Dua orang di Naypyidaw dilaporkan kritis setelah terkena tembakan di kepala yang diduga dilakukan aparat Myanmar. Aparat keamanan menggerebek markas partai Liga Nasional untuk Demokrasi milik Aung San Suu Kyi.
Oleh
Benny D. Koestanto
·4 menit baca
YANGON, RABU — Krisis kudeta Myanmar memasuki fase berbahaya setelah militer mulai mengambil tindakan keras terhadap warga yang menggelar aksi demonstrasi mengecam kudeta dan menuntut kembalinya pemerintahan sipil. Dua orang di Naypyidaw dilaporkan kritis setelah terkena tembakan di kepala yang diduga dilakukan aparat. Militer pun menggerebek markas partai Liga Nasional untuk Demokrasi milik Aung San Suu Kyi yang masih ditahan.
Puluhan ribu warga kembali bergabung dalam aksi demonstrasi yang telah memasuki hari kelima berturut-turut di sejumlah kota di Myanmar, Rabu (10/2/2021). Peserta demonstransi membentangkan spanduk bergambar perempuan yang terluka, diduga akibat ditembak aparat dalam demonstrasi di Naypyidaw, sehari sebelumnya. Gambar itu telah dibagikan luas lewat media daring sehingga memicu kesedihan sekaligus kemarahan di seluruh negeri.
Sejumlah saksi mata dan diperkuat rekaman video mengungkapkan aparat menembakkan senjata ke arah kerumunan warga dalam sebuah demonstrasi di Naypyidaw pada Selasa (9/2/2021). Tidak diperoleh konfirmasi apakah tembakan itu menggunakan peluru karet atau peluru tajam. Dua orang, masing-masing satu perempuan dan laki-laki, dilaporkan terluka parah dan berada dalam kondisi kritis akibat terkena tembakan di bagian kepala. Dalam aksi serupa di Mandalay, polisi menyemprotkan meriam air dan melepaskan tembakan peringatan.
Media pemerintah mengklaim bahwa kerumunan telah menggunakan bahasa yang tidak pantas dalam aksinya. Massa juga melemparkan benda-benda ke polisi sehingga melukai empat petugas. ”Maka dari itu anggota polisi membubarkan kerumunan itu sesuai dengan metode dan hukum,” lapor surat kabar Global New Light of Myanmar, tanpa menyebutkan konfrontasi polisi lainnya di tempat lain di negara itu.
Kelompok pembela hak asasi manusia yang berbasis di New York, Human Rights Watch, mengutip seorang dokter di rumah sakit Naypyidaw membenarkan seorang perempuan dalam kondisi kritis. Dokter itu mengatakan proyektil peluru bersarang di kepala perempuan. Peluru yang diduga ditembakkan aparat itu diyakini menembus bagian belakang telinga kanan. Sang perempuan itu pun dinyatakan telah kehilangan fungsi otaknya secara signifikan.
Polisi Myanmar harus segera menghentikan penggunaan kekuatan yang berlebihan dan mematikan terhadap para pengunjuk rasa. (Human Rights Watch)
Dokter itu mengatakan, di rumah sakit tersebut juga dirawat seorang pria. Ia mengalami luka-luka di tubuh bagian atasnya dengan luka yang mirip akibat terkena terjangan peluru tajam. ”Polisi Myanmar harus segera menghentikan penggunaan kekuatan yang berlebihan dan mematikan terhadap para pengunjuk rasa,” demikian Human Rights Watch dalam pernyataannya.
Kecaman keras atas perlakuan militer kepada para demonstran juga disampaikan Pemerintah Amerika Serikat. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price, mengatakan, Washington akan meninjau bantuan ke Myanmar. Price menyatakan, mereka yang bertanggung jawab atas kudeta harus menghadapi ”konsekuensi yang signifikan”. ”Kami mengulangi seruan kami kepada militer untuk melepaskan kekuasaan, memulihkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis, membebaskan mereka yang ditahan, dan mencabut semua pembatasan telekomunikasi, serta menahan diri dari kekerasan,” kata Price.
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell, memperingatkan, UE dapat memberlakukan sanksi baru terhadap militer Myanmar. Borrell mengatakan, tindakan yang tepat harus diambil semata untuk menghindari tekanan terhadap warga di Myanmar secara luas. Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan akan mengadakan sesi khusus pada Jumat (12/2/2021) untuk membahas krisis situasi di Myanmar tersebut. Seperti diwartakan, Selandia Baru menjadi negara pertama yang mengambil tindakan mengisolasi junta dengan menangguhkan kontak militer dan politik tingkat tinggi dengan Myanmar.
Militer, pada Selasa malam, telah menyatroni markas nasional partai NLD. Kyi Toe, juru bicara partai, menulis di media sosial Facebook bahwa tentara masuk ke markas besar di Yangon dan kantor lain. Markas besar ditutup Rabu. Salah satu anggota partai NLD, Soe Win, mengatakan bahwa rekan-rekannya dicegah untuk ikut campur karena jam malam yang diberlakukan di kota itu. Keesokan paginya dia tiba di tempat kejadian dan menemukan kunci pintu rusak, peralatan komputer hilang, kabel server terputus, dan dokumen bank diambil dari brankas.
Meminta bantuan
Dari Bangkok dilaporkan, Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha mengaku telah menerima surat dari pemimpin junta baru Myanmar. Isi surat itu adalah pemimpin junta Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, meminta bantuan Bangkok untuk mendukung demokrasi di Myanmar. Militer Thailand dan Myanmar memiliki hubungan kerja yang erat dalam beberapa dekade terakhir meski ada sejarah permusuhan yang panjang di antara kedua negara.
Prayuth, yang menggulingkan perdana menteri terpilih pada 2014 dan tetap menjabat setelah Pemilu 2019 yang menurut para pesaingnya sangat cacat, itu mengatakan, dirinya selalu mendukung demokrasi di Myanmar. ”Kami mendukung proses demokrasi di Myanmar, tetapi yang terpenting saat ini adalah menjaga hubungan baik karena berdampak pada masyarakat, ekonomi, perdagangan perbatasan, terutama sekarang,” kata Prayuth. ”Thailand mendukung proses demokrasi. Selebihnya terserah dia bagaimana melanjutkannya,” katanya.
Sejak kudeta, Myanmar telah dikejutkan oleh protes terbesar dalam lebih dari satu dekade terakhir. Militer Myanmar pun memberlakukan darurat militer. Sementara Thailand pada tahun lalu juga menyaksikan protes terbesarnya dalam beberapa dekade ketika lawan-lawan politik Prayuth menuntut dirinya mundur, menuduhnya merekayasa pemilu terakhir untuk melanjutkan dominasi politik Thailand oleh tentara dan monarki. Prayuth menyangkal adanya rekayasa dalam pemilu di negaranya. (AP/AFP/REUTERS)