Kemenangan Partai NLD dan Aung San Suu Kyi pada pemilu 2015 tetap tidak menghapus pengaruh kuat militer. Kelompok militer masih mendapatkan kursi di parlemen dan turut campur dalam politik.
Oleh
Yohanes Mega Hendarto
·4 menit baca
Pada awal Februari 2021, kekuatan militer kembali melakukan kudeta pemerintahan Myanmar. Sepanjang sejarah Myanmar, kudeta militer selalu hadir membayangi perjalanan demokrasi di negara itu.
Lahirnya Myanmar (dahulu bernama Burma) tak dapat dilepaskan dari peran Aung San, ayahanda Aung San Suu Kyi, yang ingin memerdekakan negaranya dari penjajahan Inggris. Bersama kaum nasionalis lainnya, mereka mendapat dukungan dari Jepang yang ingin menggaet simpati. Pada Desember 1941, dengan bantuan Jepang, Burma akhirnya mendeklarasikan kemerdekaannya.
Akan tetapi, deklarasi kemerdekaan tidak berefek apa pun bagi tatanan pemerintahan kolonial Inggris. Maka, Aung San mendirikan organisasi Dobama Asiayone Organization (Kami Orang Burma) yang kemudian berubah menjadi Burmese Independence Army (BIA) yang berbasis militer.
BIA segera mendapat dukungan militer dari Jepang, tetapi justru belakangan terbukti hal tersebut hanya muslihat. Dalam perkembangannya, ibu kota Burma (Rangoon) malah dikuasai militer Jepang pada 1942.
Ayah dari Aung San Suu Kyi tetap memilih politik berhati-hati dan tidak agresif dalam melawan Jepang. Ia kemudian mengubah BIA menjadi Burma Defence Army (BDA) yang anggotanya bertambah dengan cepat. BDA mirip Pembela Tanah Air (PETA) di Indonesia.
Upaya pembentukan negara merdeka tak kunjung membuahkan hasil karena kemerdekaan yang dijanjikan Jepang tidak kunjung datang. Pasca-kekalahan dari sekutu pada 1945, Jepang terusir dari Burma berkat dukungan tentara Inggris yang kembali datang untuk menjajah.
Negosiasi terjadi antara Aung San dan Clement Attlee, wakil pemerintahan Inggris. Negosiasi berujung pada kesepakatan 27 Januari 1947 untuk memberikan kemerdekaan bagi Burma setahun ke depan.
Dalam menanti kemerdekaan itu, Aung San bergerak bersama partai politik bentukannya bernama Anti-Fascist People’s Burmese Forces (AFPBF) yang didirikan pada 1945.
Namun, musibah datang menghampiri Aung San. Pada 19 Juli 1947, lawan politiknya melakukan penyerbuan. Aung San tewas bersama enam kolega anggota dewan.
Sejak terbunuhnya bapak pendiri Burma secara tragis tersebut, politik Burma makin lekat dengan konflik dan kekerasan. Sebelumnya, konflik sosial politik di Burma lebih bernuansa antaretnis, antara mayoritas (etnis Burman) dan kelompok minoritas.
Tirani militer
Kemerdekaan Burma akhirnya diraih pada 4 Januari 1948. Burma dipimpin oleh Perdana Menteri U Nu hingga 1956. Empat tahun kemudian, ia menjabat kembali, tetapi digulingkan oleh kelompok militer.
Kekuasaan militer di Myanmar dimulai oleh Jenderal Ne Win pada 1962. Pemerintahan di bawah kekuatan militer ini berlangsung lama dan mengarahkan Burma menjadi negara sosialis. Bersamaan dengan itu, dibentuklah Burma Socialist Programme Party (BSPP) yang kemudian berkuasa selama 26 tahun.
Pemerintahan pada masa ini berkarakter otoritarian dengan pembungkaman kebebasan berpendapat dan pengekangan hak-hak sipil warga negara. Program-program pembangunan tidak berjalan baik. Pertumbuhan ekonomi tersendat akibat sistem ekonomi tertutup.
Padahal, saat itu, Burma dikenal dengan produktivitasnya di sektor pertanian. Alih-alih mengatasi kendala-kendala pembangunan dengan demokratisasi, pada 1974 Pemerintah Burma malah melebur tiga lembaga trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) menjadi satu di bawah People’s Assembly (semacam lembaga permusyawaratan rakyat/MPR).
Pada 1985, Jenderal Ne Win digantikan Jenderal Saw Maung yang awalnya menjabat sebagai panglima militer (Tatmadaw). Di bawah kepemimpinan Jenderal Saw Maung, kondisi perekonomian mulai membaik. Ia bersikap lebih terbuka kepada peran asing dengan membuka investasi.
Namun, gerakan sosial akibat ketidakpuasan masyarakat makin besar karena kondisi krisis ekonomi. Akhirnya pada 8 Oktober 1988 terjadilah gerakan yang dipimpin oleh para biksu, pekerja, dan mahasiswa untuk menggulingkan pemerintahan militer. Peristiwa yang dikenal sebagai The 8888 Uprising ini menelan banyak korban jiwa.
Menyikapi peristiwa itu, pemerintahan militer membentuk Dewan Restorasi Peraturan dan Hukum Negara (SLORC). Jenderal Than Swe menjadi salah satu anggotanya. Pada 1977, SLORC berganti nama menjadi Dewan Pembangunan dan Perdamaian Negara (SPDC), tetapi tidak menghasilkan perubahan apa pun.
Untuk beradaptasi dengan era demokratisasi, nama Burma diubah menjadi Myanmar oleh pemerintahan junta militer pada 18 Juni 1989. Hal ini dilakukan untuk membangun citra baru di hadapan dunia internasional mengingat nama Burma mengacu ke etnis mayoritas Birma/Bamar.
Bayang-bayang militer
Demokratisasi tak terbendung. Pemilihan umum pertama digelar pada 27 Mei 1990. Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi menang mutlak dan meraih 392 kursi parlemen. Adapun Partai Kesatuan Nasional (NUP) yang diisi kelompok militer hanya meraih 10 kursi parlemen.
Kemenangan ini tidak diakui oleh pemerintahan militer yang masih berkuasa. Sejak itulah militer makin membatasi aktivitas politik serta menangkap orang- orang yang dianggap sebagai ancaman pemerintah. Dalam masa represi inilah, Aung San Suu Kyi menjadi ikon demokrasi yang ditahan oleh pemerintah.
Pada 1989, Aung San Suu Kyi menjalani tahanan rumah dan dipisahkan dari suami serta kedua anaknya. Meski begitu, Aung San Suu Kyi tetap bergerak bersama kelompok intelektual dari lingkar Partai NLD hingga akhirnya memperoleh kedaulatan rakyat untuk menggantikan rezim militer di Myanmar.
Kemenangan Partai NLD dan Aung San Suu Kyi pada pemilu 2015 tetap tidak menghapus pengaruh kuat militer. Kelompok militer masih mendapatkan kursi di parlemen dan turut campur dalam politik.
Kini, masyarakat dunia menggantungkan harapan kepada Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk turun mengatasi konflik di Myanmar. (LITBANG KOMPAS)