Situasi di Myanmar kian memanas. Aparat telah mengerahkan militer untuk turun ke jalan. Rakyat tetap teguh menyuarakan penolakan mereka kepada pemerintahan militer.
Oleh
Luki Aulia
·2 menit baca
YANGON, SENIN —Situasi politik di Myanmar kian memanas. Rezim militer Myanmar kembali menutup akses komunikasi dengan mematikan semua jaringan internet dan telekomunikasi. Militer juga mengerahkan aparat keamanan lengkap dengan kendaraan lapis baja ke sejumlah lokasi yang dikhawatirkan akan digunakan untuk menghadapi pengunju krasa.
Pengumuman rencana pemutusan jaringan internet dari rezim militer itu disebarkan ke berbagai media sosial, Senin (15/2/2021). Pelapor Khusus PBB Tom Andrews menilai, berbagai upaya militer menekan gerakan protes kudeta dan memerangi rakyatnya sendiri menunjukkan rezim militer semakin putus asa. ”Untuk semua jenderal: Kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban,” tulisnya di twitter.
Sebelum internet diputus, aparat keamanan menembakkan gas air mata ke arah para pengunjuk rasa di Myitkyina. Banyak foto korban terluka yang diunggah oleh wartawan dan ada lima wartawan peliput protes ditangkap.
Menyikapi perkembangan situasi di lapangan, muncul pernyataan bersama dari kedutaan besar Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa yang mendesak militer untuk tidak melukai warga sipil. Imbauan yang sama datang dari Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres. ”Otoritas harus menjamin hak rakyat untuk berkumpul secara damai dan pengunjuk rasa tidak mendapat perlakuan kekerasan,” sebut pernyataan tertulis Guterres.
Guterres juga meminta rezim militer agar segera memperbolehkan diplomat Swiss, Christine Schraner Burgener, masuk ke Myanmar untuk melihat dan melaporkan perkembangan situasi secara langsung.
Rezim militer pekan lalu sempat memutuskan jaringan internet dan mengancam akan menangkap siapa saja yang terlibat dalam unjuk rasa dan aksi pembangkangan sipil. Namun, langkah itu gagal mencegah aksi rakyat.
Penahanan atas sedikitnya 400 orang sejak kudeta militer, 1 Februari lalu, juga tidak berhasil membuat rakyat mundur. Bahkan mereka makin lantang menyuarakan kecaman dan penolakan kepada militer, hingga hari ini.
Ronda
Untuk mencegah penangkapan lebih lanjut oleh aparat, warga di banyak wilayah di Myanmar kini mengaktifkan ronda. ”Kami tidak percaya siapa pun untuk saat ini, terutama mereka yang berseragam,” kata Myo Ko Ko yang ikut ronda di kampungnya.
Bahkan, banyak warga yang menutup akses masuk ke wilayah mereka dengan menggunakan batang-batang pohon agar mobil polisi tidak bisa masuk. Aparat kepolisian yang berusaha membujuk karyawan jawatan kereta untuk masuk kantor lagi juga diusir. Banyak pegawai negeri sipil yang ikut membangkang dengan mogok kerja.
Ronda dan penutupan jalan akses masuk ke kampung-kampung itu dilakukan karena rezim mendeklarasikan amnesti yang membebaskan 23.000 tahanan. Banyak yang curiga tahanan sengaja dibebaskan lalu dipekerjakan otoritas untuk menyebarkan ketakutan di daerah-daerah permukiman. Ini juga pernah dilakukan militer saat tahun 1988 yang kemudian memicu kekacauan.