Cara Kaum Muda Myanmar Melawan Militer, Tak Harus Pakai Marah-Marah
Pembangkangan sipil di Myanmar akan terus berlanjut dan bahkan meluas. Perilaku para pengunjuk rasa yang mayoritas anak muda juga lucu-lucu.
Kaum muda prodemokrasi di Myanmar mulai bangkit dan berani menentang kekuasaan otoriter junta militer. Gerakan solidaritas antar-aktivis muda di Asia, dengan gaya berunjuk rasa damai dan humoris, turut menginspirasi mereka.
Di tengah-tengah puluhan ribu orang yang sedang berunjuk rasa damai di sekeliling Pagoda Sule, Yangon, Myanmar, Myat (28) melakukan swafoto dengan pose salam tiga jari seperti di novel dan film Hunger Games.
Salam tiga jari yang menjadi simbol perlawanan kepada rezim militer yang kini berkuasa kian populer sejak digunakan anak-anak muda prodemokrasi saat berunjuk rasa di Hong Kong, Thailand, dan Taiwan. Banyak pula anak muda di sekitar Myat yang berswafoto dengan pose serupa.
Sebelum berunjuk rasa, Myat bahkan sampai membaca buku manual taktik protes dari Hong Kong yang diterjemahkan ke dalam bahasa lokal Myanmar dan disebarkan ribuan kali ke media sosial melalui jejaring #MilkTeaAlliance, yang menyatukan gerakan anak muda prodemokrasi di Thailand dan Hong Kong. ”Gerakan anak muda di negara-negara tetangga menginspirasi kami,” katanya.
Baca juga: Pemerintahan Sipil Suu Kyi dan Kepentingan Bisnis Petinggi Militer
Media sosial (medsos) terbukti mempercepat penyebaran simbol, ide, dan cara menyampaikan aspirasi atau protes antarnegara. Seperti flash mobs di Hong Kong, berganti- ganti kampanye tagar secara cepat dan membuat aneka ragam meme.
Penyebaran informasi sempat tersendat gegara rezim militer memblokade akses internet, termasuk medsos Facebook, platform pesan Whatsapp, dan lain-lain.
Namun, penutupan layanan medsos itu tidak mampu membendung informasi yang disebarkan karena warganet lalu memanfaatkan virtual private networks (VPN) untuk mengakses Facebook dan Whatsapp. Informasi, tips, dan teknik penggunaan VPN agar terhindar dari pengawasan atau gangguan rezim militer juga disebarkan.
Myanmar mengalami perubahan drastis selama 5 tahun terakhir terkait teknologi informasi ini, yang mendorong rakyat di sana sekarang lebih cepat bergerak ketimbang unjuk rasa pada 1988 dan 2007.
Serius, tetapi santai
Selain kecepatan dan cara penyebaran informasi, gaya berunjuk rasa rakyat Myanmar juga sudah jauh berbeda meski sama-sama dimotori anak muda. Kini, suasana unjuk rasa anak muda lebih terasa seperti pawai meriah karena memakai kostum aneh-aneh, kostum suku atau daerah, dan membawa spanduk atau papan kertas bertuliskan kalimat sindiran nan jenaka sebagai bentuk ekspresi kemarahan mereka.
Baca juga: Unjuk Rasa Besar-Besaran di Myanmar, Ingatkan Revolusi Saffron 2007
Harian South China Morning Post, Jumat (12/2/2021), melaporkan, anak-anak muda yang turun ke jalan memakai beragam kostum karakter, seperti roker punk, Harry Potter, ratu kecantikan, dan superhero Spiderman dan Power Rangers, sambil membawa tulisan masing-masing.
”Roses are red. Violets are blue. I thought Voldemort was bad, but then I met you, Min Aung Hlaing,” bunyi salah satu tulisan di papan protes dari fans Harry Potter yang mengundang tawa. Hlaing adalah Panglima Militer Myanmar (Tatmadav). Dia mengudeta pemerintahan sipil yang dipimpin, Aung San Suu Kyi.
Saat unjuk rasa zaman dulu, pengunjuk rasa juga membawa spanduk atau papan tulisan dengan kata-kata yang datar, sederhana, dan membosankan. ”Kami belajar dari melihat bagaimana orang berunjuk rasa di Thailand, Hong Kong, dan Amerika Serikat. Akhirnya bisa belajar gaya baru berunjuk rasa yang lebih damai ketimbang tahun 1988,” kata Myaynigone (24), seorang pengunjuk rasa.
Perilaku para pengunjuk rasa yang mayoritas anak muda juga lucu-lucu. Ada seorang perempuan yang sibuk melakukan gerakan pemanasan kaki. Di sebelahnya ada tulisan ”Berolahraga Yoga saja, jangan kediktatoran”.
Baca juga: Amerika Serikat Blokir Aset 10 Pejabat Militer Myanmar
Ada yang berkostum perampok bank sambil membawa tulisan ”Saya hanya merampok bank. Kamu (militer) merampok seluruh negeri”. Ada anak perempuan memakai piama bergambar unicorn sambil memegang tulisan ”Saya mestinya ada di rumah menonton Netflix lalu tidur, bukan berkeliaran di jalan begini”.
Bahkan ada yang sampai membawa kolam renang buatan dari balon berukuran kecil yang bisa ditiup ke tengah jalan supaya mereka tak gerah di siang hari. Ada juga yang datang sambil membawa peliharaan mereka, seperti ular dan iguana.
Perilaku massa pengunjuk rasa di Myanmar ramai diperbincangkan di medsos. ”Kami mau menarik perhatian dunia sebanyak mungkin dan protes dengan cara yang inovatif,” kata Sule, pengunjuk rasa.
