Pendukung Kelompok Prodemokrasi Terus Melawan Junta Militer Myanmar
Gelombang unjuk rasa menentang pemerintahan militer hasil kudeta di Myanmar terus berlanjut. Penangkapan ratusan orang oleh aparat militer tak menyurutkan warga pendukung prodemokrasi untuk tetap berdemonstrasi.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
YANGON, SABTU — Para pendukung Liga Nasional untuk Demokrasi terus menentang kudeta yang dilancarkan militer Myanmar. Selain mogok kerja, warga Myanmar terus berunjuk rasa untuk memprotes kudeta diikuti penangkapan ratusan orang itu.
Sedikitnya 1.000 pengunjuk rasa berparade di Yangon, Sabtu (6/2/2021). ”Turunkan kediktatoran militer,” demikian teriakan para pengunjuk rasa.
Mereka mengibarkan bendera merah, warna senada dengan bendera Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai kelompok prodemokrasi. Partai itu memenangi 396 dari 498 kursi parlemen yang diperebutkan pada pemilu 8 November 2020.
Akan tetapi, seperti pada pemilu tahun 1990, militer menolak mengakui kemenangan NLD. Penolakan itu diikuti dengan langkah militer Myanmar, Tatmadaw, melancarkan kudeta pada Senin dini hari. Tentara menangkap Presiden Myanmar Win Myint, Penasihat Negara sekaligus Pemimpin NLD Aung San Suu Kyi, dan ratusan orang lain.
Hingga Jumat sudah lebih dari 550 orang ditangkap Tatmadaw. termasuk dalam daftar orang yang ditangkap itu, yakni Sean Turnell, warga Australia penasihat ekonomi bagi Suu Kyi. ”Saya kira Anda bakal segera dengar tentang (penangkapan) ini, tetapi saya saat ini tengah ditahan,” kata Turnell dalam layanan pesan singkat kepada kantor berita Reuters.
Turnell merupakan warga asing pertama yang diketahui ditangkap militer Myanmar. Ia adalah profesor ekonomi pada Universitas Macquarie, Sydney, Australia, Turnell sudah menjadi penasihat ekonomi Suu Kyi selama beberapa tahun. Kementerian Luar Negeri Australia belum bisa dihubungi terkait dengan penangkapan warganya itu.
Aparat menuding Suu Kyi mengimpor peralatan komunikasi secara ilegal. Aparat juga mengaku telah menemukan enam radio komunikasi di rumah Suu Kyi. Sementara terhadap Myint, aparat mengenakan tudingan melanggar pembatasan gerak untuk pengendalian laju infeksi Covid-19.
Tudingan itu diungkap setelah Suu Kyi dan Myint ditangkap pada Senin dini hari. Sampai sekarang, keberadaan keduanya dan orang-orang yang ditangkap militer tidak diketahui.
Tim pembela mereka pun tidak bisa menemui kedua tahanan politik itu. Aparat melarang para pembela Suu Kyi dan Myint keluar rumah. Para pembela itu kini juga diperiksa aparat di rumah masing-masing.
Dakwaan yang dikenai kepada Suu Kyi dicemooh sejumlah pihak. Bahkan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres ikut berkomentar atas tudingan yang dinilainya tidak tepat itu. Bagi Guterres, kalaupun harus ada tudingan untuk Suu Kyi, penyebabnya adalah Suu Kyi terlalu dekat dengan Tatmadaw.
Pada 2020, Suu Kyi menjadi salah satu tim pembela Tatmadaw dan sejumlah perwiranya yang digugat di Mahkamah Kriminal Internasional (ICC).
Medsos diblokir
Meski kecaman dari sejumlah pihak terus dikeluarkan, Tatmadaw tidak peduli. Alih-alih membatalkan kudeta, Tatmadaw malah memperkuat cengkeraman. Setelah memblokir Facebook, Tatmadaw melarang Twitter dan Instagram beroperasi di Myanmar. Semua penyedia jasa layanan internet diminta menutup akses ke media-media sosial itu.
Akibat perintah itu, ada lonjakan penggunaan aplikasi jaringan maya pribadi (VPN) di Myanmar. Dengan VPN, perintangan tidak akan berguna. Masalahnya, Tatmadaw tidak hanya memerintahkan penutupan akses media sosial. Militer juga membatasi layanan telekomunikasi seluler yang menjadi andalan utama warga untuk terhubung dengan internet.
Media sosial menjadi salah satu cara warga untuk mengungkapkan kemarahan atas kudeta oleh Tatmadaw. Selain di media sosial, warga juga mogok kerja di berbagai lembaga pemerintahan. Awalnya, pemogokan dilakukan sejumlah dokter dan perawat di rumah sakit dan klinik pemerintah. Mereka menolak bekerja untuk pemerintahan yang dibentuk Tatmadaw selepas kudeta. Mereka memilih melayani pasien dari rumah sakit dan klinik swasta.
Pemogokan juga dilakukan sejumlah guru dan dosen. Mereka mogok mengajar di beberapa sekolah dan perguruan tinggi negeri. Sejumlah pegawai negeri di beberapa lembaga negara juga mogok kerja. Sebagian dosen dan guru ikut berunjuk rasa bersama warga.
”Kami tidak akan bersama mereka. Kami ingin pemerintahan (hasil kudeta) jatuh sesegera mungkin,” kata Nwe Thazin, seorang dosen yang ikut unjuk rasa di Universitas Pendidikan Yangon.
Unjuk rasa memang terus berlangsung secara sporadis di berbagai penjuru Myanmar. Warga biasa hingga pekerja profesional terlibat protes itu.
Sementara itu, sejumlah politisi NLD mendeklarasikan pemerintahan tandingan. Mereka meminta pengakuan komunitas internasional agar dianggap sebagai satu-satunya wakil sah Myanmar.
Selain meminta dukungan dan pengakuan kepada PBB, permintaan serupa disampaikan kepada sejumlah organisasi internasional dan pemerintahan beberapa negara. Mereka juga mendesak komunitas internasional mengenakan sanksi kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam kudeta awal Februari. (AP/AFP/REUTERS)