Gelombang unjuk rasa rakyat Myanmar menolak kudeta militer membesar dan meluas. Suara mereka harus dipertimbangkan guna mencari solusi di negara itu.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Hampir sepekan terakhir, setelah kudeta militer pada pekan lalu, rakyat Myanmar menggeliat memberikan perlawanan tanpa kekerasan terhadap militer yang kini berkuasa di negara itu. Tak lama setelah militer mengambil alih kekuasaan pada 1 Februari 2021, pemimpin sipil Aung San Suu Kyi menyerukan kepada para pendukungnya untuk tidak tinggal diam.
Dua hari kemudian, perlawanan rakyat Myanmar dimulai. Diawali dengan aksi mogok kerja dalam bentuk pembangkangan sipil oleh tenaga medis dan dokter di 70 rumah sakit pemerintah dan departemen kesehatan di 30 kota, perlawanan itu bereskalasi menjadi gelombang unjuk rasa di sejumlah kota dan wilayah. Pesan mereka jelas: menolak kudeta, tidak mau patuh dan tunduk pada militer, serta pemulihan demokrasi.
Seperti diberitakan, hari demi hari gelombang unjuk rasa meluas. Militer memblokir internet dan jaringan media sosial guna meredam protes. Namun, langkah itu tidak menyurutkan hasrat rakyat Myanmar untuk terus menyuarakan aspirasi.
Pada Minggu, unjuk rasa disebut aksi terbesar sejak Revolusi Saffron 2007, yang mengantarkan Myanmar pada transisi demokrasi. Dari laporan yang ada, demonstrasi berlangsung damai. Mulai muncul insiden yang mengarah ke bentrokan aparat dan massa, tetapi secara umum masih terkendali.
Namun, pertanyaannya, apakah situasi seperti itu akan selamanya terkendali mengingat hingga kini tidak ada tanda-tanda militer mau mendengar dan mempertimbangkan suara rakyat Myanmar? Hingga saat ini tak ada indikasi militer mau membebaskan Suu Kyi dan para tokoh prodemokrasi lainnya, apalagi memulihkan situasi dan tatanan pemerintahan seperti semula.
Belakangan, ada kecenderungan militer pimpinan Panglima Tertinggi Jenderal Senior Min Aung Hlaing untuk mengambil langkah tegas terhadap pengunjuk rasa. Rekam jejak unjuk rasa di negara itu, seperti terjadi pada 1998 dan 2007, diwarnai pertumpahan darah. Dalam situasi sekarang, kekhawatiran terakhir itu yang perlu dicegah.
Terkait hal tersebut, komunitas internasional dan kawasan seharusnya tidak tinggal diam. Dibutuhkan langkah-langkah untuk memastikan militer Myanmar tidak represif terhadap rakyatnya. Perlu diyakinkan pula pada militer negara itu untuk bersedia mendengar dan mempertimbangkan suara rakyat. Langkah-langkah itu diharapkan, tentu saja, muncul dari ASEAN, perhimpunan regional tempat Myanmar bernaung.
Kita tahu, ada prinsip non-interferensi, tak boleh ada campur tangan pada urusan dalam negeri anggota. Namun, ASEAN—yang kini diketuai Brunei Darussalam—perlu mengingatkan militer Myanmar akan prinsip-prinsip dalam Piagam ASEAN, seperti tunduk pada prinsip demokrasi, penegakan hukum dan pemerintahan baik, serta respek pada HAM dan kebebasan dasar. Berbicara soal ASEAN, terutama pada isu politik dan keamanan kawasan, banyak pihak menoleh pada Indonesia. Suka atau tidak, seperti itulah adanya.