Pengamat isu protes dan gerakan sosial di University of Malaya di Kuala Lumpur, Malaysia, Khoo Ying Hooi, menilai, bentuk protes dengan memakai meme merupakan cara perlawanan untuk menarik perhatian dan menunjukkan niat protes damai atau non-kekerasan anak muda.
”Memakai gaya jenaka dan kalimat lucu itu menunjukkan pendekatan non-kekerasan. Memakai meme itu, cara terbaik untuk memenangkan hati dan pikiran,” ujarnya.
Baca juga: Krisis Kudeta Myanmar Masuki Fase Berbahaya
Taktik kreatif seperti yang dilakukan anak-anak muda zaman sekarang dinilai Khoo berpotensi menumbuhkan solidaritas yang lebih luas dan pada akhirnya akan bisa membuat perubahan yang sistemik.
Aliansi Teh Susu
Untuk pertama kali di Myanmar, anak-anak muda dari generasi Z ikut bergabung dalam gelombang unjuk rasa. Mereka tumbuh di era yang lebih banyak merasakan kebebasan, kesejahteraan, dan akses luas pada teknologi.
Dengan bantuan teknologi itu, mereka menjalin hubungan erat dengan aktivis Hong Kong dan Thailand yang juga melawan penguasa dan memperjuangkan demokrasi. ”Ini kekuatan solidaritas,” kata peneliti dan aktivis HAM Hong Kong, Sophie Mak.
Gerakan solidaritas antar-aktivis di Asia yang dikenal dengan Aliansi Teh Susu lalu muncul dan menghimpun anak muda yang sudah tidak tahan lagi dengan tekanan dari pemerintahnya.
Jalinan solidaritas ini terbukti kuat karena pesan-pesan dari aktivis Myanmar bisa cepat menyebar ke banyak negara dengan bantuan para aktivis di dua negara itu.
Ada pertukaran budaya kampanye politik dan seni protes melalui goresan tangan seniman grafis yang menyebarkan informasi dan ajakan saling mendukung.
Apa pun yang dilakukan anak muda Myanmar, kata Nadi (24), kini menjadi lebih terekspos ke seluruh dunia berkat kekuasaan pemerintahan sipil selama lima tahun.
Baca juga: Gadis Korban Penembakan Kritis, Unjuk Rasa Tolak Kudeta Militer Pun Meluas
Pakar medsos dan politik Thailand, Aim Sinpeng, menilai tahun 2021 akan menarik karena kini rakyat Myanmar juga ikut melawan kediktatoran. Memakai simbol perlawanan salam tiga jari yang juga dimengerti negara lain karena memiliki konteks global dinilainya tindakan cerdas.
Justine Chambers dari Pusat Penelitian Myanmar di Australian National University mengatakan, pembangkangan sipil akan terus berlanjut bahkan meluas. Perasaan senasib sepenanggungan memperkuat keinginan saling berbagi dan meniru. Namun, perasaan senasib itu tak hanya dirasakan di kalangan anak muda, tetapi juga militer.
Guru Besar Hubungan Internasional di Thammasat University di Bangkok, Charlie Thame, mengatakan, militer Myanmar dan Thailand relatif berhubungan dekat dan menghadapi tantangan yang sama. Mereka sama-sama berusaha mempertahankan kekuasaan di masyarakat modern.
Baca juga: Militer Semakin Meradang, Merusak Kantor Partai Suu Kyi
Thame mengatakan, semakin kuatnya cengkeraman militer Myanmar, bisa jadi akan semakin kuat pula jalinan anak muda di Asia Timur bahkan dunia. Semakin kuat pula jalinan Aliansi Teh Susu, komunitas daring yang mulai bergulir pada April 2020 saat aktivis Thailand, Taiwan, dan Hong Kong sama-sama melawan China di Twitter. Melalui tagar #MilkTeaAlliance, mereka berbagi meme dan karya seni lain.
Tidak takut
Aktivis Aliansi Teh Susu dan peneliti HAM di Hong Kong, Sophie Mak, menilai, penggunaan humor dalam advokasi aliansi selama ini menjadi kekuatan utama dalam melawan rezim otoriter. Anak muda zaman sekarang tak kenal takut.
”Mereka membuat slogan kartun kreatif yang lucu-lucu untuk melawan ancaman dan pemerintah. Anak muda melawan dengan kreativitas,” ujarnya.
Baca juga: Tindakan Represif Militer Myanmar Mulai Menelan Korban
Aliansi Teh Susu ini, lanjut Mak, pada dasarnya adalah upaya berbagi solidaritas dan tidak akan bisa mudah dipatahkan oleh siapa pun. Jika, misalnya, Myanmar dibuat buta karena internet diblokir, anggota aliansi yang berada di negara lain yang akan menyuarakan aspirasi dan tuntutan mereka yang berada di Myanmar.
Jalinan aliansi aktivis, Bunkueanun Paothong, mengatakan, pengunjuk rasa di Bangkok jauh lebih kuat ketimbang militer yang memiliki senjata, tank, dan tentara. Bahkan, jalinan aliansi ini bisa lebih efektif memperkuat solidaritas ketimbang institusi ASEAN yang memiliki prinsip non-interferensi alias tidak saling ikut campur tangan dalam urusan internal masing-masing negara anggotanya.
"Gerakan anak muda sangat kuat dan akan bisa mewujudkan demokrasi yang diidam-idamkan kawasan dan rakyat Asia Tenggara," kata Paothong. (REUTERS/AFP/AP)