, kelompok aktivis Burma Campaign UK menyatakan bahwa sanksi tersebut hanya terbatas untuk perjalanan wisata. ”Para pemimpin militer ini tidak akan menaruh asetnya yang mungkin dibekukan di Inggris, jadi dampak dari sanksi ini adalah hanya tidak bisa berlibur di Inggris saja,” kata Mark Farmaner, Direktur Kampanye Burma Campaign UK.
Sebelumnya, Amerika Serikat telah menjatuhkan sanksi kepada para pemimpin militer Myanmar tak lama setelah kudeta dilakukan pada 1 Februari lalu.
Menteri Luar Negeri Kanada Marc Garneau mengumumkan daftar sanksi yang lebih luas terhadap sembilan pejabat Myanmar.
”Sanksi yang diumumkan hari ini adalah bagian dari pesan kami bahwa Kanada tidak akan menerima tindakan militer Myanmar yang mengabaikan sepenuhnya hak-hak demokratis rakyat Myanmar,” kata Garneau.
Kudeta militer di Myanmar mengakhiri satu dekade proses transisi demokrasi dari kekuasaan militer di negara itu. Para jenderal membenarkan perebutan kekuasaan tersebut dengan menuduh adanya kecurangan dalam pemilu November yang dimenangi oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) di mana Suu Kyi berada.
Awal pekan ini, menteri luar negeri negara-negara G-7 mengeluarkan pernyataan bersama bahwa mereka ”sangat prihatin” atas kudeta yang terjadi di Myanmar.
Kamis kemarin, empat negara aliansi ”Quad”, yaitu AS, Australia, India, dan Jepang menyerukan penguatan demokrasi di Asia dan membalikkan situasi kudeta militer Myanmar.
Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi ”sangat mendesak militer Myanmar untuk segera menghentikan kekerasannya terhadap warga sipil” yang memprotes kudeta dan membebaskan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.
AS menyatakan bahwa kampanyenya untuk menekan Myanmar akan dilakukan bekerja sama dengan Jepang dan India yang menjaga hubungan baik dengan para jenderal di negara itu.
Sementara India lebih menjaga jarak dari upaya Barat menerapkan sanksi terhadap Myanmar. Dalam pernyataannya, Menteri Luar Negeri Subrahmanyam Jaishankar menekankan pada ”penegakan hukum dan transisi demokrasi.” (AFP/AP/REUTERS/CAL)